4

2337 Kata
"Kau gila!" Suara bentakan Ethan berhasil membuat ketiga sosok di dalam ruangan membeku hebat. Terkecuali, Renhart Challista. Si pelaku utama yang hanya diam, menundukkan kepala seraya mengepalkan tangan di atas pangkuan. Yang tentu saja dilewatkan oleh mereka semua. Challista menarik napas. Menatap Ethan yang tidak lagi menatapnya seperti sepuluh tahun lalu. Kepala Challista terasa penuh sekarang. Entah, dia tidak mungkin membiarkan derai airmata meleleh bebas di permukaan wajahnya. "Kenapa?" Challista memalingkan tatapannya pada Amera yang meremas kedua tangannya. Begitu gugup. Ten mendengus kasar. Memandang Challista di saat dia sendiri tidak bisa lakukan apa-apa untuk memutus benang canggung di antara mereka semua. "Challista." "Kau tidak mau?" Challista mengabaikan suara lemah Agnia. Matanya tajam. Menelisik ke dalam sepasang manik abu-abu yang berpendar gelisah. Ketakutan bercampur gamang. "Kalau begitu, kau bisa pergi. Angkat kaki dari ruangan ini. Dan jangan pernah menampakkan dirimu lagi di hadapanku." Ethan mendengus. Menipiskan bibir. Jelas sekali, Challista mencoba memancing batas kesabarannya. Gadis itu tidak berubah. Dan tidak akan pernah berubah. "Maafkan aku," suara Amera bergetar. Dia menatap Ethan lirih. Seakan meminta pria itu untuk mundur dan biar dia yang melakukan semuanya sendiri. Challista memundurkan kursi beroda empat yang dia duduki. Menyilangkan kaki di saat Amera berjalan lemah, langkahnya meragu. Agnia menarik napas panjang. Suasana ini berubah lebih sesak dan mencekam. Dia memandang Ten yang menjambak rambutnya sendiri. "Tidak. Berhenti di sana." Langkah Amera tertahan. Menolehkan kepala di saat sulur keemasan itu bergerak seirama dengan gelengan kepalanya. Ethan menarik napas panjang, tidak lagi menatap Amera saat pria itu merangsek maju, berdiri dengan jarak yang cukup di hadapan Challista. "Biar aku yang menggantikannya." Agnia tidak kuasa menutup mulutnya. Di saat Ten berdecak. Mencoba menahan bahu pria itu dan Challista mengangkat tangannya. Memandang Ethan dengan tatapan lain. "Kau yakin?" Jeda cukup lama. Ethan menghela napas panjang. "Ya. Aku yakin." Challista mendengus. Menggigit bibir bawahnya ketika dia menatap Amera yang menunduk. Mencoba menahan tangis dan rasa takutnya sendiri. "Ethan, kau tidak perlu lakukan ini." Ethan hanya diam. Seorang Wallius tidak akan gentar begitu saja. Kemungkinan tekad yang Ethan miliki besar saat ini. Dengan meruntuhkan harga dirinya sendiri demi kekasih hatinya. Dan memikirkannya membuat hati Challista menjerit pilu. Gadis itu menunduk, menatap Ethan yang kini berlutut. "Aku—" napasnya berubah berat. "Aku mohon. Beri Amera kesempatan. Aku bisa menjamin dia akan lakukan yang terbaik." Dentaman rasa sakit itu menjalar di dalam d**a Challista tanpa ampun. Hantaman rasa sakit itu menggulung bagai ombak di lautan. Dia menarik napas, mencoba membuangnya perlahan saat tatapan matanya berubah redup. Amera menggeleng. Menunduk seraya meremas dokumen di tangannya. Challista memejamkan mata. Memalingkan wajahnya pada Ten dan Agnia yang terpaku. Mereka berdua tentu tidak akan bisa lakukan apa pun. Karena tapuk kekuasaan ada di bahu Challista. Terlebih, Amera meminta tolong pada perusahaan yang Challista kelola. Jelas, semua aturan dan keputusan ada di tangannya. Ethan menundukkan kepala dalam-dalam. Hembusan napasnya berubah lebih lemah. Tremor di tangan Challista semakin hebat ketika dia akhirnya berdiri, mengambil proposal Amera di atas meja dan berlalu begitu saja. Agnia menghela napas. Dia terburu-buru mengambil tas Chanel miliknya dan berlari ke luar ruangan mengejar langkah Challista. Ketika Ten memilih untuk diam, menunduk dengan tatapan mengiba pada Ethan. "Ethan." "Katakan saja, dia menerimanya atau tidak?" Ten mendesah berat. "Challista tentu akan memikirkannya," suara Ten berubah parau. Dia memandang Amera cukup lama. Dan menghampiri gadis itu yang bergetar. "Semua sudah selesai. Aku akan mencoba berbicara pada Challista. Seharusnya, aku menolak permintaan ayahmu saat itu. Jadi, kau bisa meminta tolong padaku dan bukan pada Challista." Senyum Ten lenyap saat dia memandang kedua mata abu-abu itu. Tampak basah dan menderita. Ten menghela napas sekali lagi, membawa Ethan untuk berdiri. Meremas bahunya. "Ada banyak hal yang tidak kau tahu tentang dia selama ini. Jadi, tolong, apa pun yang ada di kepalamu, sebaiknya—" Ethan mendengus keras. Memalingkan muka memandang sepasang lautan biru di depannya. "Apa yang harus aku percaya selain dia yang egois dan berhati batu?" Ten tidak lagi berniat melanjutkan percakapan mereka. Di saat dia menoleh, menemukan Amera yang masih terdiam. Layaknya manusia tanpa jiwa. Ten menghela napas panjang, mengangguk pada Ethan sebelum akhirnya dia beranjak pergi. Amera menatap nanar pintu yang tertutup. Debaran dadanya semakin terasa sesak ketika dia memukul Ethan dengan dokumen di tangannya, berulang kali dan Ethan hanya diam. "Sudah aku bilang, berhenti mengacau. Jangan lakukan apa pun! Kenapa! Kenapa kaulakukan ini, Ethan? Kenapa?" Jeritan Amera membuat denyutan pada jantung Ethan terasa semakin nyeri. Pria itu berpaling, memejamkan mata saat Amera terisak. "Berhenti. Berhenti lakukan ini. Mau sampai kapan kau mau begini? Mau sampai kapan!?" Jeritan Amera tertahan kala Ethan mengenggam tangannya. Mencoba menahan tangan Amera yang terus-menerus memukulnya. "Amera," panggilnya lembut. "Aku tidak mungkin membiarkanmu—menjadi b***k seorang Renhart Challista. Tidak. Jadi, biarlah aku. Biar aku yang menggantikanmu." Tangis Amera pecah ketika Ethan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Membiarkan Amera menangis di dalam dadanya sampai perasaan gadis itu membaik. Benar-benar membaik. *** Challista memejamkan mata saat dia membanting proposal milik Amera Kato di atas mejanya. Helaan napasnya berubah pendek. Challista memijit pelipisnya saat dia membuka mata, menatap Kellan Agnia yang merangsek masuk ke dalam ruangannya. "Challista. Kau tidak apa?" Sungguh. Pertanyaan bodoh. Challista hanya mengangkat alis. Tidak menjawab. Tetapi, gerakan tangannya yang mengibas seakan memberi Agnia isyarat bahwa dia baik-baik saja. "Seharusnya, kau bertanya pada Amera. Gadis itu terlihat tidak baik-baik saja." Agnia mencibir. Menatap Challista dengan kedua alis terangkat. "Kau sekarang peduli padanya? Apa karena fisiknya yang terlihat lemah, atau dia yang terkesan rapuh dan Ethan bertindak sebagai pangeran kuda hitam gadis itu? Challista, katakan kalau kau merasa sakit." Challista mendesis. Menatap Agnia dengan kedua mata memicing. "Aku? Apa yang harus aku katakan? Untuk apa aku peduli? Dengan keduanya? Dengan Ethan? Ayolah." Agnia mendengus. Bibirnya berkerut dan sepasang manik biru itu menatap Challista seolah mengatakan kau pasti bercanda. Dan Agnia hanya diam. Mau bagaimana pun, setara apa pun posisi mereka, Agnia tidak akan pernah bisa berada di atas Challista. Sejak mereka SMA, Challista dikenal sebagai gadis kaya berparas cantik namun dingin. Dia memang pintar. Semua penghargaan selalu mencantumkan nama Challista. Puluhan piagam, sertifikat, bahkan piala yang dipajang di rak kaca tepat di lorong sebelum masuk ke lapangan, didominasi atas nama Renhart Challista. Dan semua berakhir saat ketenangan itu terusik oleh Wallius Ethan. Agnia ingat benar. Saat Challista terpaku di depan rak kaca. Mengerutkan kening cukup lama. Ketika Challista tampak acuh dan cuek mendengar gerutuan Ten yang mendapat nilai paling buruk di kelas. Sorot mata Challista berubah, dari datar menjadi keras dan dingin. Dan itu karena satu nama; Wallius Ethan. Agnia tahu, dunia Challista berubah mulai saat itu. Challista tetap seperti biasa. Belajar, berprestasi dan terkadang membuat Agnia bosan. Bisakah dia dan Challista bertukar posisi? Sayangnya, tidak. Walau Challista ingin, Agnia tidak akan menjadi superior dengan cara picik seperti itu. "Lupakan saja. Kenapa kau tidak kembali?" Agnia mendesah. Dia kembali ke alam sadarnya dan menggeleng pelan. "Kembali? Kemana? Pulang?" Agnia mendengus. "Tidak. Mamaku sedang di luar kota. Papa sibuk. Aku memilih untuk di sini, mengacau di kantormu." Challista menahan tawa. Dia menatap Agnia dengan alis terangkat. "Oke. Terserah. Kau mau kayang atau apa pun, aku tidak peduli." "Dasar gila," ketus Agnia. Tapi tak ayal membuatnya ikut tertawa. "Aku akan menjadi viral. Sialan." Agnia mengembuskan napas panjang. Mungkin, dia lebih senang berhadapan saat Challista sedang lepas atau tidak memikirkan hal lain ketika mereka hanya duduk dan menyesap alkohol sampai mabuk. Challista dalam mode santai seperti itu, jauh lebih menyenangkan diajak bicara. Dibanding saat ini. Kalau Agnia boleh mengatakan, Challista tetaplah Challista. Tidak berubah. Mereka berteman sejak SMA. Karena Moorim International School diisi kebanyakan orang-orang berduit, tidak heran siapa yang paling kaya akan dijadikan panutan. Dan mereka semua berlomba-lomba untuk mendekati Challista. Menjadikan gadis itu it girl di sekolah, girl crush bagi anak laki-laki, dan melakukan berbagai cara agar dia bisa setara, sederajat dan dipandang ada oleh seantero sekolah. "Ah, aku lupa. Nanti malam orang tua Ten mengundangku makan malam. Entah karena apa. Karena Mama dan Papaku sedang sangat sibuk, mereka memintaku datang." Challista mengangkat alis. "Mungkin, acara tahunan? Bukankah sudah biasa? Keluarga Ransom gemar memamerkan barang tiap tahunnya, kan? Mereka mengoleksi helipad. Dan mungkin tahun ini memamerkan jet pribadi baru." Agnia mendengus. "Sialan. Ten tidak katakan apa pun." Challista hanya mengangkat bahu. "Entahlah. Dia mungkin lelah atau tidak ingin bicara banyak." "Hei, tapi, aku yakin di antara Ten dan Nakaya, ada kesalahan. Apa mungkin Nakaya menyimpan senjata yang dia gunakan untuk mengancam Ten?" Challista mendesah. Memijit pangkal hidungnya. "See? Terlalu banyak menonton drama, otakmu berpikir yang tidak-tidak." Agnia mendengus. Menatap Challista dengan dagu terangkat. "Ingat, Nakaya berperan penting dalam—" "Sudahlah. Biarkan saja. Kalau dia mengacau, kau biasanya pintar mengatasi semuanya sendirian. Lagipula, sudah cukup lama kan kau tidak bermain-main?" Agnia menahan senyum. Dia menyibak rambut pirangnya ke belakang. "Oh, well. Sangat rindu. Katakan saja kalau gadis jelmaan iblis itu mengacau, akan kuhancurkan dia." Challista menatap Agnia dalam detik yang berlalu, lalu seulas senyum manis terbit. "Bagus. Aku selalu menyukai sisi dirimu yang ini." "Oh, siapa dulu," Agnia mengalungkan tasnya siap pergi. "Kellan Agnia." Dan berlalu, meninggalkan Challista ketika dia melambai, dan menutup pintu. Meninggalkan Challista yang memejamkan mata, bersandar pada kursinya dengan helaan napas panjang. *** "Kudengar, Papa Challista baru saja membuat keluarga Ismi melarat. Dia baru saja membuang saham perusahaannya dan menjadikannya inflasi besar-besaran. Hadeh, keluarga kaya memang benar-benar menyebalkan. Sok sekali mereka." Challista mengangkat alis. Menatap loker bernomor enam yang sedang dia buka. Mengambil sesuatu yang dia simpan saat hanya dia sendiri yang tahu berapa kata sandi lokernya. "Pantas saja, Challista terlihat dingin dan angkuh. Ajaran dari orang tuanya memang begitu. Tidak tahu etika. Dia pikir dia siapa? Hanya karena keluarganya paling kaya? Paling hebat? Meh." Challista kembali berpura-pura tuli. Dia mengecek catatan yang dia simpan, membacanya dalam diam. Kemudian, kepalanya terangguk saat dia menutup kembali lokernya dan mengecek adakah barang tertinggal. "Aku ingin tahu, berapa banyak uang yang dia habiskan untuk merombak dirinya besar-besaran. Yang aku dengar, Renhart Challista tidak secantik sekarang. Dia ternyata operasi plastik. Hahaha." Challista menahan langkahnya. Menarik napas panjang ketika dia menoleh. Memandang pada tiga gadis dengan bandana centil berbentuk kelinci. Seperti Agnia, Challista menatap mereka bertiga datar. Lalu, tersenyum. "Gosip darimana? Aku tidak tahu, kalau pekerjaan sampingan kalian selain sebagai murid adalah sebagai wartawan? Atau reporter pembawa berita?" Ketiganya mendengus. Merapat sampai ke dinding saat Challista memperbaiki rompi seragamnya, memandang mereka dengan alis terangkat. "Oh, atau mungkin, di kepala kalian hanya bisa bergosip, bergosip dan bergosip? Berpikirlah secara logika. Aku tidak ingin kalian menyia-nyiakan uang yang orang tua kalian keluarkan hanya untuk anak-anak mereka yang gemar bergosip di sekolah dan bukannya berprestasi." Challista mendengus. Merapikan rambut merah muda sebahunya dengan usapan lembut. "Setidaknya, berdoa saja. Semoga di antara kalian bertiga, tidak akan mengalami nasib sama seperti Ismi. Paham?" Ketiganya mendesis. Menatap Challista yang mengedipkan mata dan berjalan santai, memegang buku catatan di tangan kanannya dan berlalu. Menjauhi lorong dari anak-anak yang beristirahat setelah jam makan siang. Dan dia tidak lagi peduli saat hentakkan kaki dan jeritan frustrasi mereka melantun. Memenuhi gendang telinganya yang hampir pecah. Challista terpaku diam. Menatap lapangan basket yang ramai. Dia berjalan masuk, membawa dua kaleng soda untuk Agnia dan dirinya. Saat dia berdiri gamang, menatap sesaknya lapangan basket siang ini. Mata Challista menelusuri seisi tempat duduk yang penuh. Keningnya mengernyit. Ketika tidak menemukan gadis berambut pirang mencolok. Atau dia menemukannya, tetapi banyak gadis yang meniru rambut Agnia, dan itu membuatnya kesulitan mencari warna rambut asli milik temannya. "Awas!" Challista tersentak. Membeku saat seseorang menangkis bola basket berukuran sedang terbang ke arahnya. Anak laki-laki itu mendesis, merasakan jemarinya yang gemetar karena refleks melindungi Challista dari bola basket. "Jangan melamun di tengah jalan. Kau gila? Bagaimana kalau kepalamu terkena lemparan bola basket tadi?" Challista menelan ludahnya gugup. Dia mengerjap berulang kali dan mendengar suara sepatu mendekat. Matanya bergulir, menatap sosok lain yang terengah-engah menghampiri mereka. "Challista, Ya Tuhan. Aku minta maaf. Aku tidak sengaja membuang bola ini ke luar lapangan." Challista hanya mengangguk. Dia meremas kaleng sodanya yang mungkin tidak lagi dingin. Ketika tatapan matanya kembali bergulir pada sosok lain, yang tengah mengibaskan tangan kanannya berulang kali. "Kau tidak apa?" Laki-laki itu tidak menjawab. Dia hanya menatap Challista sebentar. Kemudian, menggeleng. "Ethan! Cepat masuk ke lapangan! Kenapa kau malah melamun di sana?" Wallius Ethan mendesis. Menatap pelatih berperut buncit yang membuat suasana hatinya buruk akhir-akhir ini. "Ya!" Ethan berlari, tidak lagi menatap Challista yang membeku. Di saat dia menjadi pusat perhatian dari barisan penonton, remasan tangan Challista mengerat. Dia benci menjadi pusat perhatian. Dan ketika langkah kaki Agnia mendekat, hendak menariknya menjauh, Challista lebih dulu memutar badan, berjalan tenang keluar dari area lapangan basket. Meninggalkan Agnia yang hanya diam, menatap punggungnya dengan desahan berat. Challista membuka matanya. Menegakkan punggung ketika dia duduk, meluruskan kedua kaki dan tangannya. Tersentak saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Perutnya berbunyi dua kali. Pertanda dia lapar. Challista mendengus. Meraih tabletnya dan melihat-lihat adakah menu makan malam yang menarik perhatiannya. Bibirnya cemberut. Challista tidak menemukan apa pun selain ramen dan semangkuk sup hangat. Dia ingin makan ayam goreng sekarang, dan restauran yang menjual makanan itu sudah tutup sejak satu jam yang lalu. Dia menaruh kembali tabletnya di atas meja. Berdiri bangun dari kursi, pergi ke dapur untuk mengecek laci makanan dan kulkasnya. Adakah yang bisa dia makan untuk malam ini. Bel apartemennya berbunyi dua kali. Challista menutup pintu kulkasnya. Berjalan, lalu membuka kata sandi pintu saat dia menemukan petugas keamanan yang membawakan sebungkus Happy Meal—kesukaannya. "Dari Tuan Willy, Nona Challista." Challista tersenyum tipis. Terlalu sering Willy memberikannya kejutan, hingga petugas keamanan itu hapal dengan kelakuan tunangannya dan tidak lagi bertanya untuk siapa titipan yang selalu Willy berikan padanya. "Terima kasih banyak. Ah, pastikan kau menerima satu ini juga?" Pria paruh baya itu tertawa. Dia menepuk perutnya dengan senyum lebar. "Tentu. Tuan Willy sangat tahu. Aku tidak sabar memakannya juga." "Oke. Nikmati makan malammu. Selamat malam." "Selamat malam, Nona." Challista menutup pintu apartemennya. Menunduk dan mencium aroma ayam goreng yang masih panas menusuk indera penciumannya. Senyumnya melebar. Saat dia berlari kecil ke dapur, menaruh bungkusan itu di atas meja dapur dan beralih mencari piring untuk memindahkan nasi. Ponselnya berdering. Challista melompat saat dia membaca nama yang tertera di layar. Senyumnya mengembang. "Hai, terima kasih untuk ayam gorengnya. Kau tahu? Aku benar-benar ingin makan ayam goreng sekarang." Willy terkekeh pelan dari seberang telepon. "Benar-benar. Aku tidak ingin kau makan ramen terlalu sering. Dan maaf, aku tidak bisa mengajakmu makan malam. Aku ada urusan. Mungkin, besok? Atau—" "Tidak. Nanti saja saat kau luang. Aku tidak apa." Challista mencomot kulit ayam goreng itu dari bungkusan dan mulai memakannya. "Jangan terlalu lelah. Kau ini gampang sakit," kata Challista. Menasihati. Dan Willy hanya tertawa ringan. "Iya. Iya. Astaga, kenapa tunanganku cerewet sekali?" Challista mendengus. Dan kunyahan kulit goreng di mulutnya membuat senyum Willy melebar. "Makanlah. Nikmati makan malammu. Aku akan menghubungimu besok pagi." "Huum. Sampai nanti." "Bye, Challista. Aku mencin—" Dan sambungan terputus. Willy menatap nanar pada ponselnya. Challista sudah memutuskan sambungan telepon mereka. Dan helaan napas panjang Willy menjadi penutup malam yang mendung hari ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN