4 - Pintu Rahasia

2135 Kata
Pagi harinya saat Naya berhasil membuka kedua matanya dari tidur cepatnya semalam tiba-tiba kepalanya dilanda pusing luar biasa, mungkin karena perutnya terus meronta kelaparan sedangkan Naya terlalu takut untuk pergi diam-diam ke bawah demi mengisi perutnya. Hal ini bukan sekali dialami Naya, sudah terhitung berkali-kali, mungkin? Naya lupa sangkin seringnya dia diperlakukan seperti ini. Tetapi saat mata Naya terarah kepada jam di dinding kamarnya dia segera melompat dari atas kasur dan berlari masuk ke dalam kamar mandi. Sungguh, padahal biasanya Naya akan bangun subuh jika tidur malam terlalu cepat, tetapi kali ini tidak. Bisa-bisanya Naya terlambat di hari keduanya masuk sekolah. "Aduh-aduh, pusing banget astaga." Naya mengerjapkan matanya beberapa kali saat dia berdiri di depan pintu kamar mandi, setelah berhasil menetralkan pusingnya yang sebenarnya belum juga reda, mau tidak mau Naya harus bergegas karena waktunya untuk bersiap hanya tersisa 20 menit saja! Setelah akhirnya mandi dengan kecepatan kilat yang hanya membutuhkan waktu 5 menit saja, Naya keluar dari dalam kamar mandi dengan seragam lengkapnya. Untung saja Naya bukan tipikal perempuan yang harus berdandan setiap hari berangkat ke sekolah, hanya tinggal mengenakan sepatu dan mengambil tas saja, Naya sudah bisa berangkat ke sekolahnya. Kaki Naya menuruni tangga sambil berlari, tetapi dahinya mengernyit ketika tidak menemukan keberadaan abangnya yang biasa setiap pagi sudah menunggunya di meja makan. Apa mungkin Bakara sudah berangkat terlebih dahulu? Yasudah, tidak apa. Tetapi sebelum moodnya menurun drastis, Naya bisa melihat adiknya, Dimas, yang baru saja keluar dari kamarnya yang berada di lantai bawah. "Dimas, Naya boleh bareng kamu?" tanya Naya dengan sedikit tergesa berjalan ke arah adik lelakinya itu. Dimas berdecak melihat keberadaan Naya seperti kuman yang menghampiri dirinya. "Ga ga ga! Lo bisa naik angkot atau apalah, jangan harap bisa berangkat bareng gue!" langkah kaki Dimas kemudian berjalan menuju garasi dan mengambil motor hitam besar miliknya, Dimas bahkan tidak peduli dengan Naya yang masih mengintil di belakangnya. "Dimas, nanti Naya bayar deh, janji." Naya sudah mulai putus asa ketika melihat adiknya mulai menyalakan motornya dan beranjak dari hadapannya tanpa memerdulikan Naya. Mata Naya melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan matanya hampir keluar saat melihat sisa waktu sisa 10 menit lagi. Padahal jika dia bisa berangkat bersama Dimas, maka semuanya bisa saja aman. "Huft, oke, gapapa Naya, kamu bisa kok lari pagi hari ini. Semangat!" Masalahnya, sejak kemarin malam perut Naya kosong, tidak terisi apapun selain cemilan yang dia makan sore di kafe. Dan sekarang, Naya harus mengumpulkan tenaga ekstranya untuk berlari sampai ke sekolah. "Huh huh huh huh, cape banget serius! Dikit lagi Nayaaaa!" langkah kakinya mulai melambat saat merasakan tubuhnya benar-benar lemas, apalagi sakit kepalanya sejak pagi tadi belum juga hilang. "Meow," Langkah Naya terhenti saat mendengar suara kucing mengaum, tetapi Naya tidak bisa melihat wujudnya. Biarlah hari ini dia terlambat masuk sekolah, tubuhnya juga tidak bisa diajak kerja sama lagi. "Meow, meow, meow." "Di mana sih kamu kucing?" Naya sampai nunduk-nunduk di sekitar trotoar tempatnya berlari tadi. Hanya ada suara kucing, tetapi tidak tahu di mana keberadaan kucing tersebut. Tangan Naya meronggoh rerumputan dan semak yang ada di sampingnya sampai kemudian matanya menangkap anak kucing yang tubuhnya terjebak sebagian di dalam selokan. Naya berlutut dan mencodongkan tubuhnya untuk mendekat ke arah anak kucing itu, tetapi tangannya belum bisa menjangkau tubuh kucing tersebut. Apakah Naya harus mengorbankan dirinya? Karena jika Naya melangkahkan kakinya sejengkal ke depan, maka dia harus merelakan sepatunya kotor mengenai tanah, tetapi jika tidak diselamatkan Naya harus merasa menyesal sampai tidur nanti. Baiklah, mungkin hari ini Naya tidak akan masuk sekolah dulu, sudah terlalu terlambat untuk pergi apalagi di sini posisi Naya serba salah. Ya, dia harus menolong anak kucing itu! Saat kaki Naya ingin menginjak tanah di depannya, tiba-tiba Naya merasakan tubuhnya tertarik ke belakang sehingga bokongnya harus menyentuh permukaan trotoar yang kasar. Oh tidak, anak kucing itu! DUGH. "Awss," Naya meringis kuat ketika tubuhnya tertarik, apalagi kepalanya sedang kliyengan saat ini. "Woy lo mau ngapain sih bocah?!" Naya mendengar suara berisik dari arah belakang tubuhnya saat jatuh tadi, ketika kepalanya berputar dia bisa melihat empat lelaki berdiri di dekat Naya sambil melihat ke arahnya dengan aneh. Mata Naya mengerjap, maklum, otaknya sedikit lemot. "Seragam kalian kok sama kayak aku? Kenapa kalian nggak masuk sekolah?" Lelaki tinggi dengan jaket kulit hitam yang ternyata sejak tadi berdiri persis dibalik punggungnya melepas pegangannya dari tas Naya kemudian kaki panjangnya itu melangkah menunduk mengambil anak kucing yang sedang terjebak itu dengan mudah. Ah, pantas saja. Kaki panjang itu pasti akan mudah melangkah, tidak seperti Naya yang kelimpungan sendiri sejak tadi. Oh iya, Naya juga baru sadar jika lelaki yang menarik tasnya itu adalah satu-satunya yang tidak memakai seragam sekolah dibanding ketiga temannya yang lain. "Lo sendiri ngapain cosplay jadi tanaman bukannya sekolah!" ujar lelaki berseragam dengan jaket jeans. Kulitnya paling putih bersih dibanding temannya yang lain. "Aku mau nolongin kucing itu, bukan mau jadi tanaman." Naya beranjak berdiri sambil menepuk rok bagian belakang yang sedikit berdebu. "Udah, lo pada sekolah sana!" kata lelaki berjaket kulit hitam kepada ketiga temannya. "Pulang sekolah ke tempat biasa ya bang." Yang dipanggil 'bang' hanya menganggukkan kepala sebelum melepaskan kucing di atas kursi kecil di pinggir trotoar. "Lo berangkat sama siapa?" Naya masih saja sibuk menepuk roknya sampai tidak sadar jika lelaki berjaket kulit hitam itu mengajaknya berbicara. "Oit. Lo diajak ngomong sama bang Revo!" Naya baru sadar ketika lelaki yang tidak memakai jaket itu menyeletuk kepadanya. "Eh, kenapa bang?" "WAHAHAHAHAHA ANJIR! Ketuaan sih lo bang!" Lelaki bernama Revo itu mencebik kesal sebelum beranjak menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan. Kepergian lelaki bernama Revo itu sentak diikuti oleh ketiga temannya yang lain, sedangkan Naya hanya bisa berdiam kaku setelah merasa tidak enak dengan lelaki berjaket kulit hitam. Memangnya salah ya Naya panggil dengan sebutan bang? Padahal teman-temannya yang lain juga seperti itu. "Lo gamau ke sekolah cil?" Naya menoleh ke samping tepatnya ke arah lelaki yang kulitnya bersih itu. "Mau, tapi kayaknya Naya udah telat banget deh." "Yailah, bareng kita aja. Pasti bakal bisa masuk ke dalem deh!" "Emm, gapapa? Naya takut ngerepotin kalian." "Gapapa cantik. Mau bareng bang Revo atau bareng mas Deno?" rupanya lelaki berkulit putih itu bernama Deno. Baiklah, akan Naya catat satu-satu nama geng itu dikepalanya. Yang berjaket kulit hitam namanya bang Revo, dan yang berkulit putih namanya Deno. Sedangkan sisanya Naya belum tahu. "Terserah kalian. Naya ikut sama siapa aja." Naya sebenarnya tidak enak dengan mereka, apalagi ini kali pertama Naya bertemu walau mereka satu sekolah. "Oke, kalau gitu Naya bareng bang Revo aja ya Nay?" Naya mengangguk saja, nurut. Tetapi Naya masih saja diam di tempat karena takut. Revo terlihat tidak begitu menyukainya dengan tatapan ketusnya. "Santai Nay, mukanya bang Revo emang gitu." Deno berjalan ke arah Naya kemudian merangkul pundak gadis itu dan mengantarkannya ke depan motor Revo. Sebenarnya Naya ingin berdecak kesal menyuarakan kekesalannya karena harus berurusan dengan motor Revo yang memiliki tipe seperti motor kakak dan adiknya. Menyebalkan sekali karena Naya merasa sangat kesulitan menaikinya. "Pegang bahu bang Revo gapapa kok Nay, gabakal marah yang punya." Deno seakan tahu isi hatinya. Naya nurut lagi, dengan tangan sedikit bergetar karena masih lemas dia naik ke atas motor Revo dan segera melepaskan pegangan tangannya dari sana. Jujur, Naya takut lihat raut wajah Revo walau wajahnya ditutupi helm full face. Auranya itu loh, benar-benar mencekam. "Pegangan aja. Gue mau ngebut." Ucapan singkat, jelas, dan padat itu hanya dibalas anggukan kepala oleh Naya. Setelah itu Naya hanya bisa diam sambil mengeratkan pegangannya pada bahu Revo dan menggumamkan doa agar dirinya selamat sampai ke sekolah. Sungguh mengancam nyawa, ini lebih mengerikan daripada naik motor bersama Dimas. "Udah sampe." Mata Naya terbuka saat motor berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat. Naya langsung bergegas turun dari motor sebelum berterimakasih kepada Revo yang sudah mau memberikannya tumpangan. "Makasih banyak bang Revo udah mau kasih tumpangan ke Naya," Naya menundukkan kepalanya. "Hmm." Revo hanya bergumam. "Ayo Nay!" lelaki yang berboncengan dengan temannya turun menghampiri Naya. Ohiya, Naya belum tahu siapa namanya. "Umm, Naya boleh tahu nama kamu?" Lelaki itu mengulurkan tangannya. Naya bisa melihat jika ada aura bersahabat dari lelaki satu di depannya. "Nama gue Kiki, yang barusan bonceng gue Rafael, yang paling putih Deno dan yang barusan boncengin lo bang Revo. Lo Naya kan? Oke salam kenal Naya, sebenarnya ada satu lagi temen kita namanya Gentala, tapi dia udah duluan di dalam karena ngerjain tugas." Tanpa sadar Naya terkekeh geli mendengar cerocos yang dikeluarkan Kiki. Asik sekali memiliki teman seperti Kiki yang humoris. "Woy Ki, nyerocos aja lu. Buruan udah ditungguin Genta!" Deno kemudian ikut memarkirkan motornya di dekat gerbang tepat di samping motor Rafael. Kemudian Kiki mengode kepada Naya untuk mengikutinya berjalan ke belakang sekolah. Hah? Ini maksudnya Naya mau diajak membolos atau menyusup ke dalam sekolah gitu? "Kiki, ini mau ke mana?" bisik Naya pada lelaki di sampingnya. Karena tinggi Kiki tidak seperti teman-teman lainnya, lelaki itu mudah sekali merangkul bahu Naya untuk mengikuti langkahnya. "Tenang aja, kita punya pintu rahasia buat masuk ke dalam sekolah, lo pasti aman kok." Sebenarnya sedikit risih karena sebelumnya Naya belum pernah memiliki teman apalagi lelaki, Naya hanya dekat dengan satu orang yaitu abangnya saja. "Gue pergi ya!" sebelum temannya benar-benar pergi begitu saja meninggalkan Revo rupanya lelaki itu sudah inisiatif untuk pergi duluan. Naya sampai kaget mendengar suara motornya yang begitu nyaring karena tancapan gas Revo. Sedangkan teman-temannya yang lain hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan abang-abangannya itu. "Bang Revo nggak sekolah?" tanya Naya kepada Kiki. Jujur dia sedikit kepo dengan lelaki dingin itu. "Bang Revo setahun lebih tua dari kita Nay, biasa anak pinter lulus duluan, lo sendiri kelas berapa? Kok gue gapernah liat cewek secakep lo di sekolah." Dasar Kiki buaya, Naya sampai heran sendiri. Cantik dari mananya coba. "Aku kelas sebelas, kayaknya aku pernah denger nama temen kamu juga deh di kelas aku," "Gentala maksud lo? Yang kelas sebelas Ipa 2 kan?" Naya menganggukan kepala. "Ck, lama banget lo pada!" Obrolan Naya dan Kiki terhenti ketika mendapat decakan sebal dari lelaki yang sedang berkacak pinggang di depan sana. Naya mengernyit heran, benar kok itu teman sekelas Naya kemarin, tetapi kok bisa ya dia keluar dari sana? Apakah keberadaan pintu rahasia itu benar-benar ada? "Yee maap bang, ada anggota baru nih maklum." Deno berjalan duluan menghampiri Genta yang wajahnya sudah masam. "Lo pada bawa anak siapa si?" "Kenalin ini Naya, katanya sih temen sekelas lo bwang tampan." Ah, Naya baru sadar. Pantas saja dikatakan pintu rahasia. Pintu itu terletak di belakang tepat menjadi psmbatas antara warung belakang dengan dinding sekolah. Gila ya, bisa aja mereka menemukan pintu sekecil itu. Gentala sepertinya tampak tidak perduli dengan keberadaan Naya karena setelah itu dia malah duduk di kursi panjang sambil menyalakan rokoknya. Perilakunya membuat Naya meringis sendiri, tidak jauh beda dari kelakuan adiknya. Padahal Naya pikir mereka anak baik-baik, ternyata sama aja toh. Lah, kenapa Naya bisa berpikir baik padahal mereka ini sudah merencanakan telat masuk sekolah. Jika menjedotkan kepala bisa membuat seorang menjadi pintar, rasanya Naya ingin deh. Lelah sekali dengan kinerja otaknya. "Terus ini cewek mau diajak nongkrong? Gamungkin kan?" Naya baru pertama kali ini mendengar suara Rafael setelah insiden tadi. Lelaki itu banyak diam seperti Revo. "Biar gue aja yang bawa masuk, sekalian ambil tas di kelas." Gentala mematikan putung rokoknya kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu rahasia. Hal itu membuat Naya mengikuti langkahnya otomatis. "Makasih banyak Kiki, Deno dan Rafael. Aku gatau harus balas kalian pakai apa, lain kali kalau aku ada rezeki lebih, aku traktir makan ya?" Naya berterimakasih tulus. Jika tidak dibantu mereka mungkin sekarang Naya sudah pulang ke rumah dengan sepatu kotor ditambah kemarahan ayahnya akibat si mulut ember Dimas. "Santai aja Nay, anggep aja kita temen baru lo. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan ya, lumayan kan punya temen baru yang cakep begini." Mulai deh Deno, setelah ada buaya Kiki, muncullah buaya kedua yaitu Deno. "Cepet." Desisan dari depan Naya membuat Naya buru-buru melangkahkan kakinya. Sedikit kesulitan karena kepalanya semakin lama semakin sakit saja, tetapi Naya harus bisa menahannya. Gentala memelankan langkahnya ketika berhasil melewati pintu rahasia yang tersambung langsung ke arah belakang kantin. Hal inilah yang membuat mereka berani masuk sekolah dengan telat dan aman, karena jarang sekali guru berpiket di daerah ini. "Gue mau ke kantin dulu, jam segini guru belum keluar. Terserah lo mau ke mana." Gentala berjalan menjauh ke arah kantin, meninggalkan Naya seorang diri. Dia ingin saja menyusul Gentala tetapi lagi-lagi Naya sadar posisi. Dia tidak ingin Gentala merasa risih akan kehadirannya. "Oke, Naya mau ke perpus aja deh." Lokasi kesukaan Naya. Selain tenang dan sepi, Naya juga bisa mengurung diri dari sosialisasinya di sekolah ini. Pagi ini Naya merasa sangat beruntung. Bisa masuk telat ke sekolah dengan aman tanpa hukuman. Tetapi belum sampai ke perpustakaan, langkah kaki Naya semakin memberat. Naya tidak bisa lagi menahan rasa sakit di kepalanya dan lemas pada tubuhnya. Naya istirahat sebentar dulu deh. •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN