8. Past

1124 Kata
Kara memelototi monitor yang memperlihatkan rekaman CCTV. Adegan demi adegan diputar ulang, mulai dari detik-detik kliennya memeriksa pasien di IGD, hingga satu jam kemudian pasien dinyatakan keguguran. Tidak ada yang janggal dari rekaman tersebut. Semua sesuai dengan alur prosedur penanganan medis dan itu dibenarkan oleh staf administrasi juga petugas lain yang ikut mendampingi. Kara mengembuskan napas kasar. Tadinya ia berharap mendapat sedikit celah untuk membuktikan asumsinya bahwa kliennya memang disabotase. Namun kini, posisi Julian semakin terjepit. Keyakinan pria itu hanya tinggal asumsi atau mungkinhalusinasi. Pemanggilan para saksi di kantor polisi baru dijadwalkan esok hari. Ada beberapa orang yang dipanggil, di antaranya perawat yang terlibat langsung selama proses penanganan pasien, petugas farmasi juga petugas IGD.  Nathaniel Wijaya sendiri sebagai korban, menghadirkan tim pengacara terkenal untuk mengawal kasusnya. Terlihat sekali pria itu begitu murka dan berambisi menjebloskan Ian ke penjara. Kara tak dapat menyalahkannya. Sebagai manusia, ia memiliki empati yang sama terhadap Nathan. Pria itu harus kehilangan sang penerus akibat kelalaian kliennya yang seharusnya menyelamatkan janinnya, tetapi malah menyebabkan kematiannya. “Apa kamu tahu, lawanmu kali ini bukan orang sembarangan?” tanya AKBP Abdul Gani Dirgantara, Kapolres berpakaian preman yang terlibat langsung bersama anak buahnya dalam penyidikan kasus Julian. Abdul heran, Kara nekat mengambil kasus besar yang melawan seorang taipan kaya raya dengan kuasa tak terbatas dan nominal uang tak berseri. Tadinya ia tidak percaya. Namun, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Kara datang dengan percaya diri memasuki ruang CCTV. Ia tak bisa untuk tidak takjub sekaligus prihatin. Kara mempertaruhkan reputasinya dalam perkara yang belum tentu dia menangkan. Bagi Kara mungkin itu tantangan, tetapi Abdul lebih suka menyebutnya bunuh diri. Seharusnya, pengacara yang lebih senior dan telah lama malang melintang di dunia hukum yang diturunkan, bukan Kara. Hari sudah beranjak petang ketika mereka keluar dari rumah sakit. Puluhan kali rekaman itu diputar ulang. Hasilnya sama saja. “Iya, Om. Klien saya juga bukan orang sembarangan,” jawab Kara lugas. Ia cukup mengenal sosok Kapolres tersebut. Lucunya, pria itu adalah teman memancing ayahnya yang sering datang ke rumah. “Dia hanyalah seorang dokter.” “Om pernah mendengar nama Antonio Sanchez? Klien saya adalah anaknya.” Pria setengah baya itu melambatkan langkahnya dan membelalakkan mata tak percaya. “Benarkah? Maksudmu … Sanchez Holding?” Kara mengangguk. Tadinya ia juga kaget begitu bawahan yang ia suruh menyelidiki latar belakang Julian, membeberkan siapa pria itu dan keluarganya. Anehnya lagi, nama Antonio Sanchez, terdengar begitu familiar di telinganya. “Weladalah, ampun Gusti!” Abdul menepuk keningnya pelan. “Kenapa, Om?” “Gajah sama gajah berjuang, pelanduk mati di tengah-tengah. Kedua orang ini akan bertarung mati-matian. Siapkan dirimu, Kara.” Abdul menggelengkan kepala. “Seharusnya ayahmu saja yang menangani kasus ini.” Kara tersenyum kecil. “Papa sudah pensiun. Om tahu sendiri, kondisi beliau belakangan tidak begitu baik.” Abdul menepuk bahu Kara. “Titip salam pada ayahmu. Katakan bahwa Om belum sempat main ke rumah.” “Baik, Om.” Mereka berpisah di persimpangan lobi di depan bagian farmasi. Kara mengambil ponselnya untuk menanyakan keberadaan kliennya. Baru saja hendak mengangkat benda itu ke telinga, tubuhnya ditubruk dengan kasar. Kara yang tidak siap, langsung oleng ke samping membentur dinding. “Maaf, Tante.” Terdengar suara anak kecil mencicit ketakutan. Di depannya, tampak seorang anak perempuan berambut panjang. Anak itu menunduk ketakutan. Kara tersenyum kemudian berjongkok menyejajari anak tersebut, lalu mengusap rambutnya. “Nggak apa-apa, Sayang. Namamu siapa?” Bocah itu mendongak takut-takut menatap Kara. Kara membeku di tempatnya. Ia menutup mulutnya yang menganga.  Dia ‘kan ...? “Ma–Mama … Kara?” Tanpa diduga anak itu memanggilnya namanya dengan terbata-bata. Kemudian, raut wajahnya berubah riang. Kara diterjang dan dipeluk erat-erat. Ia terhuyung, lalu terduduk di lantai. Mama? “Kamu … memanggil saya Mama?” tanya Kara heran.  “Ini Riyu, Ma. Mama nggak kangen Riyu? Kata Mami, Mama kerja jauuuuuh!” Bocah dengan aksen sedikit cadel itu mendadak cemberut. Kara terhenyak. Apa-apaan ini? Kenapa anak itu terus memanggilnya Mama? Dan, siapa namanya tadi? Riyu? Ia menilik wajah anak perempuan itu, sambil memutar ingatannya ke beberapa waktu yang lalu ketika bertemu dengan Bram. Saat itu, Bram menggandeng tangan Riyu. Ya, tidak salah lagi. Terlihat jelas perpaduan wajah Bram dan Airin di sana. Hatinya mendadak ngilu. Seharusnya Riyu adalah anaknya bersama Bram jika dulu mereka tidak batal menikah. Luka itu kembali terbuka lebar. Kara lantas berdiri dan menepuk-nepuk celananya. Detak jantungnya tak beraturan. Berbagai pertanyaan hadir di benaknya. “Mama mau ke mana? Riyu masih kangen!” Bocah itu menekuk wajahnya sendu. “Riyu!” Terdengar suara seorang perempuan memanggil nyaring. “Aduh, kamu kemana saja, Sayang? Oma cariin dari tadi,” lanjutnya cemas memeluk bocah itu. Kara yang hendak pergi, menoleh kembali ke arah sumber suara. Kara terpana, begitu pun perempuan itu. “Oma! Riyu udah ketemu Mama Kara, loh!” seru bocah itu riang sembari menggoyang-goyang tangan neneknya. “Ka–kamu?!” tegur Sekar pada Kara. “Selamat sore, Nyonya. Apa kabar?” sapa Kara dengan raut datar setelah menenangkan diri. “Eh, saya ….” “Tolong jaga cucu kesayangan Anda baik-baik, Nyonya. Tidak lucu ‘kan, jika pewaris tunggal Adhiyaksa hilang di rumah sakit? Dunia bisa tertawa. Permisi.”  Kara bergegas meninggalkan Sekar dan cucunya. Ia teringat kembali penghinaan yang sempat dilontarkan Sekar ketikamereka bertemu terakhir kali. Perempuan itu meminta Kara untuk tidak menemui puteranya lagi. Kakinya mengentak-entak kesal. Senyuman masam tersungging di bibirnya. Apa maksudnya anak itu memanggilnya Mama? Siapa yang mengenalkan sosoknya pada anak yang belum pernah ia temui sebelumnya? Apakah Bram? Atau Airin? Lancang sekali mereka! Pertemuan singkat itu mengoyak lagi luka lama yang telah susah payah ia sembuhkan. Dunia ternyata sempit sekali! Ah, peduli setan!  *** Ian mengaduk-aduk pasta daging cincang yang baru saja dihidangkan pelayan. Selera makannya menguap entah kemana. Sejak tadi malam, hanya semangkok mie instan lolos ke dalam perutnya. Itu pun dengan terpaksa. Pikirannya melantur. Sesekali ia memikirkan nasibnya yang berada di ujung tanduk. Ian bersyukur kejadian kemarin tidak terendus ke publik, karena hingga saat ini ayahnya belum ribut meneleponnya. Nathaniel bukan orang biasa dan ia heran tidak satu pun media meliput kasusnya. Mungkin, Nathaniel mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya terlebih dahulu, lalu mengeksposnya besar-besaran ke media massa. Terbayang olehnya adalah pesona kecantikan Kara yang luar biasa. Seketika perasaannya jungkir balik tidak menentu. Ia susah payah menyingkirkan pikiran liarnya ketika mereka bicara panjang lebar tadi pagi. Anehnya, raut tegas dan dingin Karamalah membuatnya megap-megap seperti ikan kekurangan air. Ian memukul-mukul kepalanya kesal. Kenapa ia jadi begitu terobsesi memiliki wanita itu dan membawanya ke tempat tidur? Dan satu lagi, bukankah nama Kara Bethany Akvari terdengar akrab di telinga? Di mana ia pernah mendengarnya? Ia mendengar suara detak sepatu yang mendekat ragu-ragu ke arahnya. Kepalanya mendongak penasaran. Lalu tiba-tiba saja,ekspresinya berubah menjadi sedingin es. Perempuan itu berseru tertahan. “Max?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN