7. What's Your Name?

2048 Kata
Beberapa kemeja dan bawahan berserakan di atas tempat tidur. Kara kebingungan menentukan setelan mana yang akan ia pakai pagi ini.  Sam mengatakan, kliennya adalah seorang dokter sekaligus anak konglomerat terkenal. Hey, bukankah sedikit janggal bila anak konglomerat memilih jadi dokter? Kara menggeleng tidak percaya. Ia gugup, tentu saja. Kasus malpraktik tergolong baru dan ia nekat sekali mengambil peluang itu. Dirinya buta dengan dunia medis, tetapi menangani kasus malpraktik adalah tantangan tersendiri untuk menambah pengalamannya. Kara memutuskan mengenakan blus putih dilapisi blazer warna biru dongker dan celana panjang dengan warna senada.Rambutnya dicepol tinggi di belakang kepala. Ia menambahkan bedak tipis dan memoles bibir dengan lipstik berwarna nude. “Perfect!” gumamnya percaya diri, lalu bergegas mengambil tas serta sebuah map berlogokan firma hukum tempatnya mencari makan.  “Sarapan dulu, Ka. Buru-buru banget?” tegur ibunya melihat Kara tergesa-gesa meneguk segelas teh hangat. “Banget, Ma. Mau ketemu klien,” jawabnya. Matanya melirik meja makan. “Hanif sudah berangkat dari subuh, ada urusan di luar kota,” kata Diana menjawab pertanyaan di benak Kara. Hanif adalah seorang pebisnis, menentang klan praktisi hukum turun temurun dalam keluarga mereka. “Satya mana, Ma?” “Satya nganterin Papa, ada janji sama dokter. Oh ya, Ka ...” panggil Diana. “Ya, Ma?”  “Nanti kamu sempat ke rumah sakit?” “Ngapain?” tanya Kara sembari memasang sepatunya. “Itu, hmm ...“ Diana terlihat ragu-ragu sebelum melanjutkan, “Airin sudah dirawat beberapa hari. Kondisinya semakin drop.” “Lalu?” “Kemarin Airin berpesan pada Mama, dia minta ketemu kamu.” “Mama besuk dia?” Diana mengangguk. “Sempatkanlah membesuk Airin, Ka. Sebelum kamu menyesal.” “Kenapa aku harus menyesal?” “Umur Airin tidak akan lama, Nak.”  Kara mengerutkan kening. “Maksud Mama?” “Fungsi jantungnya tinggal tiga puluh persen.” Kara menutup mulut menutupi keterkejutannya. Sedetik kemudian, raut wajahnya kembali datar. “Aku nggak janji, Ma. Sibuk!” serunya sebelum mencium pipi Diana dan bergegas keluar rumah, meninggalkan sang ibu yang menghela napas pasrah. Kara mengomel ketika menyalakan mesin mobilnya. Ia memutar musik untuk mengembalikan mood-nya yang telanjur rusak.Pikirannya melayang pada Airin. Separah itukah penyakit mantan sahabatnya? Setahunya Airin dahulu baik-baik saja, meski sering demam ringan dan fisiknya mudah lelah. Ia tergesa-gesa melangkah ke dalam kafe. Lima menit terlewat dari perjanjiannya dengan klien. Memang bukan kesan pertama yang baik. Matanya mencari meja nomor sebelas. Tampak seorang pria mengenakan setelan hitam membelakanginya. Kara berdehempelan sambil memperbaiki anak rambutnya yang berantakan. Ia berjalan cepat-cepat, lalu menarik kursi di depan pria itu danduduk di sana. “Maaf, saya terlambat.” Pria itu mengangkat kepala. Raut terkejut di wajahnya segera berganti menjadi senyuman lebar dalam hitungan detik. Giliran Kara yang membeku. Wajahnya langsung berubah pucat. Demi apa dia harus bertemu makhluk paling m***m sejagatraya itu sekali lagi? Pria itu mengedipkan sebelah matanya. “Hola, 34B!” Kara ternganga. Ia mengepalkan tangannya dan menahan diri supaya tidak melakukan hal-hal konyol yang dapat mempermalukan dirinya sendiri. Contohnya saja dengan mencolok mata yang berkedip genit tersebut.  Namun sialnya, sapaan singkat berlogat Spanyol itu terdengar sangat seksi di telinganya.  “Dari semua hal dalam ingatan Anda tentang saya, Anda malah teringat ukuran boobs saya?” tanya Kara setelah menguasai diri. Tangannya bersidekap. Punggungnya bersandar di kursi dan matanya memicing kesal. Pria itu terkekeh mengabaikan tatapan dingin Kara. “Well, saya tidak mengetahui siapa namamu. Terakhir kali bertemu, kita belum sempat berkenalan, kecuali saling membahas ukuran masing-masing, bukan?” Tampaknya, pria itu berusaha keras membalas ucapan Kara dengan bahasa formal yang sama, melupakan pertama pertemuan mereka yang berbicara dengan bahasa santai. Kara memutar bola matanya jengah. Sebelumnya mereka bertemu dalam kondisi yang berbeda. Ia membuka map di atas meja dan memilih mengabaikan pria itu. Bila terus diladeni, pembicaraan mereka akan melantur kemana-mana seperti malam itu. Tanpa sengaja, tatapan Kara kembali beralih pada kliennya. Dahulu, ia bersikeras menyuruh Bram mencukur habis rambut-rambut yang tumbuh di wajahnya dengan alasan ia geli dan agar Bram terlihat lebih rapi. Tetapi pria berwajah bule ini, malah terlihat tampan dengan five o’clock shadow–nya yang belum dicukur. Rambut-rambut halus yang tumbuh berantakan di sepanjang garis rahangnya, menambah kesan seksi di wajahnya. Pria itu berdehem geli. “Sudah puas memandangi saya?” Kara tersentak. Ia menyembunyikan rona merah di wajahnya dan pura-pura sibuk dengan map di tangannya. “Apa kabarmu, Nona?” tanya pria itu lagi. “Simpan saja basa-basi Anda, Pak ... “ Kara membalik kertas di depannya membaca sebuah nama yang semalam ia ketik dalam MoU kerjasama mereka, “Julian Maximillliano Sanchez. Kita di sini untuk membahas pekerjaan.” “Ouch!” Ian menyembunyikan tawa. “Panggil saja Ian.” “Baiklah Pak Julian,” kata Kara keras kepala. “Apa yang dapat saya lakukan untuk membantu Anda?” “Apakah kamu benar-benar pengacara yang dikirim untuk saya?” Ian balik bertanya. “Tentu saja,” tegas Kara. “Well, kita harus membahas bentuk kerjasama secara formal terlebih dahulu, bukan? Saya tidak mau menceritakan kasus saya sebelum ada bukti tertulis. Bisa saja kamu adalah pihak lawan yang menyamar.” “Bingo!” Kara mengangguk membenarkan ucapan Ian. Ia menyodorkan map sebuah pulpen. “Silahkan baca terlebih dahulu.”  “Kara Bethany Akvari?” Ian mendongakkan kepala.  Kara mengangguk datar. “Seksi!” “What?” “Your name, seksi!” Kara mati kutu. Namun, alih-alih marah dan berkata pedas seperti biasa, ia malah terpancing meladeni godaan pria itu. “Jika nama saya saja sudah Anda anggap seksi, bagaimana dengan yang lainnya? Anda sungguh luar biasa,” sindirnya. “Yah, banyak yang bilang dan sudah membuktikan bahwa saya memang luar biasa. Kamu tertarik? Tawaran saya tempo hari masih berlaku.” “Tawaran yang mana?” “Ayolah!” Kara memutar balik ingatannya dan seketika mukanya merah padam. Ian lagi-lagi terkekeh geli. “OK, let’s go back to business,” ujar Ian memutus keisengannya pada Kara setelah menandatangani nota kesepakatan mereka. Satu salinan ia simpan sendiri, sedangkan yang lainnya diserahkan kembali pada Kara. Kara sendiri memiliki dua kutub yang berlawanan dalam hatinya. Di satu sisi, ia tidak ingin terlibat dengan Julian. Tetapi di lain sisi, kasusnya cukup menantang untuk dipelajari. Katakanlah ia mengambil risiko besar demi memuaskan dahaganya sendiri. Ian berdehem, lalu memasang tampang serius menceritakan rentetan kejadian yang menimpanya kemarin siang dengan detail yang masih teringat jelas hingga kini. Kara menyimak setiap ucapan lawan bicaranya sembari mencatatnya ke dalam block notes. Sesekali ia mengernyitkan kening atau mengajukan pertanyaan mengkonfirmasi pernyataan Ian. Ia mengenyampingkan mata abu-abu yang membiusnya ingin menatap berlama-lama. Jika tidak berhati-hati, bisa saja ia tenggelam dalam binar liar tersebut. Setelah Ian selesai bicara, Kara termenung. Instingnya mengatakan ini bukan keteledoran biasa. Ada sesuatu yang janggal terkait dengan medication error yang dilakukan oleh kliennya. “Mereka membebaskan saya dengan jaminan. Apakah setelah ini saya akan masuk penjara sembari menunggu putusan sidang?” tanya Ian tidak yakin. Tak dipungkiri, ia cukup cemas akan nasibnya. “Tidak selalu begitu. Penyelesaian tindakan malpraktik tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi seharusnya diperiksa terlebih dahulu oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran dan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Sebab, kedua organisasi itu yang berwenang menentukan apakah dokter atau tenaga kesehatan telah melakukan perbuatan melawan hukum, pelanggaran disiplin, dan atau etika kedokteran,” kata Kara menjelaskan. Ian bernapas lega. “Syukurlah.” “Selain itu, saya akan mengusahakan permohonan penangguhan penahanan jika mereka memaksa menahan Anda. Hanyasaja, izin perjalanan Anda akan dicekal sampai kasus ini selesai. Entah Anda nanti terbukti tidak bersalah atau sebaliknya.”  “Saya tidak akan kemana-mana. Kamu tidak bisa membebaskan saya?” Kara menghela napas sabar. “Posisi kuasa hukum hanya sebatas memberikan nasihat hukum beserta pengawalan hukum, Pak Julian. Bukan untuk membebaskan kliennya dari segala tuduhan. Dan ingat, hukum tidak bekerja berdasarkan asumsi, melainkan dari bukti-bukti yang ada. Jika Anda begitu yakin telah menulis resep dengan benar, bagaimana hasilnya bisa berbeda?” “Saya tidak tahu.” Ian memijit keningnya. Kepalanya mendadak pusing. “Adakah kemungkinan Anda disabotase?” Ian mengangkat tubuhnya. Pertanyaan Kara menarik minatnya. “Sabotase?”  “Anda punya musuh? Saingan? Pernah terlibat konflik dengan salah satu teman sejawat, mungkin?” “Rasanya tidak.” Ian menggelengkan kepalanya pelan. Tatapannya menerawang. Hubungan dengan rekan kerjanya baik-baik saja. Begitu juga dengan jajaran petinggi dan bagian administrasi. Tidak ada yang aneh. “Jika memang demikian, saya akan berkoordinasi dengan pihak terkait, yaitu penegak hukum dan tim kuasa hukum lawan untuk terlibat langsung selama penyidikan di lapangan.” Ian mengusap wajahnya kasar. Ia tidak menyangka, di tangan wanita itu, kasusnya berkembang menjadi begitu pelik.  Sabotase? Mungkinkah? Oleh siapa? Apa motifnya? *** Sembilan bulan yang lalu... “Sat, lo lihat, tuh. Kok bisa, sih, mereka menikah?” “Ya, mau gimana lagi? Namanya juga cinta dan jodoh.” “Tapi mereka bersaudara, lho!” “Cuma saudara angkat, apa salahnya?” sahut Satya tidak peduli. Ia terus menyuap cake di piring ke mulutnya. Kara berbisik tidak yakin, “Sat, lo nggak ikutan naksir sama gue, ‘kan?” Satya tersedak. Ia buru-buru menyambar gelas minuman dan meneguk isinya. Kara menepuk-nepuk punggung Satya prihatin. “Najis banget gue naksir sama lo! Amit-amit, ya Tuhan!” Satya bergidik, lalu menatap Kara dengan ekspresi jijik. Kara meninju lengan Satya sekuat tenaga. Pria itu mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap lengannya. “Tuh, ada acara lempar bunga. Kali aja lo hoki, biar nggak jadi perawan tua melulu!” “Sialan lo!” Kara melotot. Tak urung, ia berdiri dan beranjak menuju segerombolan manusia yang menunggu lemparan buket bunga dari kedua pengantin. “Satu ... dua ... tiga!” Buket bunga itu melayang ke udara. Kara mengangkat tangannya penuh semangat.  Saat berhasil menggapai buket tersebut, ia segera menariknya turun. Tetapi, ternyata ada tangan lain ikut memegang dan menariknya ke arah yang berlawanan. Kara menoleh. Sejenak ia terkesima memperhatikan penampilan pria tampan di depannya. Rahangnya dicukur rapi dan bersih. Hidungnya mancung. Matanya berwarna abu-abu gelap. Wajahnya blasteran dengan ras Eropa yang lebih mendominasi Terdengar suara deheman. Kara tersadar dan buru-buru berseru, “Lepas! Ini milikku!” Pria itu tidak melepaskan pegangannya melainkan tersenyum tipis. Matanya mematut penampilan Kara yang mengenakan kebaya pas badan berwarna abu-abu. Kebaya itu membungkus serta menonjolkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. “34 B?” gumam sang pria bertanya. Kata ternganga. “What?”  “Your size,” kata pria itu menunjuk ke arah d**a Kara dengan dagunya. Wajah Kara seketika merah padam. Namun, ia juga terpancing meladeni pria m***m tersebut. Kebiasaannya nongkrong dengan Rista, paralegal di kantornya yang sudah menikah dan tanpa malu-malu menguliti kehidupan ranjangnya, membuat benaknya ikut terkontaminasi. Belum lagi, ia terngiang-ngiang akan ucapan Airin. “Punya cowok bule itu rata-rata besar, loh, Ka. Pasti enak ya, kawin sama bule.” “Dasar m***m!” maki Kara menoyor kepala sahabatnya. “Nggak usah munafik! Lo juga doyan ‘kan, lihat yang beginian?” sindir Airin sambil terus mengusap dan memelototi layar laptopnya. Dua pasang mata itu terbius menyaksikan adegan demi adegan yang membuat tubuh mereka panas dingin. Setelah itu keduanya tertawa terbahak-bahak, lalu tanpa malu-malu membahas hal-hal m***m berkaitan ukuran aset lelaki, sebelum larut dalam kantuk yang membawa ke alam mimpi. “And your size is? Dua belas, lima belas?” Kara balas menunjuk ke sela paha pria itu dengan dagunya. Sorot matanya terlihatmenantang. Pria itu terkesima menyadari Kara berani melawan provokasinya. Ia berbisik dengan nada sensual di telinga Kara, “Saat ereksi atau saat lemas?” “Tidak ada yang peduli ukuran juniormu saat lemas, ‘kan?” balas Kara tak tahu malu. “Aku tidak pernah mengukurnya. Tetapi, setiap wanita menjerit nikmat saat klimaks setiap kali bercinta denganku. Atau, kamu mau mengukurnya untukku?” “Oh, ya? Kau yakin mereka tidak memalsukannya?”  “Aku cukup pintar membedakan mana o*****e palsu atau asli. Anatomi kalian sudah ada dalam kepalaku, inch by inch and deeper. Mau mencobanya?” Kara mendengkus. “Sayang sekali aku tidak tertarik. Pria biasanya hanya pintar membual.” “Oh, ya? Buktikan saja.” Pria itu mengerling manja. Kara terdiam mati kutu. Mendengar suara serak pria itu saja sudah cukup membuatnya merinding. Kemudian, ia merelakan buket bunganya dan berjalan tergesa-gesa menuju Satya yang menunggunya di pintu keluar hotel. Pria itu berteriak. “Hey, what’s your name?” Kara tidak berhenti berjalan. Ia tidak tahu, di belakang sana, pria itu sibuk menyumpahi dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN