2

2071 Kata
"Kita pulang?" Challista memiringkan kepala. Menatap Willy yang sejak tadi hanya terpaku diam. Berdiri sembari menatapnya. Sorot mata itu perlahan berubah redup, dan Challista menyadari bahwa pertemuannya dengan Ethan, mungkin memberi isyarat yang amat nyata pada Willy bahwa mereka pernah menjalin hubungan di masa lalu. Willy tidak pernah mengorek masa lalunya sama sekali. Karena dia berprinsip, semua orang memiliki masa lalu dan tidak perlu diumbar atau diberitahu pada pasangan di masa depan. Dan Challista mengerti, kalau Willy kini mulai goyah. Pria itu menipiskan bibir, menatap matanya lekat. "Kita pulang." Challista tersenyum. Ketika Willy menggandeng tangannya, menyisir rambutnya yang masih terlihat tampan walau sedikit berantakan. Ketika Challista akhirnya berpamitan pada Ten, mengedip pada Agnia dan mengangguk formal pada Nakaya yang enggan membalas. Agnia tersenyum. Melambai pada Challista ketika gadis cantik itu memutar badan, menyenggol bahu Ten. "Kau mengundang Ethan?" Alis Ten saling bertaut. Seakan dia tuli dan tidak mau peduli kalau Challista dan Ethan pernah ada dalam satu hubungan. "Kenapa memangnya? Aku dan Ethan cukup dekat. Kami berada di kelas yang sama ada di kelas dua dan kelas tiga. Dia yang memberiku contekan fisika, ngomong-ngomong." Agnia mencibir. Menatap Ten seraya mendesis. "Dasar bodoh." Ten hanya terkekeh. Dia mengangguk ketika Tuan Daniel melambai ke arahnya, meminta Ten untuk datang padanya seorang diri. "Sebentar, aku tinggal dulu." Agnia mengangguk. Dia menatap pria bersetelan putih itu dalam diam. Tidak lama sampai Nakaya memancing sesuatu yang tidak ingin Agnia dengar tentang sahabat dekatnya. "Aku tidak menyangka. Ethan masih begitu berefek bagi gadis berego tinggi seperti Challista." Deon segera menoleh. Menatap Agnia dengan antisipasi. Dia bukannya tidak tahu, mulut kekasihnya jauh lebih berisik dari ini. Dia sendiri tidak peduli jika Challista—sahabat kekasihnya berkencan dengan siapa pun. Dan melihat istri Ransom Ten tampak senang memancing amarah kekasihnya, Deon harus lebih waspada. "Tutup mulutmu. Ini pernikahan sahabatku. Jangan buat aku harus mengacaukan pesta ini karena mulut harimaumu." Nakaya mendengus. Mengibaskan tangannya yang berbalut sarung tangan di hadapan Agnia dengan angkuh. "Tidak ada sahabat lagi. Dia suamiku sekarang." Alis Agnia terangkat tinggi. "Challista benar. Kau memang racun untuk Ten. Dan aku sendiri belum paham, mengapa pula Ten harus menikahi putri mantan bandar n*****a seperti dirimu? Di saat ada ratusan bahkan ribuan gadis yang setara dengan kami siap mengantri. Yang jelas, mereka tidak bermulut busuk sepertimu." Nakaya mendengus. Dia telah terbiasa mendengar kalimat cemoohan ini berulang kali. Tatapannya jatuh pada Wallius Ethan yang tengah menatap gadis bermata abu-abu, dimana sang gadis tampak bahagia dengan senyum yang terus-menerus melebar. "Reputasi Challista tidak lagi membuatku takut sekarang. Secara tidak langsung, aku dan dirinya setara." Agnia berusaha menahan tawa mengejeknya. Sepasang manik biru itu menatap Nakaya penuh cela. "Kau berhalusinasi sekarang? Menikahi Ransom Ten, belum tentu derajatmu naik. Dasar panjat sosial." Deon lekas menarik tangan Agnia untuk menjauh. Sebelum kekasihnya memancing keributan yang membuat mereka berdua malu. Atau lebih tepatnya, Ten. Dia mengasihani Ten jika pesta yang seharusnya penuh suka cita berakhir bencana karena Agnia dan istrinya bertengkar. "Kenapa, sih?" Agnia menepis tangan Deon dari tangannya. Dia menoleh, memicing pada Nakaya. Seakan memberi gadis itu peringatan bahwa dia tidak seharusnya mencari masalah dengan mereka. "Kami permisi. Sampaikan salamku untuk Ten." Nakaya hanya mengangguk. Tersenyum pada Deon. Tidak lupa memberikan pria tampan itu lambaian tangan sebagai pelepas pertemuan mereka. Diiringi hentakkan kaki Agnia dan gadis itu yang melengos pergi begitu saja. Meninggalkan Deon yang mengejar di belakangnya. Nakaya hanya sanggup menggelengkan kepala. Tersenyum miris menatap sepasang kekasih itu sebelum dia mengangkat gaunnya dan memilih untuk duduk karena lelah. Well, karena sebagian tamu di sini adalah tamu suaminya. Dia tidak diharuskan untuk terus berdiri menyalami mereka, bukan? *** "Challista." Challista memejamkan mata. Menarik napas panjang saat dia memutar badan, dan Willy belum juga pergi dari parkiran apartemennya. "Ini sudah larut. Kau punya rapat jam delapan, kan?" Willy tidak menjawab. Dan diamnya pria itu Challista artikan sebagai ya. "Kenapa?" Challista lelah jika mereka terjebak dalam suasana canggung yang membuatnya tidak nyaman. Jadi, dia mendekat, membuat Willy menegang karena sejak tadi bersandar diam pada Porsche miliknya. "Tidak. Tidurlah." Challista mendengus. Dia memiringkan kepala dengan kening mengernyit. "Sayang, ada apa?" Panggilan itu ampuh membuat Willy kembali bungkam. Dia bergeming, memandang Challista cukup lama sampai tangannya bergerak, meraih gadis itu ke dalam pelukannya. "Tidak ada. Hanya saja, terasa ... berat." Challista tersenyum. Dia menepuk punggung kokoh itu. Memberinya usapan lembut dengan helaan napas panjang. "Tidak ada yang perlu kau risaukan. Aku di sini. Jika sesuatu mengganggu, kau sebaiknya bicara." Willy hanya memeluknya. Tanpa mengucapkan sesuatu yang membuat keadaan membaik. Lama mereka berpelukan sampai Challista melepasnya, dan menunggu sang tunangan untuk membungkuk, menundukkan kepala untuk mencium bibirnya. "Selamat malam." Challista mendengus. Dia menangkup wajah itu dengan kedua tangannya. Mengusapnya lembut ketika wajahnya maju mendekat, memberikan ciuman singkat sebagai balasan. "Selamat malam juga. Hati-hati di jalan." Sesak yang Willy pendam luruh seketika saat dia menatap senyum hangat gadis itu. Dia memeluknya sekali lagi, dengan berat hati beranjak dari hadapan Challista dan masuk ke dalam mobilnya. Challista mendengus geli. Melambaikan tangannya ketika klakson itu berbunyi, menandakan dirinya pergi. Senyum yang tadinya melengkung indah perlahan lenyap. Sorot matanya berubah pias ketika Porsche itu menjauh dan tidak lagi tertangkap matanya. Challista menarik napas panjang, mengusap dadanya sendiri. Wallius Ethan. Namanya melantun tanpa sadar. Challista meringis, membayangkan betapa besar efek Ethan pada dirinya. Pada kehidupannya. Challista tidak seharusnya begini. Dia sudah bisa melangkah sejauh ini lepas dari jeratan bayangan pria itu. Dan Ethan dengan santai melenggang masuk kembali ke kehidupannya. Secara tidak langsung. Challista menghela napas panjang. Menatap malam yang pekat tanpa taburan bintang dan cahaya bulan. Angin berhembus semakin kencang. Dia harus masuk sebelum tubuhnya membeku. *** "Challista, bagaimana dengan ini? Atau ini? Aaah! Aku bingung. Harus pilih yang mana?" Challista memutar mata. Tidak lagi berselera memakan pangsit goreng di piringnya. Maniknya menatap majalah mobil mewah yang Ten bawa dari rumah. "Kau mau membeli ini?" Senyum khas laki-laki itu melebar. "Tentu! Ayah akan membelikannya. Jika nilaiku bagus di ulangan pertama." Agnia mendengus. Mulutnya mencebik sebagai tanda ejekan. "Halah. Kalau kau dibelikan mobil nanti, separuh mobil itu milik Challista. Biasanya juga gitu, kan?" Ten mendengus. Mendorong bahu Agnia dan gadis itu hampir saja terkungkal jatuh. "Diam kau, pirang!" "Sadar rambutmu juga pirang," ketus Agnia. Ketika dia memukul Ten dengan pisang yang dia bawa dari rumah. Pisang di atas meja makan saat Agnia lupa mencuci mulutnya dengan buah dan terlanjur berangkat ke sekolah. Challista menghela napas. Pertengkaran diantara Agnia dan Ten tidak akan ada habisnya. Matanya berkeliling ke sekitar ruangan, menemukan meja mereka lebih bersih dan terlihat lebar. Dibanding meja kantin lainnya. Dia tidak merasa perlu dispesialkan. Tetapi, penjaga kantin meminta agar anak-anak berduit banyak ini merasa nyaman dan tenang. "Challista!" "Apa?" Challista menghela napas. Memandang Ten yang meringis ketika Agnia menjambak rambutnya. Hanya ada mereka bertiga di meja ini. Di saat yang lain duduk saling berdempetan hanya untuk makan siang. "The Rich Gucci Gang harus steril dari manusia-manusia penjilat ini." Suara Agnia menyadarkan Challista dari pedagang ramen di kantin mereka. Alisnya terangkat tinggi. Ketika gadis berambut pirang sebahu itu memperbaiki letak bandana di rambutnya. "Lihat saja, sejak tadi tatapan para gadis tidak lepas dari kita. Mungkin mereka bergosip tentang uang kita. Dan berapa banyak kekayaan yang kita timbun di dalam tanah." Challista mendengus. Di saat Ten hanya terkekeh, menggelengkan kepala mendengar suara gadis di sebelahnya yang tanpa saringan. "Mereka tentu akan bergosip tentang Challista. Bukan tentangmu yang barbar dan tidak tahu aturan." "Awas kau!" Ten meringis. Menahan sakit ketika sepatu Nevada Agnia menginjak sepatunya di bawah meja. Challista menahan tawa, menggeleng seraya menepuk pipi keduanya dengan keras. "Sadarlah. Setelah ini kita ulangan bahasa." "Fuck." "Terkutuklah bahasa." Challista hanya tertawa. Sampai suara mereka terhenti dan bisik-bisik yang mengganggu di kantin seketika lenyap. Saat ada anak laki-laki lain duduk di sebelah Ten, membawa mangkuk buburnya ke atas meja dan tampak lahap. "Kau!" Agnia menjerit. Menyuarakan ketidaksukaannya karena ada anak lain yang seenaknya duduk di kursi mereka. Sebaris dengan dirinya pula. Ten terlihat menahan tawa. Di antara ribuan anak-anak SMA Moorim, kebolehan anak itu patut diacungi jempol. "Kenapa melihatku seperti itu?" Suaranya yang pelan membuat sudut bibir Challista terangkat. Agnia mendengus, mengetatkan rahang siap berkonfrontasi saat Ten membekap mulutnya. Tersenyum lebar. "Tidak apa-apa. Silakan, lanjutkan makan siangmu. Oh, ya, hati-hati. Buburnya panas." Laki-laki itu hanya mengangguk. Dia menatap Challista sekilas, dan kembali fokus pada mangkuk bubur ayamnya. "Siapa namamu?" Agnia melepas tangan Ten di mulutnya. Ketika gadis itu terengah-engah siap bertempur, suara pelan Challista memecah atensinya. Laki-laki itu mengangkat kepala. Menatap Challista dalam pandangan sambil lalu. "Ethan. Wallius Ethan." Challista tersentak saat ponselnya bergetar di atas meja. Dia menghela napas, memandang siapa yang mengirimkan pesan di jam makan siang. Willy: Sudah makan? Challista tersenyum membalas pesannya. Sudah. Dia kembali menaruh ponselnya. Mengaduk sup kepiting bercampur manisan jagung di dalam mangkuk berukuran medium. Saat pelayan membawakannya segelas teh dingin untuk menemani gelas air putihnya yang kosong. Challista mengangguk. Saat matanya menangkap gelak tawa dari meja bernomor tiga. Matanya tidak sengaja melihat Kanar Nakaya bergabung bersama mereka. Challista tidak mau peduli. Dia mengaduk sup kentalnya dan mulai memakannya dalam diam. Sampai dia mendengar suara derit kursi di hadapannya. Challista mengusap sudut bibirnya dengan tisu, memandang Nakaya yang tengah memangku tas bermerk Chanel dan tersenyum. "Hai, Challista. Senang melihatmu siang ini. Cuaca sangat panas ya di luar?" Challista hanya mengangguk. Dia kembali menunduk, menyantap supnya dalam diam. "Kau sendiri? Di mana kekasihmu?" Challista lagi-lagi hanya diam. Dan Nakaya tidak mungkin berhenti sampai di sana saja untuk memancing gadis itu bicara. "Semalam Ethan datang. Dan gadis di sebelahnya—apakah dia sakit? Astaga. Semalam dia sangat pucat. Kau menyadarinya, kan?" Challista menyesap teh dinginnya dan menatap Nakaya. Memicing untuk menilai penampilan gadis itu. Yang naik lima tingkat dan tidak senorak biasanya. "Aku tidak terlalu memperhatikannya. Kenapa aku harus mengomentari orang lain?" Challista kembali memegang sendoknya saat dia terpaku. "Kenapa kau di sini?" "Aku?" Senyum angkuh Nakaya terbit. "Aku disuruh ibu mertuaku untuk kumpul bersama sepupu Ten. Mereka bilang akan mengadakan arisan, dan aku menawarkan diri untuk ikut." "Ah, begitu." Challista menegakkan punggungnya. Menatap Nakaya yang memainkan rambut panjangnya. "Semalam kau pulang lebih dulu. Aku harap kau menikmati pesta kami." "Aku menikmatinya, sangat, tidak perlu merasa kecewa begitu. Aku sudah menyapa mertuamu saat aku kembali." Nakaya mendengus. "Kecewa? Tidak sama sekali. Aku justru berpikir kau lari karena Ethan datang?" Ekspresi hangat Challista berubah dingin saat Nakaya berbicara dan membawa Ethan ke dalam topik pembicaraan mereka. Gadis berambut merah muda sepunggung itu hanya mendengus, menatap Nakaya datar. "Kenapa aku harus lari? Kami sudah selesai." "Benarkah? Ah, sepertinya semua salahku. Yang mendengar kalau kau dan Ethan putus tidak baik-baik." Challista menipiskan bibir. Memandang Nakaya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sudah sepuluh tahun berlalu. Dan aku rasa, tamu sepertimu tidak seharusnya mencampuri urusan rumah orang lain, kan?" Perumpamaan yang Challista gunakan cukup menyentil ego Nakaya. Yang kini mengetatkan rahang dengan raut masam. "Yah, mau bagaimana lagi. Ethan dan Ten akrab. Mereka cukup dekat. Mungkin, bisa diartikan sama dengan kalian? Hubungan mereka seerat itu." Challista memainkan sendok supnya dengan alis tertekuk tajam. "Benar. Aku sendiri pun tahu hal itu. Tetapi, Nakaya. Kau tidak dalam kapasitas ikut campur dengan masa lalu kami." Nakaya mengangkat alis. Saat Challista memandangnya dengan senyum yang tak sampai mata. "Urus saja urusanmu sendiri. Kau sekarang menyandang marga Ransom. Melihat pernikahan kalian semalam, aku sangat yakin bahwa Tuan dan Nyonya Ransom masih berat menerimamu masuk ke dalam lingkup keluarga mereka. Aku yakin, Ten melakukan sesuatu yang membuat orang tuanya tidak berkutik hanya demi menikahimu. Jadi, bersikaplah yang baik." Nakaya mendesis. Menatap Challista dengan pandangan tak suka terang-terangan. "Jaga bicaramu, Challista." "Aku hanya memberitahu, Nakaya," kilah Challista dengan senyum. "Butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan hati mereka. Terlebih yang kau hadapi adalah Ransom. Keluarga kaya lama yang sangat amat memuja reputasi nama baik marga." Challista menghela napas. Saat ekspresi merah Nakaya siap meledak, dia tidak ingin memicu keributan di dalam restauran mahal ini. "Dan melihatmu makan siang sendiri, sungguh membuatku miris. Inikah Renhart Challista yang dielu-elukan semasa sekolah? Dia tidak lebih terlihat seperti badut anak-anak yang kesepian dan menyedihkan." Genggaman tangan Challista pada ponselnya mengerat. Dia dengan tenang mengalungkan tas Gucci miliknya, menatap Nakaya. "The Rich Gucci Gang, maksudmu? Ketuanya?" Challista tertawa ringan. "Aku pikir kau menyindir Agnia." "Aku tidak akan bicara tentang si bitchy itu." "Setidaknya, Agnia benar-benar gadis yang baik. Memang tampilan luarnya saja dia begitu, hatinya baik. Ini berkebalikan dengan dirimu. Baik di luar, busuk di dalam." Nakaya menggeram dalam suaranya. "Nakaya, aku berdoa untuk Ten dan dirimu. Semoga kalian terus bersama sampai maut memisahkan. Dan bersikaplah yang baik. Kau tahu resiko menikahi golongan kami seperti apa. Jadi sekali lagi, jaga bicaramu." "Kau tidak mengerti apa-apa, Challista." Challista belum beranjak dari kursinya saat dia melingkari tali tas mahal itu di bahunya. "Benar. Aku memang tidak tahu apa pun tentangmu dan Ten. Tapi satu lagi, aku tidak peduli dan tidak mau ikut campur. Aku harap kau juga lakukan hal yang sama padaku." Nakaya menggeram sekali lagi. Sorot matanya berpendar sinis pada Challista yang hanya menatapnya datar. "Ah, dan satu lagi." Challista menoleh. Menatap Nakaya dengan senyum separuh. "Jangan buat aku harus menjadi ular berbisa di kehidupan kalian. Aku bisa lakukan apa pun yang aku mau. Termasuk merebut Ten darimu." Setelah itu, Challista beranjak pergi. Meninggalkan Nakaya yang diam-diam mengepalkan tangan di bawah meja. Menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya kasar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN