Bab 3

3652 Kata
Helena melirik ponsel Dania yang layarnya tiba-tiba hidup tanda ada notifikasi yang masuk. Ia iseng melihat dan dahinya mengernyit penasaran. “Sejak kapan Dania main RP?” **             Helena pura-pura sibuk menonton TV sambil memakan cemilan yang dibawa oleh Dania tadi saat sahabatnya itu selesai dari kamar mandi. Rasa penasarannya yang begitu besar membuat perubahan pada mimik wajah gadis berusia dua puluh tahun itu. Dania yang menyadari ada yang salah pada Helena, menatap gadis itu dengan raut wajah penasaran bercampur gugup, ia takut Helena sudah tahu apa yang ia sembunyikan beberapa waktu belakangan ini. “Woi bengong aja lo! Kesambet gue kabur aja sumpah.” Sahut Dania berusaha menepis jauh-jauh dugaan buruknya. Ia diam-diam menghela napas lega saat Helena menatapnya sambil menunjukkan cengiran khasnya. “Diem b**o! Gue lagi serius nonton juga.” balas Helena. Tangannya tidak berhenti memasukkan cemilan ke dalam mulutnya. Dania berdecak, “Ya allah abis deh cemilan gue!” “Ya allah abis deh bensin gue nebengin orang.” Helena memeletkan lidahnya pada Dania yang kini terperangah mendengar ucapan sahabatnya itu. “Halah bensin isi seliter aja banyak gaya lo!” hardik Dania. Tangannya dengan cepat merebut cemilan yang kini tinggal setengah. Gantian Helena yang menatap Dania setengah kesal. Gadis itu memilih berjalan ke dapur dan membuat minuman untuk dirinya dan sahabatnya itu. Beberapa menit kemudian kedua tangannya membawa nampan berisikan dua gelas es teh ke ruang TV. Dania tampak sibuk bermain ponsel sampai tidak menyadari bahwa Helena tengah menatapnya penasaran. Gadis itu seketika teringat notifikasi sebuah pesan dari sebuah akun rp bernama Willy dengan foto profil laki-laki berwajah kebaratan berambut hitam yang tidak memakai atasan. Tak mau terjebak dalam situasi canggung sendirian, Helena berdehem pelan pura-pura tidak menyadari kekagetan Dania yang melihatnya seperti orang yang takut ketahuan. “Gue udah tau kali nyet,” ujar Helena dalam hati tapi ia tak mau menunjukkan kalau dirinya tahu sesuatu. Menurutnya, Dania akan cerita dengan sendirinya nanti. Gadis itu meletakkan nampan di atas meja sambil memasang wajah tanpa dosa. Sepersekian detik ada hawa canggung yang memenuhi ruang TV sampai Dania memasukkan ponselnya ke dalam totebag We Bare Bears kesayangannya. Ia memasang tampang penuh semangat saat melihat apa yang dibawa Helena dari dapur. “Ceilah dibikinin es teh segala coy,” ucap Dania dengan langsung meminum setengah gelas es teh di hadapannya. “Buset! Lo haus apa doyan? Norak lo es teh doang padahal.” Cibir Helena ikut meminum gelas miliknya. Dania berdecak setengah kesal mendengar cibiran temannya itu. “Gue bayar deh nih es teh lo!” sungutnya. Tangannya meraih cemilan baru dari dalam tasnya. “Tas lo tuh warung berjalan Dan? Banyak amat jajanannya dah.” Helena geleng-geleng kepala sementara Dania mengedikkan bahu tidak peduli. Ia lanjut menonton TV sambil mengunyah sementara pikiran Helena sibuk menerka-nerka kenapa sahabatnya itu menutup-nutupi bahwa dirinya juga bermain RP seperti dirinya. ** “Tar pulang bareng gak? Gue kelas sampai jam lima.” Ucap Helena saat mereka berdua kini sedang berada di parkiran fakultas. Dania yang langsung turun dari motor dan berlari ke arah sekretariat HIMA jurusannya hanya mengacungkan jempol. Ternyata saat diperjalanan tadi, ia menerima pesan bahwa akan ada rapat mingguan antar anggota HIMA di sekretariat jurusannya dan dirinya sudah terlambat lima belas menit. Helena yang melihat kelakuan sahabatnya itu hanya bisa geleng-geleng kepala, setelah mengirim pesan pada Anggi untuk menyisakan tempat duduk di samping gadis itu, Helena berjalan ke arah kantin untuk membeli kopi kemasan botol karena mata kuliah nanti akan diajar oleh dosen yang hanya suka mengoceh di depan kelas. Ia butuh kopi agar tidak mengantuk saat belajar di kelas atau dia akan ditunjuk untuk menjawab pertanyaan sulit dari dosen yang mengajarnya. Kita sebut saja Pak Agung. Dosen tua yang gemar berbicara tentang pengalaman hebatnya waktu muda. Pak Agung anehnya tidak mau satupun dari mahasiswanya tidak mendengarkan ceritanya. Kalau saja beliau sampai tahu ada yang tidak memerhatikan, siap-siap saja akan mendapatkan pertanyaan sulit mengenai materi kuliah. Jika tidak bisa menjawab, kehadiranmu dianggap alfa. “Dimana dodol? Dah mau masuk! Cepet!” begitu isi pesan Anggi saat ponselnya bergetar ketika membayar kopinya pada ibu kantin. Dengan langkah cepat ia berjalan ke arah kelasnya yang tak jauh dari kantin. Kantin fakultas memang sangat dekat dengan kelas-kelas jurusan Helena dan Anggi, berbeda halnya dengan Dania yang letak kelas-kelas jurusannya berada di ujung, jauh dari kantin. Jika Dania hendak ke kantin, ia pasti melewati lobby jurusan kedua sahabatnya itu. Makanya waktu kemarin, gadis itu melihat Anggi yang memesan bakso karena letak lobby jurusan sangat dekat dengan letak kantin tersebut. Helena menghela napas lega saat Pak Agung belum tiba di kelas. Matanya langsung tertuju pada sahabatnya yang hari itu memakai kemeja berwarna navy yang dipasangkan dengan jeans berwarna putih. Seperti biasa rambutnya terurai dengan earphone kesayangannya melekat di sebelah telinga kanannya karena yang berfungsi hanya sebelah itu saja. “Parah anying gue ngos-ngosan banget jalan cepet tadi! Gue kira si dugong udah masuk ya allah.” Dugong merupakan sebutan bagi Pak Agung dari mereka berdua. Sebutan itu dicetuskan pertama kali oleh Anggi karena sebal mendapat pertanyaan dari Pak Agung yang untungnya bisa dijawab berkat bantuan Helena secara diam-diam. Disebut dugong karena postur tubuh beliau lumayan berisi terlebih di bagian perut. “Gue kan gak bilang dia udah masuk dih.” Kilah Anggi. Helena melengos, “Eh nyet jelas-jelas lo bilang di chat kalau udah mau masuk! Makanya gue buru-buru kesini.” Anggi mengeryitkan dahinya tanda tidak percaya, “Maaf Bu haji, saya khilaf.” Helena menatapnya kesal saat gadis itu memperlihatkan cengirannya yang jarang ia tunjukkan kecuali ke keluarga dan kedua sahabatnya itu. Matanya menyipit saat ia tersenyum lebar pada Helena. “Miif yi bi hiji siyi khilif,” balas Helena yang membuat Anggi cekikikan. “Yaelah Na itung-itung lo olahraga kan lagian masih deket ini kelas ama kantin! Lebay lo najis.” Helena hanya diam malas beradu argumen dengan Anggi. Ia lebih memilih mengecek ponselnya kalau-kalau Dylan tidak jadi mengajaknya break. Namun, tetap saja, tidak ada satupun pesan dari laki-laki itu yang masuk ke notifikasinya. Ia menghela napas pasrah lalu memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas bertepatan dengan masuknya Pak Agung. ** Gadis berambut sebahu itu baru saja keluar dari kamar mandi saat ia dikejutkan dengan kehadiran Lia di kamarnya. Ia menatap Mamanya heran namun tetap membiarkan Lia bersuara duluan, “Na, Mama harus ke Singapore buat bantu-bantu acara pameran di sana. Gapapa ya? Nanti Tante Fio bakal nemenin kamu disini selama Mama pergi.” Fio adalah adik Lia yang belum menikah karena baru saja menyelesaikan pendidikan magisternya di salah satu universitas di Jakarta. “Lah tiba-tiba banget Ma?” tanya Helena. Ini pertama kalinya Lia bekerja sampai keluar negeri, keluar kota pun sebelumnya tidak pernah. Lia mengangguk, “Iya, ada perubahan rencana dari yang mengadakan pameran. Mama jelasin juga kamu gak bakal ngerti. Mama sudah menghubungi Tante Fio kamu, besok dia kesini. Mama besok berangkat pagi-pagi banget karena pesawat Mama juga flight pagi.” Jelas Lia panjang lebar yang hanya diangguki saja oleh Helena. “Berapa lama Mama di sana?” “Sebentar kok. Paling lama seminggu. Nanti uang jajan kamu Mama transfer aja ya?” “Iya, gimana Mama aja sih.” Lia tersenyum mengelus rambut anak semata wayangnya itu. Jujur, ia sedikit merasa khawatir tapi ia terpaksa mengambil tugas yang dipindahkan kepadanya karena bayarannya juga cukup tinggi. Ia bermaksud untuk menabung setengah bayarannya untuk membuka butik sendiri sementara setengahnya untuk biaya sehari-hari dan keperluan kuliah Helena. “Kamu keluar gih! Mama udah masak udang goreng tepung kesukaan kamu. Mama mau mandi dulu,” ujar Lia lalu beranjak keluar kamar. Helena menghela napas karena selama ia hidup, baru kali ini ia jauh dari Lia dalam waktu lumayan lama. Lamunannya terpecah saat ponselnya bergetar tanda ada notifikasi baru yang masuk. Ternyata pesan pemberitahuan bahwa paket kuotanya akan habis. Diam-diam dia mengharapkan notifikasi tersebut berasal dari Dylan, pacar RP nya. Ia akui ia sedikit merindukan laki-laki itu. ** Sementara di lain tempat tampak seorang gadis tengah asyik chattingan bersama seseorang yang kelihatannya merupakan pacarnya. Terlihat dari isi chat berisi kata-kata bucin dan panggilan kesayangan untuk satu sama lain. Gadis itu tersenyum lebar sambil mengetikkan balasan untuk pacarnya itu. “Iya sayang, aku juga kangen banget sama kamu. Kapan ya kita bisa ketemu?” sent! Kurang dari semenit pesan gadis itu sudah dibalas, “Secepatnya ya sayang. Doain aja aku bisa kesitu.” Senyuman gadis itu makin lebar. Tangannya dengan lincah mengetikkan kembali balasan untuk laki-laki itu, “Aamiin. Aku tunggu kamu kesini.” Kira-kira sudah lebih dari satu jam mereka saling mengirimi pesan. Satunya pemilik akun RP bernama Rissa sementara yang satunya adalah pacarnya, si Willy. “Non Nisa, disuruh nyonya makan malam dulu.” Terdengar ketukan dan sahutan dari luar yang berasal dari asisten rumah tangganya bertepatan dengan satu pesan yang masuk dari Willy. “Iya Mbak sebentar.” Dengan cepat Nisa membalas pesan dari pacarnya itu yang mengatakan akan menghubungi laki-laki itu setelah makan malam. Sebenarnya bisa saja ia membawa ponselnya ke meja makan tetapi Mami dan Papinya tidak suka anak-anaknya bermain ponsel saat makan bersama di meja makan. Menurut orang tuanya, hal itu sama sekali tidak sopan. “Kita jarang loh bisa makan lengkap bareng Papi tapi kamu malah sibuk sama ponselmu. Adek juga!” ucap Maminya waktu itu saat dirinya dan adik laki-lakinya bermain game online di ponsel mereka masing-masing. Setengah jam kemudian, gadis itu kembali kekamarnya. Ia sengaja pamit duluan dari meja makan untuk melanjutkan chatnya bersama Willy. Sudah beberapa hari sejak ia ditembak oleh laki-laki itu, dirinya merasa sangat bahagia. Willy mampu membuatnya merasa menjadi wanita paling beruntung saat itu. Ia sama sekali tidak menyesali keputusannya bermain roleplay. ** Keesokan harinya Helena bangun siang karena hari itu tidak ada kelas. Ia sedikit merasa bersyukur karena sebenarnya ia juga malas untuk datang ke kampus. Kalaupun ada jadwal kuliah hari itu, dirinya lebih memilih untuk titip absen ke Anggi saja. Gadis bermata coklat turunan Papanya itu berjalan ke kamar mandi dengan gontai. Ia merasa kurang bersemangat karena dari hari itu sampai beberapa hari ke depan ia tidak akan bertemu sang Mama. Subuh tadi Lia berangkat menggunakan taksi online, Mamanya itu sempat mengatakan bahwa Tantenya akan tiba sekitar jam 10 karena ada urusan dahulu. Setelah mencuci muka dan menyikat gigi, Helena berjalan ke arah dapur untuk membuat sarapan. Seperti biasa, ia meminum segelas air putih sebelum akhirnya menyiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Lebih dari lima belas menit sebelum akhirnya nasi goreng buatan dirinya sendiri sudah jadi. ia tersenyum bangga saat mencium aroma nasi goreng buatannya sendiri yang begitu harum. “Belum ada seminggu tapi udah kangen banget,” gumamnya dalam hati. Ia baru saja mengecek ponselnya, menunggu keajaiban kalau-kalau ada nama seseorang yang ia tunggu pesannya masuk ke notifikasi ponselnya itu namun nihil. Ia memilih untuk mengirim pesan pada Anggi, “Nggi, kerumah dong nyokap gue lagi ke Singapore. Tante gue masih nanti siang datengnya.” Butuh sekitar dua belas menit pesannya dibalas karena Anggi memang tipe orang yang merespon lambat pesan yang masuk ke ponselnya, “Sorry ya Na, gue juga banyak kerjaan nih di rumah. Nyokap gue mau arisan gue disuruh bantu masak.” Helena yang saat itu hanya menonton acara TV yang menurutnya membosankan itu menghela napas, ia semakin bosan saat membaca pesan yang tertera di layar ponselnya itu. Entah kenapa dia merasa sedikit canggung untuk mengajak Dania ke rumahnya semenjak insiden waktu itu. Namun, rasa bosannya mengalahkan rasa canggungnya. Dengan cepat ia menutup room chat pribadi antara dirinya dengan Anggi dan mencari kontak Dania. “Dan rumah gue yok. Nyokap gue ke Singapore.” Tak butuh waktu semenit gadis itu sudah membalas. Berbanding terbalik dengan Anggi yang tunggu lebaran kuda baru ia balas. “Kalau sekarang gue gak bisa, ada yang gue kerjain di rumah. Siangan aja gimana?” tawarnya. “Boleh deh, nanti kabarin aja ya.” Sent! Setelah itu Helena memutuskan untuk mandi saja sembari menunggu Tante Fionya datang. Selang beberapa menit setelah mandi, seseorang mengetuk pintunya. Helena yang memang menunggu Tantenya datang bergegas ke arah pintu dan mengintip dari balik jendela. Ternyata Dania yang datang dengan kaos berwarna mocca yang dipadu-padankan dengan baggy pants berwarna coklat. Totebag nya yang ia selempangkan di tangan kanannya terlihat menggembung karena berisikan cemilan. Helena melengos melihat cengiran khas Dania yang selalu ia lihat tiap ia membukakan pintu. “Tumben lo ngetuk? Biasanya p p p mulu di chat.” Sembur Helena. “Lagi tobat gue, gak tau ya besok. Kalau cuacanya mendung, gak jadi tobat.” “Apasih Dan, ya rabbi,” yang disebut namanya hanya tertawa sambil menyelonong masuk ke dalam seperti biasa. Helena geleng-geleng kepala saat melihat Dania sudah asyik menonton TV. Mulutnya tidak berhenti mengunyah. Dania memang doyan ngemil namun kelebihan gadis itu adalah badannya tidak pernah kelihatan gemuk. Selalu ramping. “Katanya siangan lo kesini?” “Tadinya iya, tapi gak jadi.” balas Dania tidak mengalihkan pandangannya dari TV. Saking seriusnya ia menonton, ia tidak sadar ada notifikasi yang masuk ke ponselnya dari akun bernama Willy. Dania tidak sadar karena ponselnya berada dalam mode diam tidak bergetar dan berbunyi. “Dan, hp lo tuh!” Helena ikut terkejut melihat respon Dania yang begitu terkejut mendengar ucapannya. Beberapa detik kemudian, Dania terkekeh canggung lalu mengambil ponselnya yang memang ia letakkan di atas meja. Helena juga balas tertawa canggung melihat reaksi sahabatnya yang mencurigakan itu. “Apaan sih lo anjir gitu doang kaget!” omel Helena menutupi kecanggungan di antara mereka. “Lo nyembunyiin apa sih emang Dan?” gumam Helena dalam hati. ** Pukul jam setengah dua belas siang Fio baru sampai di rumah Helena dengan membawa dua kantong belanjaan besar di kedua tangannya. Napasnya sedikit tersengal saat Helena membukakan pintu untuknya yang sudah berdiri di teras rumah hampir sekitar sepuluh menit. Helena merasa sedikit tidak enak karena terlambat melihat pesan dari Tantenya. Ia pikir Tantenya akan mengetuk pintu namun ternyata sama saja seperti Dania, sahabatnya, yang akan mengirim pesan terlebih dahulu setiap datang ke rumah. “Tante maaf ya Helena kira Tante belum sampai ke rumah.” Ujar Helena dengan raut wajah bersalahnya. Fio hanya tersenyum menanggapi keponakan semata wayangnya itu, setelah mengucap salam, ia memasuki rumah kediaman Kakaknya yang sekarang mungkin sudah tiba di Singapore. Ia meletakkan kantong belanjaan tersebut di atas sofa dan duduk di sofa yang masih kosong, tepat di samping Dania yang sibuk bermain ponsel. Gadis berambut coklat yang selalu dikuncir itu melihat Fio dengan raut wajah ramah. “Dania, Tante.” Sahut gadis itu sambil menyalim tangan Fio yang tersenyum lebar sambil mengangguk. “Eh, iya. Saya Fiokina, Tantenya Helena.” Balas Fio tak kalah ramah. “Tante bawa apa Tan? Kok banyak banget?” tanya Helena mengalihkan perhatian Fio pada dua kantong belanjaan besar di sampingnya. Fio terkekeh sambil memperlihatkan cengirannya. Tante Helena satu ini memang masih berjiwa muda karena dia anak bungsu dari keluarga Mamanya. Lia, sementara itu, merupakan anak kedua dari ketiga bersaudara. Helena mempunyai Paman yang sering ia panggil Om Juna yang notabene merupakan Abang dari Fio dan Lia. Om Junanya itu sendiri kini tinggal di Semarang dengan istri dan ketiga anaknya. Biasanya saat lebaran idul fitri tiba, mereka semua berkumpul di rumah Nenek Helena yang berada di salah satu kabupaten di Jawa Barat. “Bawa cemilan sama frozen food, Na. Tante males banget masak gapapa ya? Seminggu depan kita gak usah masak aja ngapain kan, repot.” Jelas Fio panjang lebar. Helena ikut tersenyum senang karena sebenarnya ia pun juga malas memasak. Saat ada Lia pun, wanita itu lah yang memasak di rumah. “Emang bagusnya gitu aja Tan!” sahut Helena dengan nada ceria. Ia senang sekali, Tantenya itu tidak pernah pelit padanya. Tak jarang saat masih sekolah dulu, Fio memberinya uang jajan yang jumlahnya lebih banyak dari yang diberi Lia maupun Wijaya, almarhum Papanya itu. Dania yang mendengar percakapan antara Fio dan Helena tersebut ikut-ikutan nimbrung setelah asyik sendiri membalas pesan dari teman RPnya, “Ih! Gue nginep di sini boleh gak sih? Boleh ya Na?” sambung Dania dengan nada seperti orang memelas. Helena menatap sahabatnya itu datar sambil menggeleng kuat, “Gak! Makanannya jatah gue anjir!” Dania berdecak kesal sambil mengerucutkan bibirnya, ia melipat kedua tangannya di d**a seperti orang sedang kesal. “Dih lo pikir lo kayak gitu cakep ha? Geli gue,” sambung gadis berambut sebahu itu. Fio yang melihat tingkah keponakan dan sahabatnya itu hanya bisa geleng-geleng kepala, ia lebih memilih untuk menata makanan yang ia beli ke dalam kulkas. Dirinya memang sengaja tidak membawa baju ganti karena ukuran tubuhnya dan Lia hampir sama. Ia hanya membawa pakaian dalam dan peralatan skincare miliknya sendiri di dalam totebag kulit hitamnya. “Na ajak temennya makan Na,” teriak Fio dari dapur setelah memasak beberapa frozen food untuk makan siang mereka bertiga. Tak lama kemudian, kedua gadis yang dipanggilnya tadi masuk ke dapur dan menunggu di meja makan. Keduanya sibuk bermain ponsel hingga tak menyadari Fio yang sudah selesai menata piring dan nasi hangat dari magic jar. “Makan dulu hey! Nanti hpannya.” Tegur Fio yang kini duduk di hadapan Helena. Tangannya menyendokkan dua centong nasi ke dalam piringnya sendiri. Ia berdecak pelan melihat Helena dan Dania tidak menggubris perkataannya. “Makan woi!!” seru Fio sedikit terpekik yang membuat keduanya mengeluarkan ekspresi kaget dan linglung. Helena menunjukkan cengirannya begitupula Dania yang langsung mengikuti apa yang dilakukan Fio. Setelahnya mereka makan dengan khusyuk sampai Fio membuka suara, “Dania jadi nginep di sini?” tanyanya sambil menyendokkan nasi ke mulut. Helena juga ikut-ikutan melirik sahabatnya yang sedikit cengo akibat tiba-tiba ditanya, “Eh? Lihat keadaan dulu Tante, takutnya gak dibolehin juga.” jawab Dania sedikit sungkan. Helena meneguk segelas air dingin yang memang sudah disediakan Tantenya itu. “Halah biasa pulang malem juga lo.” Sambungnya. “Yeee kan gue pulang gak nginep kan.” Sahut Dania lagi. Dirinya yang pertama kali selesai makan. Ia berjalan menuju wastafel bermaksud untuk mencuci piringnya sendiri. Suara Helena membuatnya menoleh. “Eh jangan dicuci dulu Dan,” katanya. “Apaan sih biasa aja kali, piring satu juga.” balas Dania bersiap-siap menghidupkan keran wastafel. “Maksud gue tunggu gue sama Tante gue kelar makan biar sekalian lo cuciin,” terdengar gelak tawa dari Helena dan Fio yang ikutan tertawa mendengar perkataan keponakannya itu. Dania memasang tampang kesal yang berlebihan sambil memercikkan air keran dari wastafel ke arah Helena. “Dih lo nyuruh gue kesini buat ngebabu gitu? Rugi anjir! Mending gue kerja jadi go-clean aja sekalian dapet duit lagi.” Dania menggerutu sambil mencuci piring bekas makannya yang bertepatan dengan Fio yang juga selesai makan. Sementara Helena, gadis itu memang terkenal dengan makan dan mandinya yang lambat. “Sini Tante Dania cuciin aja sekalian,” ujar Dania dengan nada lebih lembut dibanding berbicara dengan Helena. Fio menggeleng, “Ah gak usah! Kamu ke ruang TV aja sana gapapa.” Tolak Fio halus. Dania memaksa, “Ih gapapa Tan, gak ngerepotin.” Gadis itu langsung mengambil piring dan gelas dari tangan Fio dan mencucinya. Fio geleng-geleng kepala, sedikit terperangah. “Makasih ya Dan. Na, Tante pamit ganti baju ke kamar sama tidur siang ya. Kalau ada apa-apa panggil Tante ya.” Pamitnya yang diacungi jempol oleh Helena yang tengah meneguk segelas air. “Bi, cuciin sekalian ya Bi.” Goda Helena melihat Dania mematikan kran air. “Ogah.” Balasnya galak sambil berjalan ke ruang TV. Tak lupa ia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Helena tertawa puas melihat tingkah sahabatnya itu, setelah mencuci piringnya sendiri, ia beranjak menyusul Dania di ruang TV. “Lo daritadi hpan mulu deh.” Perkataan Helena sukses membuat Dania tersentak kaget. Wajahnya sedikit panik yang langsung ia tutupi dengan melempar bantal sofa ke arah Helena. Gadis yang dilempar bantal itu hanya terkekeh, “Kagetan ya lo sekarang njir.” Komentarnya. “Ya tayyiba kalau gak karena suara lo yang tiba-tiba muncul gue biasa aja kali.” Ujar Dania masih setengah gugup. Helena duduk di sampingnya sambil memindah-mindahkan channel TV. Ia tahu apa yang membuat sahabatnya itu bertingkah seperti itu. “Lo main RP juga gue gak bakal gimana-gimana anjir Dan.” Ucap Helena dalam hati. Ia masih menahan rasa penasarannya karena ia juga belum yakin. Toh ia percaya Dania tidak mungkin tidak bercerita apa-apa padanya dan Anggi. Apa Anggi sudah tahu hal ini? Bisa jadi Dania tidak bercerita padanya saja karena dirinya juga bermain RP sementara Anggi tidak. “Lah harusnya malah cerita ke gue dong? Anggi kan gak setuju main ginian.” Pikirnya saat itu. Lamunannya terpecah ketika mendengar suara Tantenya yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Fio sudah rapi dengan setelan kemeja dan blazer yang dipasangkan dengan celana bahan. Helena mengernyit bingung, bukannya tadi Tantenya mau tidur siang? “Na, maaf ya Tante ada urusan mendadak diluar bareng temen. Mungkin pulangnya rada larut malem, kamu gapapa kan?” tanya Fio. “Atau mau main di rumah Dania aja? Boleh kan Dan?” sambung Fio lagi. Dania yang disebut namanya menoleh sambil terkekeh canggung. Dirinya mengangguk, “Boleh Tan. Gimana Na? Lo emang berani sendiri di rumah?” Helena menimang-nimang, “Lihat nanti aja deh. Lo emang dah mau pulang Dan?” Dania melihat jam dinding yang terpasang di atas TV. “Kayaknya iya deh, udah mau sore. Lo mau ikut gue?” tawarnya. Helena menggeleng, “Engga, gue mager keluar. Nanti kalau gue takut, malemnya gue ke rumah lo.” Dania hanya mengangguk sambil menenteng totebag nya. Mereka bertiga berjalan ke arah pintu depan. “Rumah kamu dimana Dan?” tanya Fio. “Bintaro Tante.” Jawab Dania. “Yaudah bareng Tante aja, Tante juga mau ke rumah temen di daerah situ, yuk?” ajak Fio. Wanita lulusan magister itu ternyata membawa mobil yang diparkirnya di garasi samping. “Eh gapapa Tan?” “Sok iye lo. Biasa juga gak tau diri nebeng gue.” Sahut Helena geli melihat tingkah Dania. Gadis itu memukul Helena dengan totebagnya sambil berdesis pelan. “Hish! Beda! Lo mah tukang ojek gue.” “Li mih tiking ijik gii.” Cibir Helena. Fio hanya terkekeh, “Yaudah, yuk. Na, kamu kunci pintu depan ya. Kalau mau keluar kemana-mana kabarin Tante dulu.” Pesannya. Helena mengangguk sambil tersenyum lebar, “Siap, Tante! Pulang bawa martabak ya.” “Dih gak tau diri anjir dah dibeliin makanan juga.” sahut Dania. “Lo sirik ya? Mau jadi Tante gue juga?” balas Helena sambil memeletkan lidahnya. Dania hanya memanyunkan bibirnya sementara Fio terkekeh pelan, “Iya aman. Yuk, Dan. Pergi dulu ya, Na.” “Gue cabut ya nyet!” Setelah Dania dan Fio pergi, Helena terkekeh sambil menghela napas pelan. Perasaan kesepian menyelimutinya. Ia berjalan masuk ke kamarnya setelah memastikan pintu dan pagar depan sudah terkunci. “But if you loved me Why’d you leave me? Take my body Take my body..” Suara Helena terhitung merdu untuk ukuran orang yang tidak tahu teknik bernyanyi. Ia menyanyikan sepenggal lirik lagu dari Kodaline yang berjudul All I Want itu sambil merebahkan diri. Tangannya dengan pelan menscroll down layar ponselnya, membaca ulang pesan-pesan lama antara dirinya dan Dylan. Ia menghela napas dalam-dalam saat perasaan sesak karena rindu itu datang. Kalian pasti pernah kan merindukan seseorang tapi hanya bisa tertahan karena kondisinya sudah tidak lagi sama? Itu yang Helena rasakan. Untung dirinya sendirian. Untung tidak ada siapapun selain dirinya. Ia menangis terisak-isak menahan rindu. Ia rindu Dylannya. Ia juga tidak tahan berpisah dari Mamanya walaupun hanya untuk seminggu. Bilang saja Helena lebay dan berlebihan, tapi ia memang tidak tahan berada jauh-jauh dari orang yang dia sayang. Gadis dengan mata sembab dan kedua pipi yang basah itu akhirnya tertidur dengan layar ponselnya yang masih menampilkan room chat antara dirinya dan pacarnya.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN