3

1554 Kata
"Kemana istrimu? Jangan katakan kalau kau menyesali pernikahan kalian semalam?" Ten mendengus. Melempari Agnia dengan tatapan awasnya dan Agnia terkekeh. Menyadari kalau dia masih senang menggoda seorang Ransom Ten. Challista menghela napas. Duduk di kursi paling tengah yang ada di dalam ruang rapat. Hotel berbintang delapan yang menjadi hotel terbaik di Jepang. "Kenapa kau di sini? Ini bukan wilayahmu," ketus Ten. Agnia menekuk alisnya tajam. Memandang Ten dengan tatapan mencela. "Ingat satu hal, Tuan Ransom yang bodoh, aku memiliki saham delapan persen di sini. Aku orang penting." Agnia mencibir dan Ten tertawa kemudian. Challista memutar mata. Lagi. Menatap pertengkaran dan adu mulut keduanya yang tidak pernah uDeon jika sudah bertemu. "Kalian sudah makan?" "Sudah!" Jawab mereka serempak. Challista mendengus dengan senyum tipis. Memandang Ten dan Agnia bergantian. "Kalian cocok. Kenapa Agnia harus menolak perjodohan antara dua keluarga besar ini?" Ten membuang muka. Dan Agnia mendesis. Menatap Challista dengan tatapan menuding. "Challista!" "Jawab saja. Aku hanya bertanya," dengan wajah meledek terang-terangan. Dengan kalimat canggung itu, berhasil membungkam mulut keduanya. Agnia menarik napas. Menatap Ten sekilas sebelum matanya berpindah pada Challista. "Aku mencintai Deon. Dan untuk apa perjodohan segala? Kita hidup di zaman milenial. Helooww?" Agnia bersuara dengan gaya centil. Mata birunya menatap datar pada Ten yang mengernyit. "Lagipula, bocah ini terlalu cinta pada Kanar Nakaya sejak dulu. Aku tidak akan menjadi orang ketiga. Sebelum Nakaya membuatku muntah paku." "Sialan." Challista menggelengkan kepala. Melihat Agnia yang kembali menjulurkan lidah pada Ten yang mengumpatinya dengan bahasa planet lain. Challista menunduk. Membaca proposal yang baru diberikan Hana lima belas menit setelah dia kembali dari makan siang. Hana bilang itu titipan, dan si pemilik dokumen akan datang sebentar lagi. Melirik jam di tangannya, Challista menopang dagu. Memandang Agnia yang mendengus, memalingkan muka. "Ten, kau harus tahu sesuatu, kalau Nakaya berambisi agar bisa setara dengan Challista." Ten mengangkat alis. Punggungnya bersandar pada kursi dan melirik Challista yang memasang ekspresi datar tak terpengaruh. "Jaga bicaramu." "Kita bertaruh?" Agnia mengulurkan tangannya di seberang meja. Dimana itu tidak mungkin sampai karena jarak yang terlalu lebar. "Hati-hati. Aku tahu kau bisa lakukan lebih dari ini. Terutama kami berdua orang asing. Aku sudah katakan, kalau aku tidak menyukai Nakaya sejak dulu. Dan ini demi dirimu, kami berdua menerimanya. Tapi, untuk masuk ke dalam lingkup kami? Sorry to say, aku menolaknya." Challista menghela napas panjang. Memperbaiki ikatan rambutnya dan mengintip ekspresi pias Ten yang mendadak diam. Challista memajukan bibirnya, mengangkat alis saat dia menendang kaki Agnia dari bawah meja. "Abaikan saja gadis ini. Omongannya melantur." Agnia berdecak. Ten hanya mendengus. Diam-diam tersenyum tipis. Dan Agnia tahu, pria itu mendengarkannya dengan baik. Tatapan mata Ten tidak bisa bohong. Kalau dia juga cemas. Tapi, entah. Cemas karena apa? Pintu terketuk dua kali. Challista melirik pintu yang terbuka dan Hana membungkuk ke arah mereka. Menyuruh tamu yang sedang Challista tunggu masuk ke dalam. Tubuh Challista menegang ketika dia menatap gadis yang sama yang Ethan bawa semalam. Mata Challista menyipit, ketika gadis itu hanya memakai sweater hangat dan celana panjang longgar. Serta sepatu keds yang lusuh. Ransom Ten terpaku. Begitu pula Agnia yang membeku di kursinya. Memandang gadis itu dengan tatapan sinis. "Kau siapa?" Gadis bermata abu-abu itu menatap Challista dengan tas kecil berwarna hitam yang dia yakini berisi dokumen penting. "Aku—namaku, Amera Kato. Aku putri bungsu dari Regan Kato, pemilik perusahaan Kato Holdings." Alis Challista terangkat. Saat Agnia tidak bisa menutup mulutnya yang terbuka lebar. "Kau putri bungsunya? Wah, aku pikir direktur itu hanya punya dua anak laki-laki." Ten menipiskan bibir. Menatap penampilan Amera yang terlampau sederhana dan tampak salah kostum, dia mendesah panjang. "Duduklah dulu. Kau datang sendiri? Tidak bersama Ethan?" Amera terlihat kebingungan. Saat dia memalingkan matanya dari tatapan Challista yang berubah dingin. "Ethan tidak tahu kalau aku datang kemari," bisiknya lemah. Ten terpaku. Dia menatap Challista yang menipiskan bibir, mengendik pada tas yang sejak tadi Amera peluk. "Apa yang kau bawa?" Amera berdiri di tengah ruangan. Menatap Challista dan kedua orang lainnya yang di dalam ruangan bergantian. "Sebelumnya, aku datang untuk hal lain. Aku datang untuk meminta bantuan." Agnia mengernyit. "Kau salah alamat kalau begitu." Challista menarik napas. "Bantuan?" Amera mengangguk. Menatap Challista penuh harap saat dia membuka tas dengan tangan gemetar. Mencari dokumen yang hendak dia berikan setelah sebelumnya proposal pengajuan dia titipkan pada sekretaris Challista. "Aku tahu, Papaku tidak pernah bisa menjalin kerjasama dengan Renhart's Group. Aku hanya ingin terlihat berguna di depan orang tuaku. Agar mereka berhenti menyebutku benalu," suaranya gemetar saat dia membuka dokumen itu dan isinya tercecer terbang ke bawah. Amera membungkuk untuk memungut kertas-kertas itu. Di sisi lain, Agnia mengernyit dengan ekspresi masam dan di sisi lain tatapan Ten tampak mengiba. "Maafkan aku. Aku benar-benar gugup. Berada di lingkup bisnis sama sekali bukan keahlianku." Challista menatapnya dalam diam. Saat gadis yang ia taksir berada di umur sama dengannya, namun fisik Amera yang kurus membuatnya terlihat jauh lebih rapuh dan lemah. "Maaf saja. Aku pikir Ethan mengencani seorang anak mafia," kata Agnia. Gadis pirang itu mengangkat alis saat delikan tajam Ten terarah padanya. "Aku menyebutnya mafia. Bukan bandar narkoba." Amera menggeleng. Dia menaruh dokumen ber-map cokelat itu di atas meja dan menatap Challista. "Sebentar." Challista menurunkan tangannya ketika Amera berdiri kaku di depan meja. "Kau memintaku untuk membantumu dalam arti apa? Menjalin kerjasama dan membiarkanmu terlihat berguna di depan orang tuamu?" Challista mendengus. "Kau pikir aku yayasan sosial yang membantu orang kesulitan seperti dirimu?" Amera tertegun. Saat Agnia dan Ten saling melempar pandang ke arahnya. Sebelum Challista kembali berbicara, pintu menjeblak terbuka. Menampilkan Wallius Ethan yang terengah-engah seperti sehabis berlari, dan matanya terpaku pada Amera yang membeku. "Aku sudah katakan untuk tidak lakukan ini! Kenapa kau keras kepala? Dan aku harus mengikutimu diam-diam sampai kau nekat datang kemari." Wallius Ethan kalap. Itu yang bisa Challista tangkap dari nada suara pria itu yang meninggi. Atau cemas. Challista menipiskan bibir. Ketika Ethan merangsek maju tanpa perlu menyapa orang yang duduk di dalam ruangan, dia meraih tangan kurus Amera, dan gadis itu memberontak. Kedua matanya berkaca-kaca. Drama kacangan dimulai. Batin Challista menjerit bosan. "Tidak, Ethan. Aku harus lakukan ini." Suara lemah Amera membuat Ethan terpaku. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Dia melepas genggaman tangannya di lengan Amera, menarik napas panjang. "Ethan," panggil Ten. "Biarkan dia bicara. Amera butuh bantuan." Ethan mendengus keras. Dia berbalik, memutar badannya menatap mereka yang duduk di kursi di saat Amera berdiri dengan kedua kaki gemetar. Tatapannya bertemu sepasang manik hijau yang menyorot dingin. Ethan mendengus tajam, membuang muka. Memilih untuk berbicara pada Ten. "Dia tidak seharusnya datang kemari," sela Ethan dingin. Challista tersenyum tipis. Dia bersedekap dengan raut pongah. "Kekasihmu yang datang kemari. Aku tidak mengancam atau melakukan kekerasan padanya hingga dia datang untuk meminta bantuan." Sorot pekat Ethan tampak sinis. Challista menangkap bagaimana kilat emosi yang Ethan simpan rapat-rapat mulai menunjukkan eksistensinya. Pria itu sedang berusaha mengendalikan diri. Tapi, dari apa? "Hei, Ethan," sapa Agnia dingin. "Ini kekasihmu?" Dia menunjuk Amera yang menunduk dengan dagunya. "Seleramu cukup menurun drastis, ya." Agnia memberikan gerakan menurun dengan tangannya. Raut wajahnya terlihat mencemooh terang-terangan. "Dia terlihat seperti pemakai." "Jaga bicaramu," sela Ethan tajam pada Agnia yang mendengus menahan tawa. Agnia tidak gentar ketika Ethan memicing kesal padanya. Challista menghela napas kasar, meraih pena di dalam saku blazernya dan melemparnya ke hadapan Agnia. Menyuruh tanpa kata pada gadis itu untuk diam dan tidak lagi bicara. Agnia yang menangkap isyarat itu hanya diam. Menipiskan bibir sembari mendelik tajam pada Challista yang mengangkat alis padanya. Mimik mukanya tetap datar. Amera mengangkat kepalanya. Dia tidak lagi melirik pada Ethan. Matanya memancarkan tekad yang bulat dan nyata. Challista tersenyum samar. Kemana perginya sorot mata yang takut dan tak berdaya tadi? "Amera," panggil Ethan lembut. Debaran d**a Challista berubah nyeri mendengar panggilan itu ditunjukkan pada Amera, dan tidak lagi padanya. Dengusannya meluncur, Challista menggaruk pelipisnya saat dia ingin cepat-cepat semua berakhir. Karena berada di dalam satu ruangan yang sama dengan Ethan, membuat kepalanya penuh. Siap meledak. Dan Challista tidak siap untuk mengatasinya sekarang. Dia tidak siap menjadi lemah tak berdaya karena pria itu. "Nona Challista ..." "Challista saja," sahut Challista. Membuat Agnia dan Ten menoleh ke arahnya. "Aku sudah membaca proposalmu. Sama sekali tidak menarik. Aku tebak, ini pertama kali untukmu? Karena yang aku tahu, kedua kakak laki-lakimu pintar merayu klien." Amera terpaku. Kepalanya terangguk samar. Senyum Challista semakin lebar. "Aku bisa membantumu. Tapi, dengan beberapa syarat yang harus aku rubah di proposal yang kau ajukan. Bagaimana?" Ten menyipit padanya. "Challista." Challista menggeleng pada Ten. Meminta pria itu untuk diam. Amera terdiam cukup lama. Binar di matanya perlahan meredup. Ketika tatapan Challista turun untuk mengamati penampilan urakan gadis itu, Challista terpaku. Ada bekas tali yang memanjang di sisi leher kanannya. Yang tertutup kalung cantik berwarna keemasan. Challista memicing, menatap bekas lilitan tali itu dan seketika mengerti. "Aku bersedia." Ethan terkesiap. Dia maju untuk mengguncang tubuh Amera saat gadis itu menolak menatap matanya. Menggigit bibir bawahnya dengan deru napas berat. "Aku bersedia." Ten menghela napas. Tidak lagi sanggup melihat pemandangan memilukan di dalam ruangan. Dia hendak berdiri, sebelum suara tajam Ethan menahannya. Bukan untuk dirinya. Tapi, untuk Challista. "Apakah ini wujud aslimu? Gemar memanfaatkan kelemahan orang lain untuk membuat derajatmu naik ke tingkat lebih tinggi?" Agnia terkejut. Dia menatap Ethan dengan kedua mata birunya melebar. "Ethan! Apa-apaan kau!" Challista menatap Agnia yang hampir meluapkan emosinya. Ketika dia sekali lagi mampu mengendalikan amarah gadis itu, menyuruh Agnia untuk tetap diam di tempat. Ten berpaling pada Challista yang mengerutkan kening, lalu pada Ethan yang menatap gadis itu dingin. "Memanfaatkan, katamu?" Challista mendengus. "Aku bahkan belum menulis syarat apa yang aku minta dan mana yang akan kurubah." Challista mengangkat wajahnya. Memakukan tatapan mereka berdua. "Kau belum berubah. Menilai seseorang hanya dalam hitungan menit, bukan tahun." Challista berpaling pada Amera yang kini gemetar. Gadis itu benar-benar menarik perhatian Challista sekarang. "Oke. Kalau ini yang kau bilang memanfaatkan, aku akan memberi sedikit kejutan untukmu," Challista menghela napas panjang. Mengendik pada Amera dengan dagunya. "Kemari. Berlutut di hadapanku. Sebelum aku berubah pikiran dan melempar proposal sampah ini ke tempat sampah." Ethan terkejut bukan main.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN