Dengan bibir cemberut, Helen menunggu seseorang yang akan jadi teman kencannya kali ini. Siapa lagi kalau bukan si bocil, Nathan. Sebab kalau Gio pastinya gadis itu sudah melonjak kegirangan.
"Nathan dateng jam berapa, Sayang?" Sofia duduk di sebelah putrinya. Dia menghela napas melihat raut wajah Helen seperti ingin mendatangi pemakaman.
"Senyum, dong, Sayang ...," rayu Sofia. Dengan amat sangat terpaksa Helen mengeluarkan senyum terburuknya, lebih menyeramkan dari senyum boneka Chunky.
"Apa nggak bisa dibatalin, Ma ...?" lirih Helen, "masak Helen jadi penyuka bocah, sih?" lanjutnya. Sofia sebenarnya tidak tega, putri kesayangannya yang biasanya urakan dan pembangkang jadi melow gini.
Sofia mengelus rambut Helen dengan penuh rasa kasih sayang. Dia sendiri bingung harus bagaimana.
"Sayang ... ini semua demi kebaikan Helen. Mama nggak mau kalau Helen hidup susah. Apa Helen juga mau kita sekeluarga jadi gelandangan? Dan juga, Nathan itu sudah sembilan belas tahun, jadi bukan bocah lagi. Cuma, ya ... lebih muda sedikit dari kamu." Helen menggeleng. Sepembangkangnya dia, tidak mungkin tega jika melihat keluarganya jadi gembel.
Sebenarnya tidak ada yang dirugikan dari perjodohan ini, hanya saja di hati Helen sudah ada orang lain. Yang lebih dewasa darinya dan bukan bocah seperti Nathan.
Terdengar suara bel berbunyi. Pandangan keduanya beralih ke arah pintu.
Sofia tampak begitu bersemangat, berbeda dengan putrinya yang tertunduk lemas. Tiada gairah hidup yang dirasakannya kini. Harusnya akhir minggu ini menjadi kencannya dengan Gio, bukan malah dengan si bocah.
"Itu pasti Nathan. Emang deh tu anak tepat waktu banget." Buru-buru Sofia berdiri dari duduknya, segera berjalan membukakan pintu untuk calon menantunya itu.
"Pagi, Tante ...," sapa Nathan ramah pada wanita paruh baya itu. Tak lupa senyum palsu semanis madu dia pasang di hadapan calon mertuanya itu. Dia tidak mau diadukan pada ibunya, jika bersikap tidak sopan.
"Eh, Nak Nathan. Masuk dulu, sini. Helen sudah menunggu di dalam." Helen memutar kedua bola matanya malas mendengar penuturan ibunya.
Apa? Menunggu? Yang ada gue nunggu buat nendang tu bocil. Ngarep apa dapet cewek cakep kayak gue? Sok-sokan manis pula, gerutu Helen yang hanya dapat didengar oleh hatinya.
Nathan dan Sofia kini sudah berdiri di samping sofa tempat duduk Helen. Keduanya saling memberikan tatapan membunuhnya, saat sepasang mata mereka saling bertemu. Namun, berubah melunak ketika memandang Sofia.
"Kamu udah makan, Sayang?" Helen merasa geram kenapa ibunya malah bersikap begitu manis pada anak kecil itu.
"Sudah, Tante," jawab Nathan sopan," Mama selalu memastikan saya sarapan dulu sebelum berangkat sekolah, jadinya meski hari libur saya pasti terbiasa sarapan dulu sebelum pergi," lanjutnya.
"Dasar bocil," lirih Helen yang hanya dia sendiri yang dapat mendengarnya.
Sofia hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Nathan. Kini matanya menatap ke arah putrinya, "Nah! Helen, Sayang. Mulai saat ini kamu harus belajar memasak, biar nanti bisa menyiapkan sarapan buat Nathan."
Perkataan Sofia barusan membuat Helen tersedak. Sebenarnya Helen tidak sedang makan atau minum apa pun, tapi bisa-bisanya gadis itu tersedak. Mungkin tersedak angin. Matanya memerah dan berair.
Entah mengapa melihat Helen seperti itu membuat Nathan tersenyum licik, dan hal itu dapat dilihat oleh Helen. Tentu saja membuat d**a gadis itu bergemuruh mengetahui musuhnya tersenyum di atas penderitaannya.
"Yasudah, kalian akan langsung pergi, 'kan? Biar bisa langsung berduaan dan saling mengenal." Helen segera beranjak dari duduknya. Dia berjalan menghampiri ibunya mengambil tangannya dan mencium punggung tangan wanita itu dengan takzim.
Dengan raut muka seperti menahan berak lima ratus tahun, Helen segera berjalan terlebih dahulu tanpa menghiraukan Nathan.
"Buruan! Kalau nggak gue tinggal nih!" teriak Helen sambil berjalan.
"Saya permisi dulu ya, Tante." Nathan pun mencium punggung tangan calon mertuanya itu. Dengan langkah besar dia berusaha menyusul Helen.
"Dasar tu anak cewek." Sofia hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap putri bungsunya itu.
Helen menunggu di pinggir pintu, menunggu sesorang untuk membukakan pintu untuknya. Namun, entah karena tidak tahu atau sengaja, Nathan hanya melewatinya. Mata Helen membola tak percaya.
Nathan membuka pintu di samping kemudinya. Sebelum masuk dia menoleh ke arah gadis yang masih berdiri mematung itu.
Sebelah bibirnya diangkat ke atas, seolah mengejek Helen. "Buka sendiri! Manja amat!"
Setelah mengucapkan itu, Nathan masuk ke dalam mobilnya dan menutup pintu agak keras, hingga Helen sedikit berjingkat karena kaget.
"Dasar bocil labil!" Suara Helen pun tak kalah kencang dari Nathan. Agar tak lebih malu lagi, dia segera masuk dan duduk. Tak lupa memasang seatbelt.
Setelah Helen masuk, segera Nathan memutar mobilnya meninggalkan halaman rumah itu. Rumah besar itu, yang kelak adalah miliknya.
"Inget, ya. Ini bukan kencan!" Suara lantang Helen menggema di seisi mobil.
"Berisik! Gue juga tahu. Siapa juga yang mau kencan ama tante-tante?" Adakah yang lebih menghebohkan dari ini? Saat Helen dan Nathan jadi satu.
"Udah gue bilangin! Gue bukan tante-tante!" tegas Helen. Rahangnya mulai mengeras tanda dia sedang berusaha menahan amarah.
"Kamu aja yang bocil. Masak gue mesti jalan ama bocah, sih. Kalau ada yang lihat bisa turun reputasi gue."
Nathan memilih diam dan tak menanggapi ocehan Helen. Matanya fokus ke depan menatap jalanan. Tidak ada senyum yang keluar dari bibirnya.
Sesekali Helen melirik ke arah sampingnya. Ternyata jika dari dekat, anak ini kelihatan lebih manly. Apalagi dengan jambang halus yang mulai tumbuh di rahangnya, membuatku merasa gerah.
"Hah! Ini mobil nggak pakai AC, ya? Panas banget." Helen mencari tombol AC, tapi udah nyala. Full malah. Ganti kini dia mengipaskan tangannya sendiri ke arah wajah.
"Lo aja yang ngigau. AC full gini dibilang nggak pake AC. Emang bener ya, tante-tante mendekati nenek-nenek bawelnya kebangetan." Nathan mengucapkannya nyaris tanpa ekspresi. Secepat kilat Helen menatap ke arah Nathan dengan tatapan sinis.
"Sabar ... Helen, sabar ...," lirihnya seraya mengelus d**a, "dia masih bocil, jadi maklumin aja." Meski Helen mengucapkannya selirih mungkin, nyatanya Nathan masih bisa mendengarnya.
"Oh, iya. Bukan berarti gue mau beneran tunangan ama lo, ya ...." Helen menatap bocah itu tajam.
Nathan menoleh ke arah Helen, pembawaannya lebih tenang dari pada Helen. "Sama," ucap Nathan santai.
Mendengar jawaban itu bukannya senang karena ternyata pikiran mereka sama, tetapi entah mengapa Helen malah merasa sedikit disepelekan.
"Gue juga udah punya pacar. Jadi jangan coba-coba jatuh cinta ama gue!" ancam gadis itu. Nathan hanya terkekeh.
"Bodo amat. Pernikahan ini batal, bukan gue yang bakalan rugi. Gue juga ogah kali nikah ama bekas orang. Palingan juga kepake ama cowok lo."
"Wah ...! Beneran sadis omongan ni bocah. Anak SMA udah tahu masalah gituan. Parah lo. Omes! Gue nggak separah itu, ya." Tentu saja Helen terbakar oleh tuduhan yang jelas-jelas tidak benar itu. Bagaimanapun dia masih bisa menahan untuk tidak melakukannya.
"Gue nggak percaya. Mana buktinya?" tantang Nathan pada gadis di sebelahnya.
"Oke! Mau gue buktiin?"
"Iya. Mana? Cepetan!"
"Eh!" Buru-buru Helen tersadar bahwa itu tidak mungkin. Bagaimana caranya dia bakal membuktikan masalah itu pada Nathan?
"Kenapa, diem?"
"Nggak bisa 'kan, ngebuktiinnya? Besar mulut aja lo."
"Nggak penting juga kali, gue buktiin ke lo." Helen berdehem, wajahnya memandang kaca mobil yang memantulkan bayangan dirinya.
Pipinya sudah merona karena malu, Kenapa juga gue bisa terjebak omongan kayak gini ama tu bocah?
Sisa perjalanan mereka dihabiskan dengan keheningan. Tak ada satu pun yang berniat memecah keheningan tersebut.