4. Drunk

1271 Kata
Ian menyesap minuman dari gelas kedua di depannya. Tangannya bertopang di atas meja bar. Salah satu keuntungan dari darah Eropa yang mengalir di tubuhnya adalah, ia memiliki toleransi berlebih terhadap minuman memabukkan tersebut.  Biasanya, setiap malam minggu ia mampir ke apartemen Fara dan menghabiskan waktu dengan trio Nashid itu sampaimenjelang pagi. Setelah Fara dan Samudera menikah, ia dan Alfaraz seperti kehilangan tempat nongkrong. Setiap weekend, pasangan itu memilih tinggal di rumah baru mereka yang terletak cukup jauh. Sementara Al berdiam diri di unitnya,menyelesaikan pekerjaan yang tiada habisnya. Akhirnya, Ian terdampar di sebuah klub malam. Menenggak minuman keras yang sudah lama tidak ia sentuh. Menghalau rasa bosan dan jenuh. Hidupnya terasa monoton. Kariernya terbilang bagus tanpa cela. Para pasien mengenalnya sebagai dokter berdedikasi tinggi. Uangnya berlimpah, bersumber dari sang ayah ataupun dari deviden saham. Sejak kuliah, ia menanam uang di berbagai surat berharga. Kini ia menikmati hasilnya saja dan menghabiskan waktunya sebagai dokter, juga penakluk wanita! Dirinya bosan bertualang. Tidak ada lagi perempuan yang membuat adrenalinnya terpacu. Mereka sangat mudah, bahkan terlalu mudah ditaklukkan. Hanya dengan kedipan mata dan godaan sensual, mereka akan luluh membuka paha untuknya.  Ian memandang berkeliling. Di salah satu sudut, sepasang kekasih tengah merokok sambil menyeruput bir kelas ringan. Enam orang pemuda hampir teler duduk berkumpul mengelilingi sebuah meja bulat. Beberapa pasangan tengah meliuk-liukkan tubuhnya mengiringi musik yang mengentak. Di sudut lain, seorang remaja belum genap berusia dua puluhan menggerayangi tubuh pasangannya. Matanya menyisir ke arah pintu masuk. Seketika Ian terpukau melihat seorang wanita menerobos dengan kepala tegak dan dagu terangkat. Dia datang sendirian. Sorot matanya tajam seolah tak kenal takut.  Ian mengernyit. Rasanya, ia pernah bertemu sosok itu sebelumnya. Mulutnya setengah terbahak memperhatikan wanita itu mengenakan pakaian yang tak biasa. Jeans belel dan kemeja lengan panjang kedodoran tentu saja tidak cocok dipakai memasuki klub malam yang terkenal dengan pakaian-pakaian seksi menggoda. Rambutnya dikuncir berantakan, menampakkan tengkuknya yang mulus dengan rambut-rambut halus yang baru tumbuh. Darah Ian tiba-tiba berdesir hebat. Ada gelenyar aneh namun nyaman merasuk ke jiwanya.  Wanita itu meminta minuman pada bartender lalu membawanya ke sebuah meja kosong. Ia menuangkan cairan yang Ian tahu adalah wine ke dalam gelas dan menghabiskan dalam sekali teguk. Matanya terlihat menerawang. Sesekali ia terlihat jengah dan di lain kali ia terlihat memejamkan matanya. Semua gerakan itu tak luput dari mata Ian yang memandang dari kejauhan. Ia terpesona melihat wanita yang belum ia ketahuinamanya itu di pertemuan mereka yang kedua.  Jiwa petualangnya berontak ingin menaklukkan sosok itu dan membawanya ke ranjangnya, memulai sesi demi sesi penuh desahan seksi. Ian merinding sendiri membayangkan wanita itu menjerit saat mendapatkan klimaks demi klimaks di bawah kungkungan tubuhnya yang berpacu naik turun. Tubuhnya melenting bak busur dan dadanya membusung. Sesuatu di bawah sana mulai terasa sesak. Tak pernah sebelumnya ia ereksi hanya karena melihat sosok seorang wanita. Dan kali ini, benaknya berkelana membayangkan yang tidak-tidak.  Sialan! Beberapa orang pria mendekati wanita itu dan duduk di dekatnya. Hanya beberapa detik setelah itu, mereka pun membubarkan diri. Sementara si wanita menyeringai sinis dengan raut dingin seperti es. Sebuah kesimpulan tercipta di benak Ian. Wanita itu bukanlah sosok yang mudah ditaklukkan. *** Tidak lama setelah wanita itu masuk, seorang pria ikut memasuki tempat itu dengan kepala menunduk. Ia merapatkan topi yang menutupi separuh wajahnya agar tidak ketahuan tengah membuntuti seseorang. Hampir setiap akhir minggu ia mampir ke berbagai klub, mengikuti wanita yang masih ia cintai dan mengantarnya pulang kerumah dengan selamat. Jika berhalangan, Bram akan menyuruh orang kepercayaannya untuk menggantikan tugasnya.  Hatinya hancur melihat Kara bergaul akrab dengan alkohol pasca pengkhianatannya. Hal itu juga yang membuatnya menjaga Kara tanpa terlihat. Sampai saat ini ia masih merasa bersalah. Ia pernah berjanji pada Kara di pertemuan terakhir mereka, bahwa ia akan kembali setelah satu tahun pernikahannya dan menceraikan Airin. Nyatanya, janji itu tak pernah ia tepati setelah seorang puteri lahir merantai kakinya. Bram serba salah. Memilih antara orang tua atau kekasih, bukanlah hal yang mudah. Orang tuanya menentang hubunganmereka di saat mereka sepakat untuk bertunangan. Padahal sebelumnya, tidak ada masalah. Bahkan orang tua Kara juga cukup akrab dengan kedua orang tuanya. Tiba-tiba saja, dibuatlah perjodohan antara dirinya dengan Airin, sahabat Kara. Dengan alasan, ibunya pernah berhutang budi pada orang tua Airin.  Kara hancur lebur. Setelah pernikahannya, Kara tak satu kali pun dapat ditemui. Kara seakan mengumumkan pada dunia bahwa Bram adalah manusia pertama yang paling dibenci di muka bumi. Berkali-kali ia mendatangi rumah Kara yang berakhir dengan wajah babak belur. Ia dihajar oleh Satya dan Hanif, diusir mentah-mentah oleh ayah Kara, sampai akhirnya ia menyerah dan memilih membuntuti Kara diam-diam. Seperti saat ini, menjaga keselamatannya sekaligus melepas rindu yang tak kunjung terobati. Hanya Diana, ibu Kara yang masih meresponnya. Meskipun tidak cukup baik, setidaknya Diana tidak mengusirnya ketika ia bertamu atau ketika mereka berpapasan secara kebetulan. Bram masih berharap suatu hari Kara akan mengerti, bahwa dirinya masih menjaga secuil pengharapan bahwa Kara akan kembali. Ingatannya melayang saat mereka pertama kali berkenalan. Kara adalah mahasiswi baru, sedangkan dirinya mahasiswa tahun kedua yang ditugaskan mengospek para remaja yang baru lepas dari seragam putih abu-abu mereka. Kara berbeda. Saat teman-temannya menunduk atau patuh mengikuti setiap perintah seniornya, Kara memilih menantangnya.Bahkan berani menampar dirinya yang saat itu memprovokasi Kara. Tamparan itu bahkan masih terasa hingga kini. Pukulan khas perempuan yang sialnya menghadirkan denyut-denyut asmara. *** Ian mengikuti wanita itu keluar dari klub malam. Langkahnya tampak sempoyongan saat mencari mobilnya. Baru saja Ian hendak menyambar pinggangnya saat wanita itu hampir terjatuh, seseorang mendahului memeluk wanita itu.“Dia bersamaku!” desisnya tajam. Matanya setengah memicing dari balik topinya. Raut wajahnya sarat permusuhan. Ian tidak mengerti. Niatnya hanya ingin menyelamatkan wanita itu sebelum tersungkur. Namun, kenapa pria itu kelihatan marah sekali? *** Satya menggerutu kesal. Rencananya untuk segera tidur setelah mengapeli pacarnya harus batal karena Kara tidak bisa dilarang pergi setelah tadi dipergoki. Otomatis ia harus standby menjaga pintu, agar ketika Kara kembali, tidak ada yang tahu bahwa Kara baru pulang dari klub malam. Ia bisa memastikan, Kara telah hilang kesadaran seperti biasa, meracaukan nama pria paling b******k sejagat raya, Bramantyo Adhyaksa! Terdengar suara mobil memasuki halaman. Satya bergegas beranjak dari tempat duduknya. Ia menyusul membuka pintu penumpang dan membopong Kara yang sedang teler. Rambutnya kusut menutupi sebagian wajahnya. Satya menahan napas mencium bau alkohol yang menguar keras. Ia mengucapkan terima kasih pada pria paruh baya yang menggantikan Kara mengendarai mobilnya. Pria itu pamit berjalan keluar gerbang yang segera dikunci kembali oleh satpam. Satya sendiri heran, apa memang klub malam menyediakan sopir pengganti bagi tamu-tamu mereka yang mabuk berat? Betapa hebat dan profesionalnya mereka. Ia sendiri tidak pernah menyentuh tempat-tempat seperti itu, meskipun alkohol bukan hal asing lagi baginya. “Berat amat, sih? Begini, nih, kalau kebanyakan dosa,” bisiknya kesal. “Bram ... kau br*ngsek!” Kara meracau.  Satya menutup mulut Kara dengan telapak tangan, berjaga-jaga agar penghuni rumah yang lain tidak terbangun oleh suaranya. Tak ada yang tahu Kara selalu datang ke klub malam kecuali dirinya, meski ia tak pernah setuju. Mereka berdua menyembunyikannya dengan rapi. Bahkan Hanif pun hanya tahu Kara sesekali menyelundupkan minuman keras ke kamarnya, tanpa diketahui kedua orang tua mereka. “Iya, gue tahu dia br*ngsek. Makanya, lo cari pacar baru dong!” bisik Satya mengomel. Sebelah tangannya membuka pintu kamar Kara, kemudian menyalakan lampu. Ia menjatuhkan tubuh Kara ke atas tempat tidur lalu mencopot sepatu kets-nya sambil terus menggerutu. Kemudian ia menyelimuti wanita itu, lalu mengatur suhu pendingin ruangan. Baru saja ia hendak dari keluar kamar Kara, terdengar suara Kara beserdawa. Dan bodohnya, Satya malah mendekat sambil menepuk-nepuk pipi Kara untuk membangunkannya. Tiba-tiba ia syok kala Kara mendadak terduduk dan menyemburkan isi perutnya.  Pakaian dan sebagian wajah Satya basah. Ia seketika menyumpah, “What the f*ck?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN