6. Coincidence

1640 Kata
Menjelang pukul sembilan malam, Ian berjalan menyusuri lorong menuju unitnya. Langkahnya teramat pelan dan lelah. Tubuhnya terasa remuk. Sudut bibirnya masih nyeri akibat pukulan Nathaniel. Ian masih tidak habis pikir, mengapa ia bisa teledor menulis resep obat yang sudah ia hapal dalam kepalanya. Ia yakin beribukali yakin, tetapi tulisan yang tertera di kertas itu menyatakan sebaliknya. Ia mengenal goresan cakar ayamnya sendiri. Benaknya penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban. Ian menyalakan lampu dan seketika memutar bola mata melihat seseorang sedang menonton televisi membelakanginya. Ia membuka kemeja, menyisakan kaos putih ketat yang menonjolkan otot-otot sempurna hasil workout setiap pagi. “Ngapain lo disini?” tanya Ian menghenyakkan b****g di samping Samudera. Tangannya membuka kaleng jus dingin dan menghabiskannya dalam dua kali teguk. Ian melongok ke dalam bucket ayam goreng itu, lalu melongo. “Habis?”  Sam sibuk mengunyah potongan ayam goreng terakhir di tangannya. Setelah Fara hamil, selera makannya melonjak tajam. Sebelum datang tadi, ia membeli satu ember ayam goreng di restoran cepat saji. Dalam tempo setengah jam saja, delapan potong ia habiskan sendiri dan hanya menyisakan satu potong tepat ketika Ian datang. “Hati-hati, nanti perut lo buncit!” “Gue rajin workout, kok,” jawab Sam santai. “Workout di atas kasur?” sindir Ian.  Sam nyengir.  “Tumben lo kesini?”  “Nggak boleh? Gue pergi, nih!”  “Ah, elah! Elo dan Fara sama saja!” gerutu Ian.  Seminggu yang lalu, Fara mengabaikannya hanya gara-gara masalah sepele. Ia tidak sempat mengangkat telepon Fara karena sibuk melayani pasien. Fara baru mau bicara lagi dengannya setelah ia datang dengan seporsi martabak keju. Murahan sekali! “Gue diusir,” ungkap Sam.  “Hah?!” Ian terbahak. “Mampus lo! Alamat nggak dapat jatah!” Sam mendengkus masam. Ian menelisik penampilan Sam yang masih mengenakan pakaian kerja. Lengan kemejanya digulung hingga siku, sedangkan dua kancing teratas kemeja itu terbuka. “Diusir gimana?” “Fara minta dibeliin sop iga. Masa malam-malam begini gue harus ke Bogor? Gila aja!” “Namanya juga ngidam, Sam. Lo ngerti dikit, lah!” “Tapi, nggak harus ke Bogor juga, ‘kan?” “Lo mau si kembar ngences?” “Itu ‘kan cuma mitos. Aduh!” Sam mengusap kepalanya yang dipukul dengan gulungan koran oleh Ian. “Lo hargai Fara, dong! Bukan maunya minta yang aneh-aneh. Lagi pula, dia cuma minta makanan, bukan Mercedes Benz. Nggak sebanding dengan beratnya efek kehamilan yang dia tanggung. Cuma diminta beliin itu aja, lo udah ngomel!” bentak Ian sambil menceramahi Sam. Samudera tiba-tiba terdiam mencerna kata-kata Ian. Raut bersalah mulai terpampang di wajahnya. Sebenarnya, ia bukannya menolak keinginan Fara, tetapi isterinya meminta tak kenal waktu. Saat Fara mengandung Rafael, Sam boleh bernapas lega karena Fara sama sekali tidak merepotkan. Fara hanya pernah meminta seporsi soto Padang sewaktu di Sydney dulu. “Lo kenapa, pulang-pulang kusut begitu? Bibir lo kenapa?” tanya Sam mengalihkan pembicaraan. Matanya menyasar sudur bibit Ian yang agak bengkak dan lebam samar di tulang pipinya. “Dipukulin,” jawab Ian sekenanya. “Dipukulin?” Sam memutar tubuh menghadap Ian. “Oleh?” “Keluarga pasien.”  Sam terlonjak. “Hah? Kok bisa?”  “Pasien gue keguguran, suaminya nggak terima.” “Lalu?” Ian mengusap wajahnya kasar. “Medication error. Gue salah tulis resep dan dilaporkan atas tuduhan malpraktik. Karier gue terancam tamat, Sam.”  Ian bisa membayangkan risiko akibat kelalaiannya. Disidang di majelis kehormatan sampai pencabutan izin praktik, dan bukan tidak mungkin ia akan dipenjara. Seluruh perjuangannya mencapai gelar dokter akan berakhir sia-sia. “Hah?!” Sam lagi-lagi terlonjak. “Hah huh hah huh melulu! Lo budeg, ya?!” bentaknya nyaring.  “Kok bisa, sih?” gumam Sam mengabaikan Ian.  Ian terpaksa menceritakan rentetan kejadian yang menimpanya tadi siang. Sam menyimak sambil mengangguk-anggukkan kepala.  “Kenapa bisa salah tulis?”  “Itulah yang gue nggak ngerti. Gue yakin seyakin-yakinnya, nggak mungkin gue salah tulis. Nama obatnya saja beda jauh. Tapi, kertasnya persis sama dan tulisan tangan itu punya gue.” “Lo beneran yakin atau sekadar berasumsi?” “Gue yakin!” “Astaga!” Sam ikut mengembuskan napas kasar, lalu ikut larut dalam pikirannya. Ia tidak mengerti tentang dunia medis, tetapi prescribing error adalah hal yang fatal. Pertanyaannya adalah, jika Ian begitu yakin, kenapa hasilnya bisa berubah? “Jangan bilang pada Abang, apalagi Fara. Dia lagi hamil,” tukas Ian lirih. “Kenapa? Bukankah setiap masalah selalu kita selesaikan bersama-sama?” protes Sam. Ian adalah tempat curhat mereka bertiga dan selalu hadir saat dibutuhkan. Mereka berempat sangat dekat seperti saudara. Jika kali ini Ian memilih menghadapinya sendiri, Sam jelas tidak terima.  Ian menyandarkan punggungnya. “Biar saja dulu. Lihat nantilah.”  “Mama dan Padre sudah tahu?” “Belum. Dan jangan katakan apa pun pada mereka!” timpal Ian. Meskipun pada orang tuanya sendiri, Ian enggan mengadukan masalahnya. Ia juga bukan tipe pria yang mudah terbuka dengan orang lain. Bahkan pada Samudera, sahabat karibnya semenjak kecil. Ada beberapa bagian dari rahasia hidupnya yang tak selalu ia bagi, serta memilih menyimpannya rapat-rapat. Tak lama kemudian, ponsel Sam berbunyi. Ia menyambar benda tersebut dari atas meja. Tampak nama sang isteri di layarnya.  “Ya, sayang?” .... “Hmm?” .... “Aku menginap di tempat Ian.” .... “Lho, kok gitu?” .... “Lha, tadi aku diusir. Sekarang disuruh pulang. Gimana, sih?” .... “Oh iya, Sayang. Iya, iya. Maaf ya. Aku pulang. Iya, aku pulang.” .... Sam menutup telepon dan meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Mulutnya menggerutu. “Ampun gue. Punya isteri satu ribetnya setengah mati. Gimana tuh, anggota dewan yang isterinya tiga? Bisa mati berdiri gue kalau jadi dia!”  Ian mencebik. “Halah, elo giliran udah tutup telepon aja berani ngomel. Tadi pas di telepon Fara malah gelagapan. Huuuu ... makanya gue nggak mau nikah.” Sam mendelik. “Nikah enggak, tapi kawin tiap hari! Dasar penjahat kelamin!” Ian tertawa lepas melupakan sejenak masalah hidupnya. “Lo cari isteri, gih, sana!” timpal Sam. “Gue belum ketemu perempuan baik-baik.” “Makanya cari isteri, tuh, di tempat yang benar!” “Eh, tapi kemarin gue lihat calon jodoh di klub malam. Gimana dong?” Sam terpancing. “Serius? Cantik? Seperti apa?” “Cantik, seksi, ukurannya ... aduh!” Giliran Ian mengaduh setelah kepalanya dipukul oleh Samudera. “Sialan lo!” “Dasar m***m!” maki Sam nyaring. “Lagi pula, mana ada perempuan baik-baik mainnya di klub malam?” “Tumben lo pintar?”  “Gue memang pintar, kok!” “Udah, sana pulang!”  Sam membersihkan sampah makanannya yang berserakan. Ia mengambil kunci mobil dan ponselnya dari atas meja.Sebenarnya, ia tak ingin meninggalkan Ian yang sedang membutuhkan teman bicara. Namun, Ian bersikeras menyuruhnya pulang.Ditambah lagi, Fara tidak bisa diabaikan. Semenjak hamil, Fara sering bertingkah kelewat manja yang tak dipungkiri juga menguntungkan kesejahteraan adik kecilnya. “I think you need a lawyer,” katanya sebelum pergi. “Penting, ya?” Selama ini Ian tidak pernah berurusan dengan pengacara, kecuali para notaris untuk mengurus bisnis dan aset pribadinya. Ia tidak pernah terlibat dalam kasus hukum apa pun. Catatannya bersih. Ia merupakan wajib pajak yang patuh, tidak pernah berkelahi, bahkan tidak pernah tersandung kasus kelas ringan seperti melanggar peraturan lalu lintas atau semacamnya.  “Kalau mendengar cerita lo, sepertinya lawan lo bukan orang biasa. Mungkin saja saat ini mereka sudah bergerak jauh, bukan hanya sekadar menyeret lo ke penjara.” “Lo punya rekomendasi?” “Ada. Nanti gue telepon dia. Sebaiknya besok pagi kalian sudah harus bertemu.” “Oke,” jawab Ian singkat sambil mengangguk. “Kalau lo butuh apa-apa, hubungi gue atau Abang. You’re not alone, lo tahu, ‘kan?” ujar Sam merangkul bahunya dan tersenyum menguatkan. “Thanks, Bro,” sahut Ian berterima kasih. Trio Nashid itu memang bisa diandalkan. Mereka selalu hadir untuknya, bahkan melebihi keluarganya sendiri. Setelah Sam berlalu pergi, Ian menengadah memandang langit-langit.  *** Kara baru saja memejamkan mata ketika ponselnya yang terletak di samping bantal bergetar. Ia tahu meletakkan ponsel di dekat kepala saat tidur bukan kebiasaan yang baik. Berkali-kali diingatkan oleh Hanif, Kara tetap tidak peduli, dengan dalih iabisa segera mengangkat telepon dari klien ketika mereka butuh bantuannya.  “Ngapain lo nelpon gue?!” “Galak amat, sih?” Suara di seberang sana menjawab. “Besok lo sibuk, nggak?” “Hmm ...,“ Kara berpikir sejenak, “enggak juga. Kenapa?” “Good! Gue ada calon klien potensial, nih. Urgent!” “Kasus?” “Malpraktik.” “Serius?” Kara terduduk dengan mata berbinar. Ia belum pernah menangani kasus sejenis sebelumnya. Itu seperti tantangan baru. “Yep. Apa lo bisa ketemu dia besok pagi? Nanti gue kirim >” “Oke,” jawab Kara pendek. “Eh, Sam!” “Apa lagi?” “Lo buka lowongan, nggak?” “Lowongan apa?” “Lowongan isteri satu lagi?” “Bangke!” Tut tut tut!  Kara terpana menatap ponselnya. Galak amat, batinnya heran. *** Pukul sembilan pagi, Ian sampai di sebuah kafe yang biasa menyediakan sarapan pagi. Pengunjung mulai lengang berhubung jam kantor sudah dimulai sejak tadi. Ia memesan secangkir kopi dan larut dalam pikirannya sendiri. Semalaman ia tidak bisa tidur. Matanya terlihat lelah. Ia memutar kembali ingatannya saat  menulis resep kemarin. Rasanya, tidak ada yang terlewatkan. Atau, apakah ia sudah amnesia? Setelah lima menit menunggu, ia mendengar suara detak sepatu mendekat. Tak lama kemudian, terdengar decitan kursi di depannya ditarik tergesa-gesa. “Maaf, saya terlambat!” ucap seorang wanita menyapa. Nadanya tegas sekaligus empuk di telinga. Ian mengangkat kepala dan seketika terkesiap.  What a coincidence! Sejurus kemudian, ia tersenyum lebar sambil berusaha menguasai diri. Tiba-tiba semua masalahnya menguap begitu saja. Darahnya berdesir hangat dan jantungnya berdetak lebih cepat, sedangkan wanita di depannya seketika memucat. Ian mengedipkan sebelah matanya genit. “Hola, 34 B!” Finally, I see you again!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN