Kellan Agnia melangkahkan kaki masuk ke dalam mansion besar kediaman keluarga Ransom. Penyambutan yang baik dia dapatkan. Dan selalu dia dapatkan saat Agnia tersenyum, ikut menyapa mereka dengan ramah.
"Silakan, Nona Kellan. Tuan dan Nyonya Ransom sudah menunggu."
Agnia melangkah menuju taman belakang rumah yang besar. Luasnya mungkin setara kebun bunga dan buah ibunya. Agnia tersenyum, melangkah lebih dekat ketika pekikan Nyonya Ransom menyapa gendang telinganya.
"Astaga, Agnia! Kau datang?"
Agnia mengangguk dengan senyum. Membuka kedua tangannya saat Nyonya Ransom berhambur ke dalam pelukannya.
Setelah wanita paruh baya yang tetap cantik walau di usia kepala lima itu melepas pelukannya, menggandeng tangan Agnia untuk duduk di meja panjang yang telah ramai diisi keluarga besar Ransom dan beberapa teman dekat. Mereka mengelilingi meja dengan suasana suka cita. Itu yang setidaknya Agnia tangkap sebelum matanya bertemu pandang dengan sosok lain. Yang tahu, merasa tidak nyaman dan terancam karena keberadaan dirinya.
Agnia membungkuk pada Tuan Ransom. Dan pria itu tersenyum, menepuk bahu Agnia. "Apa kabar? Aku baru melihatmu di saat pernikahan putraku. Dan rasanya lama sekali."
Agnia hanya mengulum senyum. Dia duduk tepat di seberang Nakaya saat Ten berdeham, memalingkan muka menatap objek lain sebelum kembali pada Agnia. "Aku pikir kau mengajak Deon."
"Aku?" Agnia tertawa pelan. Menyesap anggurnya. "Kau gila? Di acara keluargamu?"
Ten hanya mendengus. Dia mengangkat bahu dan kembali bersikap santai. Berbeda dengan Nakaya, yang meremas pisau dan garpunya di atas piring. Tatapannya tampak sinis ketika mata biru Agnia melihatnya.
"Hai, Nakaya," sapa Agnia dingin. Mengamati penampilan gadis itu dengan senyum congkak. "Rambutmu bagus. Di salon mana kau pergi?"
"Salonnya tidak terlalu mahal dan mewah. Itu bukan kelasmu," desis Nakaya dan Agnia hanya mengangguk. Mengulum senyum tipis. "Ah. Benar. Seleraku yang tinggi pasti? Tentu. Karena kami berasal dari keluarga high class, harus serba bagus dan mahal."
Ten memutar mata. Dia menatap sahabatnya dan Agnia memdengus. Mengangkat tangan pertanda dia menyerah.
"Hei, Agnia? Kau terlihat menawan seperti biasa. Astaga, bagaimana bisa aku tidak kagum padamu?"
Suara Ransom Nana menyapa Agnia malam ini. Gadis berhelai merah itu memekik senang saat Agnia duduk di sebelahnya. Sepupu Ten yang masih berkuliah di Universitas Cambridge itu terlihat berbinar karena Agnia datang ke pesta keluarga mereka.
"Uh, Nana. Bagaimana kuliahmu? Aku dengar kau sedang mengejar predikat cumlaude?"
Kepala Nana terangguk. Senyumnya melebar. "Sejujurnya, kau dan Challista adalah panutanku. Kalian bisa lulus dengan predikat cumlaude. Astaga, bagaimana bisa sepupu bodohku berteman dengan dua dewi ini?"
Ten melotot pada Nana yang tertawa. Disambut tawa oleh Nyonya Ransom. "Nana, berhentilah meledek sepupumu. Dia sedang malu sekarang. Dan sayang sekali, gadis sepintar dan secantik ini tidak menjadi bagian keluarga kita."
Nana mencibir. Mengangguk dengan ekspresi masam saat tangannya melingkari tangan Agnia. "Iya. Jika aku laki-laki, aku benar-benar akan mengejarmu, menjadikanmu belahan jiwaku."
Agnia hanya terkekeh. Dan ekspresi pias Ten berpindah di antara sepupu dan sahabatnya. Begitu juga dengan sang ibu yang ikut menyahut dengan antusias.
Garpu di genggaman tangan Nakaya terjatuh. Ten menoleh, menemukan sang istri menarik napas panjang dengan senyum tipis. "Maaf, aku ingin pergi ke kamar kecil."
"Silakan," ucap Nyonya Ransom yang menatap sang menantu datar.
Agnia menipiskan bibir. Menatap sosok Nakaya yang berlalu saat Ten hanya diam, menatap punggung sang istri cukup lama.
Agnia melepas rangkulan tangan Nana di lengannya. Dia mengintip ekspresi Ten sekali lagi sebelum berdiri, berbisik pada Nyonya Ransom kalau dia ingin memperbaiki pakaiannya. Dan Nyonya Ransom dengan senyum lebar segera menyetujui.
Agnia menarik napas. Berjalan ke kamar kecil saat dia melihat Nakaya terengah-engah. Memandang kaca wastafel dengan kepalan tangan.
"Oh, kenapa? Kau sepertinya menganggap kedatanganku adalah petaka bagimu?"
Agnia bersandar pada daun pintu kamar mandi yang tertutup. Dan pandangan Nakaya yang menusuk langsung terarah padanya.
"Berhentilah menjadi benalu! Sialan kau, Kellan."
Agnia memutar mata. Mengangkat bahunya saat dia tersenyum dingin pada Nakaya. "Akhirnya, kau tahu siapa lawanmu sekarang. Kenapa pula kau harus mencari masalah dengan Challista kalau kau tahu bahwa musuhmu di sini adalah aku?"
Bibir Nakaya berkedut. Bergetar menahan diri saat dia benar-benar ingin menampar Agnia sekarang.
"Pengendalian emosimu buruk, Nakaya. Kau tidak seperti aku atau Challista atau suamimu sendiri. Kami terlatih untuk tidak terang-terangan marah di hadapan orang lain," tatapan Agnia mencela ke arah Nakaya. "Mau sekeras apa pun kau berusaha, pada dasarnya kau berasal dari rakyat jelata. Kau miskin. Dan terima kasih kepada Tuan Kanar yang berbaik hati meminjamkan marganya padamu."
Kepalan tangan Nakaya semakin kuat. "Berhenti, Agnia. Jangan buat dirimu ikut terseret masalah. Kau hanya tamu, dan kau tidak berhak mencampuri urusanku."
"Aku memang tidak berhak. Tapi, Ten sahabatku. Aku jelas akan berdiri paling depan jika dia terluka. Apalagi, kalau kau yang melukainya. Aku tidak segan-segan membuatmu menderita."
Nakaya mendengus. Berpaling menatap kaca di sebelahnya. "Kau pikir kau Challista? Kau tidak akan bisa menghancurkan orang lain. Kau. Bukan. Renhart. Challista."
Bibir Agnia menipis. "Aku memang bukan Challista yang pintar menghancurkan lawannya dari luar dan dalam. Tapi, berteman dengannya selama belasan tahun membuatku belajar bagaimana caranya bermain cantik tanpa perlu mengotori tanganmu sendiri."
Kedua mata Nakaya melebar.
"Aku bisa menghancurkan hatimu, Nakaya. Aku bisa melakukannya."
Tatapan Nakaya mengeras saat Agnia membungkuk lebih dekat.
"Kau tahu, di antara pertemanan laki-laki dan perempuan, tidak semuanya benar-benar berjalan mulus, kan? Kau juga tahu, bukan Challista yang terlibat cinta di antara persahabatan kami. Bukan dia."
Rahang Nakaya mengeras saat Agnia menahan senyum puasnya.
"Nikmati saja acaranya, cantik."
Kedipan mata Agnia berhasil membuat darah Nakaya mendidih naik hingga kepala.
Saat Agnia berjalan keluar bilik kamar mandi, dia terkejut menemukan Ransom Ten bersandar di antara pintu masuk taman belakang dan dapur.
"Ten?"
Kepala Ten menunduk dalam. Helaan napasnya terdengar berat dan sesak.
"Pulanglah, Agnia. Kau tidak seharusnya di sini."
Kedua mata Agnia melebar. Ten kembali menarik napas panjang. "Aku akan memanggil supir untuk mengantarmu pulang. Untuk mobilmu, aku akan meminta asistenku untuk mengantarnya besok pagi."
"Apa? Tapi, kenapa?"
Ten mengangkat kepala. Menoleh pada Agnia yang terkejut. "Kau tahu, ini sudah kelewatan. Kau tidak berhak marah pada Nakaya. Kau juga tidak seharusnya mengancamnya. Dia istriku sekarang."
Agnia menahan gelak tawa pahitnya ketika sepasang manik biru itu berkilat marah. "Kau akan menyesali ini. Serius. Aku bahkan bersumpah kau akan menyesali ini. Menyesali semuanya."
Pandangan Ten beralih dari Nakaya yang terpaku menatap keduanya setelah keluar dari kamar mandi.
"Sebelum aku menyesalinya, pergilah. Aku akan menemuimu saat semua sudah membaik."
Ten berpaling. Berjalan menjauhi pintu dan melangkah kembali ke taman belakang. Meninggalkan Agnia yang gemetar dan Nakaya yang mendengus, diam-diam tersenyum menang.
"Kita satu sama, Kellan."
Lalu, berjalan pergi dengan senyum sinis terpatri samar.