Matahari kian tinggi. Ian memasuki ruang praktiknya dengan pikiran tak menentu. Ia masih belum bisa menemui wanita yang ia lihat malam itu. Ian bahkan menyusuri hampir setiap klub malam sepulang dari rumah sakit. Namun, wanita itu menghilang bak ditelan bumi. Ia menyumpahi kebodohannya karena tidak membuntuti mobilnya malam itu.
Dalam tiga bulan terakhir, wanita itu hadir mengisi benaknya. Ian tersesat dalam lamunan akan wajah cantiknya yang membius. Ada rasa tak biasa menjalari hatinya. Cukup dengan membayangkan wajahnya, mampu membuat dirinya tak berdaya. Ia pun harus puas bermain dalam fantasinya sendiri. Hasrat seksual pada wanita lain seakan hilang. Tiga bulan pula ia berhenti bertualang.
“Maaf, Dok. Ada pasien butuh penanganan segera di IGD.” Seorang perawat bernama Rosi menelepon ke ponselnya.
Rosi adalah salah satu partnernya, atau lebih tepatnya mantan partner di tempat tidur. Belakangan ia menolak menyentuh wanita itu. Sebenarnya Rosi cukup memuaskan. Hanya saja, perempuan itu sering menuntut hubungan yang lebih serius. Ian jengah sendiri. Baginya, Rosi hanyalah teman di tempat tidur, tidak akan pernah lebih dari itu.
Ian bergegas menuju IGD. Sesi praktik pribadi baru akan dibuka dua jam lagi. Sebelum itu, tugasnya adalah menangani pasien gawat darurat dan melakukan visite ke beberapa pasien di ruang rawat inap.
“Selamat siang,” sapanya ramah pada sepasang suami isteri yang sedang menunggu.
“Siang, Dok,” jawab pria itu cemas sambil terus menggenggam tangan isterinya. “Isteri saya sedang hamil delapan minggu. Sebelum ke sini, kami menemukan flek yang cukup banyak. Apakah janin kami baik-baik saja, Dok?”
“Baiklah, saya periksa dulu, ya,” ujarnya tenang, kemudian memeriksa kondisi calon ibu yang terlihat pucat dan lemas itu. Ian memerintahkan perawat mengambil mesin USG sembari mengajak pasangan itu bicara. “Kelihatannya isteri Anda dehidrasi dan kekurangan nutrisi.”
“Iya, Dok. Dia hampir selalu memuntahkan kembali makanan atau minuman yang masuk ke perutnya.”
Ian meneteskan gel dan memeriksa lewat transducer di tangannya. “Anda harus dirawat dan bed rest total beberapa hari kedepan untuk memulihkan kondisi. Kandungan Anda juga lemah. Saya akan meresepkan obat penguat kandungan,” tutur Ian menjelaskan.
“Apa penyebabnya, Dok?”
“Ada beberapa kemungkinan. Biasanya masalah genetik, melemahnya otot serviks, trauma dan semacamnya. Apakah isteriAnda punya riwayat keguguran sebelumnya?”
“Tiga kali, Dok,” kata sang suami getir. Delapan tahun menikah, baru kali ini janin mereka bertahan lebih dari enam minggu.
Perawat mendorong brangkar pasien menuju kamar rawat VVIP. Pasangan tersebut bukanlah orang sembarangan. Sang suami adalah seorang pengusaha muda kaya raya, sehingga pria itu memberikan yang terbaik bagi isterinya.
Ian kembali ke ruangannya setelah mengecek kondisi pasiennya. Wanita itu telah dipasangkan infus untuk menggantikan cairan tubuhnya yang hilang. Ia juga menuliskan resep yang segera diambil oleh perawat ke bagian farmasi.
***
Selang satu jam kemudian.
“Dok! Pasien pendarahan!”
“Apa?!”
Julian setengah berlari menuju ruang rawat VVIP. Di sana ia mendapati para perawat dan bidan bekerja memeriksa tanda vital. Sang pasien tampak kesakitan memegangi bagian bawah perutnya. Darah mengalir di sela kedua kakinya.
Ian bergegas melakukan penanganan. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan wajah kusut. Ia meninggalkan pasiennya yang menangis tersedu-sedu menunggu untuk dikuret.
“Ada apa dengan isteri saya, Dok? Bukankah tadi dia baik-baik saja?” Sang suami memberondong Ian dengan pertanyaan. Ekspresinya teramat cemas dan ketakutan.
“Maaf, Pak. Kami tidak bisa menyelamatkan janin Anda,” kata Ian dengan nada menyesal.
Wajah pria itu tiba-tiba pias. Mulutnya menganga, lalu, matanya memerah. Bayi yang telah mereka tunggu delapan tahun lamanya, kini hanya tinggal sejarah. Baru beberapa hari ia bergembira menyambut kehadiran embrio kecil di rahim isterinya yang lemah, kini kehidupan kecil itu seakan dicabut paksa dari mereka.
Beberapa detik kemudian, lelaki itu mengamuk. Ia meraup kerah kemeja Ian dan mendesis tajam. Matanya dipenuhi bara amarah yang menyala-nyala “Anda pembunuh!”
Semua terjadi begitu cepat. Belum sempat Ian menjelaskan apa pun, pukulan bertubi-tubi bersarang di wajahnya. Ian terhuyung kebelakang menabrak pinggiran pintu.
Para perawat dan bidan berteriak ketakutan. Salah satu dari mereka bergegas memanggil petugas keamanan.
“Hey, saya bisa jelaskan!” seru Ian tidak terima.
“Bagaimana bisa isteri saya keguguran setelah Anda memberinya obat penguat kandungan? Rumah sakit macam apa ini?” Pria itu mengepalkan tangannya hendak menghajar Ian kembali sebelum seorang satpam memeganginya. “Lepaskan!”
Ian kembali ke ruang rawat dan meminta obat yang tadi diminum wanita itu. Telinganya berdenging. Ia membaca aksara yang tertera pada bungkusnya. Tiba-tiba, wajahnya berubah pias.
Tidak mungkin!
Sebelum Ian sempat berbuat apa-apa, beberapa petugas keamanan merangsek masuk menahan tubuhnya. Ia diseret keluar dari kamar. Beberapa polisi telah siap siaga menunggunya di luar.
Pengaruh uang dan kekuasaan memang dahsyat. Hanya dalam tempo beberapa menit, Nathaniel, suami pasiennya, telah memanggil polisi untuk menahannya.
“Apa-apaan ini?!” bentaknya terheran-heran. Mukanya lantas merah padam, tidak terima diperlakukan seperti seorang penjahat kelas berat. “Kenapa saya diperlakukan seperti ini?”
“Saya akan menuntut Anda atas dasar malpraktik, Dokter!” seru pria itu mengangkat telunjuk ke arahnya. “Rumah sakit macam apa ini? Katanya Anda dokter terbaik di tempat ini. The best my ass!” tudingnya kasar.
“Sabar dulu. Tidak bisa seperti ini. Semua ada prosedurnya!” Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat mendekat. “Saya yakin, ini hanyalah kesalahpahaman.”
Ian menarik napas lega. Dokter Harun, mantan konsulennya dulu datang membela. Dokter senior itu sangat mengenal Ian luar dalam, baik sifatnya maupun potensi yang ia miliki.
Berkat jaminan dokter Harun dan kepala rumah sakit, Ian batal ditahan. Polisi yang dipanggil Nathan pergi dengan tangan kosong. Sementara Nathan terus berkata kasar dan mengancam dengan sumpah serapah tak berkesudahan.
Mereka kini berada di ruangan praktik pribadi dokter Harun. Pria itu mengulurkan sebotol air mineral yang segera diteguk oleh Ian sampai habis.
“Terima kasih, Dok,” ucapnya lemah. Kerongkongannya memang sudah kering kerontang sejak tadi. Ekspresinya bingung dan wajahnya pucat. Kinerja otaknya melambat. Ini pertama kalinya Ian lalai menangani pasiennya.
Bagaimana mungkin ia meresepkan obat peluruh—yang biasanya menjadi alternatif sebelum kuretase untuk membersihkan sisa jaringan janin dan plasenta bagi pasien yang keguguran— sedangkan pasiennya membutuhkan obat penguat kandungan?Bagaimana itu bisa terjadi?
“Apa yang baru saja kau lakukan?” tanya dokter Harun.
Ian menggeleng, lalu menangkupkan kedua tangan di wajahnya. “Saya tidak tahu, Dok. Saya yakin sekali tidak meresepkan obat peluruh. Bagaimana mungkin saya alpa?”
“Kau yakin?”
“Completely sure! Saya belum amnesia,” jawabnya lugas.
“Ayo!” ajak dokter Harun sambil berdiri. Mereka tergesa-gesa menuju bagian farmasi dan meminta lembaran resep yang tadi diberikan Ian untuk ditebus perawat.
Tak lama kemudian, petugas memberikan kertas resep tersebut pada dokter Harun. Pria itu memandang Ian dan kertas di tangannya bergantian. Dahinya berkerut. Ekspresinya mendadak berubah. “Apa-apaan ini?!” bentaknya kasar.
Ian merebut kertas tersebut, kemudian matanya terbelalak.
Oh Tuhan, tidak mungkin!