Three

1982 Kata
Shadana Afandi. Meskipun terlahir di kota kecil tapi kini ia telah bertransformasi menjadi sosok pria tampan dan lumayan banyak dikelilingi wanita. Profesinya yang adalah seorang asisten pribadi dari bos besar di sebuah perusahaan benefit di ibu kota, membuat Shadana selalu terlihat sibuk selagi mendampingi bosnya yang terkadang mengadakan perjalanan bisnis ke luar kota. Bahkan, ia sering kali diminta bosnya agar menggantikan dirinya apabila ada kunjungan ke setiap divisi di kala dirinya yang kebetulan sedang ada halangan yang membuatnya tak bisa melakukan kegiatan kunjungan bulanan tersebut. Seperti yang terjadi dalam kunjungan bulanan hari ini, Shadana muncul di tengah para karyawan tingkat divisi pemasaran yang sudah bersiap diri untuk menyambut kedatangan bos besarnya. Namun apa mau di kata, pagi-pagi sekali secara mendadak, bosnya itu melayangkan perintah khusus kepadanya. Dia diharuskan mengunjungi divisi pemasaran dalam rangka mengadakan kunjungan rutin di pertengahan bulan. Sementara itu, bosnya sendiri harus terbang ke Makasar karena ada urusan yang tidak bisa ia tunda. Dan mungkin saja, sore hari ia sudah kembali. Maka oleh karena itu, Shadana pun merasa memiliki tanggung jawab selepas diberi komando khusus oleh bos besarnya. Dan kini, tepat di waktu makan siang tiba, Shadana pun sedang duduk di meja kantin perusahaan sambil sesekali melirik arloji di tangannya. Tampaknya, ia sedang menantikan kehadiran seseorang. Terbukti dari lirikan matanya yang tak jarang ia layangkan ke arah pintu kantin. Namun entah sudah berapa kali pula ia mendecak pelan ketika yang dinantikannya tak muncul juga. "Lama bener sih. Keburu abis nih waktu gue ngaso," gumamnya sambil mengembuskan napasnya kasar. Kemudian, ia pun sempat menggaruk rambut cepaknya juga walau tidak ada rasa gatal yang menghampiri. Sampai ketika Shadana masih saja belum menemukan keberadaan sosok yang ditunggunya, tahu-tahu sebuah tepukan ringan pun mendarat telak di bahunya. Membuat si pemilik bahu lantas menoleh ke sumber tepukan dan secepat kilat ia mendapati sesosok perempuan cantik dengan rambut panjangnya yang dicat ombre dengan warna yang berbeda. Untuk sesaat, Shadana pun mengerjapkan kedua matanya. Namun di detik berikutnya ia pun sigap tersenyum sembari menyugar rambut cepaknya. "Tumben nih makan siang di kantin. Lagi kosong jadwal ya?" tegur perempuan itu terlihat akrab. Jika Shadana tidak salah mengingat, perempuan ini merupakan kepala divisi personalia. Ya, Shadana memang pengingat handal. Maka jarang sekali ia melupakan seseorang yang pernah berkaitan dengan dirinya entah itu di dalam kantor maupun di luar. "Ah ya, hemm... Gak kosong-kosong juga sih. Sebenernya masih ada beberapa pekerjaan yang harus diurus. Tapi mengingat ini masih jam istirahat, jadi gak ada salahnya kan kalo ngaso sebentar di kantin perusahaan," sahut pria itu tersenyum. Menatap perempuan di depannya dengan pandangan yang sedikit mengandung unsur ketertarikan. "Gitu ya? Andai aja aku gak keburu bikin janji sama temen, mungkin bisa aja ya kita makan siang bersama. Sayang banget, aku udah ditunggu sama temen di parkiran. Kalo gitu, aku duluan ya. By the way, masih save nomorku yang waktu itu kan?" urai perempuan itu mengerling. Tampaknya, dia juga memiliki sedikit rasa ketertarikan terhadap pria tampan ini. Maka tidaklah heran jika sekarang dia mengingatkan soal nomor yang sempat ia berikan kepada pria itu beberapa waktu lalu saat kebetulan mereka menghadiri acara gathering di suatu tempat secara bersama-sama. "Hem, ya. Ada, kok. Nama lo Renita, kan? Kali aja gue salah save. Bener kan?" ujar Shadana memastikan. "Bener, kok. Ya udah, kalo gitu aku pamit ya. Temenku udah chat nih, bye!" lontar perempuan itu melambaikan tangan. Membuat Shadana lantas hanya mengangguk tersenyum tapi tak mau melepaskan pandangannya dari lekukan tubuh si perempuan yang kini sudah semakin menjauh dari pandangannya tersebut. Bersamaan dengan menghilangnya perempuan tadi di balik pintu, akhirnya yang ditunggu-tunggu olehnya sejak tadi pun muncul juga dari arah pintu yang sama sambil celingukan ke sana kemari. Kebetulan, Shadana melihatnya yang masih celingukan di dekat pintu masuk, maka dengan segera, ia pun berniat untuk menyerukan nama sosok yang tengah celingukan di dekat pintu sana setelah ia memutuskan untuk memikirkan kembali perempuan berambut ombre tadi di waktu yang lain. Sampai tak lama dari itu, Shadana pun benar-benar berseru memanggil nama yang hendak diajaknya mendekat, "Hansa!" serunya cukup lantang. Dalam sekejap, yang dipanggil pun sigap menoleh dan buru-buru mengayunkan kedua kakinya menuju ke arah di mana Shadana menempati salah satu meja yang tersedia. Ya, sudah sejak lama Shadana dan Hansa bersahabat. Dimulai dari mereka yang sama-sama terlahir di kota kecil hingga keduanya memutuskan untuk menjalin persahabatan di usia remaja. Meskipun usia mereka tak setara, tapi tak membuat keduanya saling menjauh karena usia tidak bisa dijadikan sebagai patokan untuk kedua manusia yang ingin saling berteman. Dan beruntunglah Hansa, sebab ia sudah menjadi sahabat Shadana sejak pria itu belum menjadi apa-apa seperti sekarang ini. Hansa tahu betul bagaimana Shadana dulu, dan begitupun sebaliknya. Bahkan, Hansa pun jadi termotivasi ingin menjadi sukses seperti Shadana. Untuk itulah dia sempat merengek-rengek kepada ayahnya agar diizinkan untuk merantau ke ibu kota dan bekerja di sebuah perusahaan yang benefit seperti Shadana. Berkat nilainya yang bagus sewaktu lulus di kampusnya dulu, Hansa pun diterima oleh HRD perusahaan sebagai karyawan biasa di divisi pemasaran. Tidak masalah meskipun ia harus menjadi karyawan biasa dahulu, toh, tidak ada yang sukses tanpa merintis dari bawah terlebih dahulu. Biarpun ia sudah ketinggalan jauh oleh Shadana, tapi Hansa yakin bahwa suatu saat ia pun akan bisa sesukses sahabatnya itu. "Ya ampun, Sa, kamu ke mana aja sih? Ditungguin dari tadi juga," omel Shadana langsung sesampainya Hansa di depan matanya. Sambil sedikit terengah-engah, gadis berambut kuncir kuda itu pun lantas menatap Shadana dengan penuh sesal. "Maafin aku, Kak. Tadi aku sempet disuruh buat kerjain laporan dadakan sama atasanku. Maaf ya kalo udah bikin Kak Shadana nunggu. Aku beneran gak nyangka kalo aku malah diminta buat--" "Ya udah gak apa-apa. Duduk dulu, Sa!" potong Shadana memaklum. Terkadang, ia pun sering mendapat komando dadakan juga kan dari atasannya. Memang begitulah nasib bawahan, sebesar apapun gajinya saat ini, tetap saja nasibnya ada di ujung telunjuk yang memberi gaji. "Kamu mau pesen apa?" tanya Shadana setelah melihat Hansa duduk di kursi seberangnya. "Apa aja deh, Kak. Bebas...." sahut Hansa nyengir. Sementara itu, Shadana pun mulai memanggil seorang pelayan kantin yang bertugas untuk mencatat pesanan para pengunjung kantin. Selepas pesanan keduanya dimasukan ke dalam catatan si pelayan, mereka pun memilih untuk kembali melanjutkan bincang-bincangnya selagi si pelayan yang sudah kembali undur diri guna menyerahkan catatannya ke setiap kios yang menyediakan makanan yang dipesan. "Sa, kamu tuh kenapa sih? Kok, tumben-tumbenan keliatan berantakan. Terakhir kali aku lihat kamu, kayaknya kamu masih oke-oke aja. Ya walaupun terakhir kalinya itu sekitaran dua bulan yang laluan sih. Tapi kan itu jangkanya gak terlalu lama menurutku. Sebenernya apa sih yang udah terjadi sama kamu, Sa?" Mengawali kembali perbincangan, pria itu pun mencoba menginterogasi Hansa mengingat ini adalah pertemuan pertama mereka setelah selama dua bulan tak kunjung saling bertemu. Hansa mendesah pelan tatkala ditanyai sebegitunya oleh Shadana. Ia pun menunduk gelisah di tengah rasa bimbangnya yang mendera. Entah apakah ia harus mengatakan yang sejujurnya kepada Shadana, atau lebih baik ia rahasiakan saja mengenai kejadian yang menimpanya kemarin sore. Tapi mau sampai kapan? Sekalipun Hansa memilih untuk tidak berbicara, ia bahkan yakin kalau Shadana akan tetap mendesaknya sampai ia mau berkata jujur. Shadana yang melihat Hansa hanya menunduk tanpa berusaha menjawab setiap pertanyaannya pun semakin yakin saja bahwa ada yang tidak beres yang sudah terjadi kepadanya. Namun entah apa, yang jelas, bagaimana pun caranya, Shadana harus berhasil mencari tahu mengenai persoalan yang sedang menimpa sahabatnya itu. "Sa, kenapa cuma diam aja sih? Kamu gak ada niatan buat memendam masalah kamu sendiri kan? Apa kamu lupa? Aku adalah orang yang bertanggungjawab mengenai apapun yang terjadi sama kamu loh, Sa. Ayah kamu bahkan udah mercayain segala sesuatu yang berkaitan sama kamu terhadapku. Terus, masa sekarang kamu gak mau cerita apapun sih! Iya, aku emang kadang sibuk dan gak bisa tengokin kamu selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Tapi kan masih ada hape yang bisa kamu gunain buat hubungin aku kapan pun kamu mau. Kalo untuk jawab telepon dari kamu aja sih aku bisa nyempetin meski aku lagi sibuk. Tapi apa? Kamu sama sekali gak mau hubungin aku duluan kalo bukan aku yang telepon atau chat kamu duluan. Jadi sekarang, bilang sama aku, apa yang sebenernya terjadi sama kamu? Aku mohon, Sa...." papar Shadana meminta. Lalu tanpa bisa dicegah, air mata pun jatuh menetes dari sudut mata sang gadis yang kini masih betah menunduk. "Kemarin sore, aku mergokin Satya lagi selingkuh sama cewek lain. Dan parahnya, mereka lagi gituan di apartemen Satya," cicit Hansa berusaha bercerita. Dan dalam sekejap, Shadana pun membulatkan kedua matanya sambil memekik. "Apa? Satya berani selingkuhin kamu?" Pria itu menggebrak meja tanpa sadar. Beberapa saat, perlakuannya pun sempat menarik perhatian dari segelintir orang yang menempati meja tak jauh dari meja yang dihuni oleh Shadana dan Hansa. Tapi kemudian, mereka pun kembali sibuk dengan urusannya masing-masing di sela Shadana yang sudah mulai tersulut emosinya. "Emang b3rengsek tuh cowok. Dari awal aku udah coba ingetin kamu kan, Sa? Hati-hati, cowok modelan kayak si Satya kadang gak bisa dipercaya. Tapi apa? Kamu malah terus aja bilang kalo Satya gak akan mungkin nyakitin kamu, kalo Satya gak seburuk yang aku pikirkan, kalo Satya cowok baik-baik. Lalu sekarang? Mana yang semua tipe yang udah kamu bilang sama aku sebelumnya? Tiga tahun yang lalu, aku coba tekankan sama kamu agar jangan mudah percaya sama cowok kayak si Satya. Tapi selalu aja gak mau dengerin aku. Kenapa sih, Sa? Andai aja kamu mau nurut sama aku waktu itu, mungkin kejadiannya gak akan kayak gini!" tandas Shadana menyesalkan. Hansa tahu, dia memang sudah salah dalam memilih. Tapi tiga tahun yang lalu, Satya tidak terlihat seperti dia yang akan menorehkan luka di hati Hansa. Bahkan selama tiga tahun mereka menjalin hubungan, tidak ada tanda-tanda yang mencirikan bahwa ia bukanlah cowok baik-baik. Sampai pada sore kemarin, barulah Hansa tahu bahwa Satya memang bukan lelaki yang dapat dipercaya untuk menjaga hati serta perasaannya. Entah sudah berapa kali dia meniduri wanita itu, malah mungkin ia pun sempat tidur juga dengan wanita lain yang berbeda dengan wanita yang kemarin Hansa temukan sedang bersamanya di apartemen. Hansa tidak menyangka bahwa hal nahas seperti itu akan terjadi kepadanya. Dan Satya, dia sudah menjadi pelaku utama yang membuat hati Hansa menjadi terluka. "Sa, terus sekarang gimana? Kalian putus?" tanya Shadana lagi. Meski ia sudah tahu jawabannya, tapi tetap saja, Shadana perlu meyakinkan dirinya bahwa Hansa sudah memutuskan hubungannya dengan cowok s1alan itu. Lalu ketika Shadana melihat Hansa mengangguk, barulah ia benar-benar lega karena akhirnya sahabatnya ini telah melepaskan diri dari jeratan cowok buaya semacam si Satya. Tapi tidak! Rasanya masih ada yang kurang dari pertanyaan Shadana. Di detik berikutnya, pria itu pun kembali melontarkan sebuah pertanyaan yang sontak membuat Hansa terkesiap dalam keterdiamannya sedari tadi. "Selama kalian pacaran tiga tahun belakangan, apa dia pernah nyentuh kamu?" Jantung Hansa seolah berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Lalu di menit berikutnya, ia pun mencoba mengangkat wajahnya sembari meluruskan tatapannya ke arah Shadana seraya kepalanya yang digelengkan. Dan hal itu, tentu membuat Shadana bisa bernapas lega seiring dengan beban yang semula melekat di hatinya terlepaskan begitu saja. "Ah syukurlah. Betapa leganya aku saat mengetahui kamu yang belum tersentuh, Sa," cetus Shadana mendesah lega. Kemudian, ia pun menatap Hansa dengan serius. "Janji sama aku, Sa! Untuk ke depannya, jangan lagi kamu percaya sama omongan cowok manapun yang berusaha buat deketin kamu lagi. Ingat! Kamu harus mengambil pelajaran dari apa yang udah menimpa kamu hari ini. Satya mungkin keliatan baik pada tampilan luarnya, tapi kita gak pernah tahu seperti apa isi hatinya. Plis, Sa... Tolong jangan pernah bertindak gegabah lagi ya. Aku masih ingat sama kata-kata Paman Rian. Dia mewanti-wanti agar aku bisa jagain kamu selama merantau di sini. Jadi tolong, jagalah diri kamu selagi aku gak bisa mantau kamu setiap saat. Aku tahu, kamu adalah gadis yang bijak dan dewasa. Aku harap, kamu gak akan berbuat suatu hal yang bisa merusak diri kamu sendiri apalagi sampai menghancurkan masa depan kamu yang masih panjang," tutur Shadana penuh harap. Sementara itu, Hansa pun hanya bertugas mendengarkan di tengah hati serta pikirannya yang masih terasa kalut dan berkecamuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN