5. Gio

1176 Kata
Setelah acara temu keluarga kemarin, tak ada lagi senyum di bibir Helena. Gadis yang biasa dipanggil Helen, tanpa a itu hanya bisa terus-terusan menghela nafas. Seperti saat ini ketika di dalam perjalanan menuju kampus. "Gimana gue bisa ketemu Gio kalau gini? Apa masih ada muka buat ketemu dia? Apa yang mesti gue bilang ke dia?" Ketika mengendarai mobilnya, Helen terus bergumam seorang diri. Hanya Gio, Gio, dan Gio yang ada dalam setiap kalimatnya. Dari semalam setelah acara, dia sama sekali tak berani menghubungi kekasihnya itu. Padahal biasanya juga sering berbalas pesan hingga malam. Sesekali juga video call-an. "Kenapa rumit banget sih, keluarga gue? Kenapa mesti si bocil itu yang mesti tunangan ama gue?" Helen terus mencak-mencak sendirian. Secara 'kan dia memang benar-benar sendiri di dalam mobil. Kasihan kemudinya, sedari tadi menjadi korban kekerasan tangannya. "Padahal, ya ... gue berharapnya si Gio yang ternyata dijodohin ama gue. Kan gue nggak bakalan nolak. Bahkan gue bakalan minta segera dikawinin." Dan begitulah Helen, tidak bisa diam. Apalagi kalau suasana hatinya sedang tidak baik, pasti angin pun akan menjadi sasaran kemarahannya. Seperti saat ini, kemudi mobil yang jadi korbannya. Sedikit ragu, Helen menapakkan kakinya di pelataran kampus. Hari ini dia bakalan ketemu Gio, kebetulan si doi ada kuliah pagi ini. Jika kemarin-kemarin dia akan merasa sangat bahagia, berbeda kali ini. Helen bingung harus bersikap bagaimana. "Beb ...!" Helen sedikit berjingkat ketika sebuah lengan merangkulnya. Dari cara dia memanggil dan dari aroma tubuhnya, gadis itu sangat tahu siapa dia. Jantungnya tiba-tiba berdebar sangat kencang. Bagaimanapun demi kemewahan yang selama ini dinikmatinya, Helen harus menerima perjodohan ini. Yang artinya hubungannya dengan Gio pasti harus berakhir. Masalahnya, bagaimana dia harus mengatakannya pada pria tampan yang kini ada di sampingnya itu? Helen mencoba tersenyum meski sedikit dipaksakan. Bukan karena dia tak menyukai pria tampan itu, tetapi karena dia merasa bersalah karena mengkhianati cintanya. Ya, tidak bisa dibilang berkhianat, sih. Di sini gue juga korban pemaksaan. Kalau bisa memilih, pasti gue bakal milih pria tampan di sebelah gue ini melebihi apa pun. Helen menghela nafas. Kalau bisa. Sayang nggak bisa, ucap Helen dalam hati. "Tumben kamu diem aja, Beb?" Gio tampak heran dengan sikap Helen yang tak biasa. Jika biasanya dia sangat rame, tapi kali ini gadis itu hanya diam. Bahkan sapaan dari kekasihnya itupun tidak dia balas. "Uhm ... nggak kok, Beb. Aku biasa aja." Rupanya dia belum siap mengatakan kebenarannya dengan Gio. Biarlah semua seperti ini dulu. Toh, nikahnya juga masih lama. Mereka hanya bisa bermesraan di parkiran seperti ini. Saat belum ada mahasiswa yang datang. Gio menyeret Helen menuju mobilnya. Membukakan pintu untuk gadis itu. Tanba aba-aba Helen masuk ke mobil Gio, kebiasaan yang sudah dilakukannya selama beberapa minggu ini, sejak saat dirinya jadian dengan Gio. Kini keduanya telah duduk di kursi depan kemudi. Jantung Helen berdetak sangat kencang, hingga nyaris melompat keluar. Helen menggigit bibir bawahnya, membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Gio segera menyambar bibir ranum itu, tak ada penolakan. Malah Helen semakin aktif membalas ciuman kekasihnya itu. "Morning kiss," lirih Gio ketika sesaat melepas pagutannya. Pipi Helen merona, meski ini bukan pertama kalinya buat mereka, tapi entah kenapa selalu membuat gadis itu tersipu. Tak ingin membuang waktu, keduanya saling berlomba melumat benda kenyal nan menggairahkan itu. Helen semakin memperdalam ciumannya, begitu pun Gio. Tangannya mulai bergerilya menuntut lebih. "Stop!" Helen melepas ciumannya dia berusaha menetralkan deru nafasnya. Selama ini memang keduanya aktif berciuman, tapi untuk masalah grepe-grepe, Helen tidak pernah membiarkan hingga sejauh itu. Gio mengerang kasar, membanting tubuhnya hingga punggungnya membentur kursi kemudi. Dia kelihatan sangat frustasi ketika hasratnya lagi-lagi tak tersalurkan. Helen selalu menghentikannya di saat tubuhnya ingin menuntut lebih. Dan itu membuatnya begitu tersiksa. "Please, Beb. Aku belum siap ...." Dengan wajah penuh penyesalan, Helen berusaha meredam gejolak di hati Gio. Dia sangat tahu, kekasihnya itu begitu menginginkannya dan mendamba percumbuan panas dengannya. Hal yang tidak bisa dia berikan. Gio hanya memejamkan mata, gadis itu yakin bahwa pria di sampingnya itu sangat kesal. "Oke, Beb. Aku ngerti. Aku akan nunggu sampai kamu siap." Pria berwajah mirip aktor Hollywood itu, menyugar surai hitam gadis manis di depannya. Gadis dengan kulit eksotis yang membuatnya harus menahan segalanya ketika hanya berduaan dengannya. Karena gadis itu sangat jual mahal padanya. Helen merasa sangat beruntung memiliki kekasih pengertian yang tidak banyak menuntut. Helen memang belum siap untuk hal lebih. Kalau untuk kissing, it's ok-lah. Tapi jika sampai memegang area sensitifnya, dia akan segera menghentikan ciumannya, meski saat itu dirinya telah melambung karena keahlian Gio memanjakan bibirnya. "Thank's, Beb. Aku seneng punya cowok pengertian kayak kamu." Helen balas tersenyum pada Gio. "Udah, yuk. Aku ada kuliah jam sepuluh. Takut kalau kelamaan di sini, maunya khilaf." Seringai terbit di bibir Gio. Hal itu tentu saja membuat wajah Helen memanas. Semburat pink muncul di kedua pipinya. Gio segera membuka pintu mobilnya, disusul Helen. Mereka berjalan sendiri-sendiri agar tidak ada yang curiga dengan hubungan mereka. Sebenarnya ingin sekali Helen mengumumkan hubungan mereka, tapi Gio takut jika para penggemarnya akan menyerang Helen. Maklum, Gio adalah mahasiswa paling populer di angkatannya. Yang artinya, kating paling populer bagi Helen. Dalam perjalanan menuju kelas, benak Helen tak hentinya berpikir berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi. "Kalau gue ngebatalin perjodohan ini, bukan hanya gue saja yang susah, akhirnya seluruh keluarga bakalan susah." Satu kebiasaan Helen yang tidak pernah hilang, dia akan selalu bergumam sendiri jika sedang ada masalah. "Ngelamun aja pagi-pagi!" Tasya, teman satu jurusan Helen sukses mengagetkan gadis itu dari lamunan. "Ah! Rese lk. Kalau gue jantungan gimana? Untung jantung gue buatan Tuhan, coba kalau buatan manusia, udah remuk ni jantung," gerutu Helen sembari memegangi dadanya. Tasya hanya terkekeh mendengar omelan sahabatnya itu. Bukan hal baru jika Helen memang suka sekali mengomel. "Habisnya ... lo gue perhatiin dari sono, tu." Tunjuk Tasya ke suatu tempat. "Jalan kayak nggak ada semangat-semangatnya. Udah dapet jatah belum pagi ini?" Mungkin saking semangatnya, suara Tasya terdengar begitu nyaring di telinga Helen. "Aw ...!" Tasya meringis ketika cubitan Helen mendarat di lengan kanannya. Bisa dikatakan tidak ada rahasia di antara keduanya, jadi Tasya pun tahu tentang hubungan Helen dan Gio. Serta rutinitas pagi mereka di dalam mobil. Helen meletakkan jari telunjuknya tepat di bibir sahabatnya itu. "Lo mau seluruh kampus tahu hubungan gue ama Gio?" bisiknya tepat di telinga Tasya. Entah kenapa aura Helen sedikit berbeda ketika mengatakannya. Hingga membuat bulu kuduk Tasya merinding. "Gue 'kan nggak sebut merek, Cyin ...." Tasya berusaha membela diri dari tuduhan Helen itu. "Iya, tapi tu mulut kenceng bener ngomongnya. Bisa-bisa seluruh kampus ini denger." Helen balik badan dan berlalu begitu saja meninggalkan Tasya. "Tapi, bener, deh. Gue penasaran. Ngapa tu muka ditekuk aja. Kayak udah nggak dapet jatah setahun aja." Kali ini Tasya lebih memelankan suaranya, takut diamuk Helen lagi. Helen membuang nafas kasar. "Gue dijodohin." "Ow ...," jawab Tasya santai, "apa? Dijodohin?" tanyanya lagi ketika sadar apa yang dikatakan sahabatnya. Matanya membulat sempurna, sebagai tanda dirinya yang sangat shock mendengar kabar itu. "Lalu ... gimana dengan Gio?" Helen hanya mengedikkan bahunya. Karena dia sendiri pun tak tahu mesti bagaimana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN