"Ini rumahmu?" tanyaku tidak enak hati.
"Ini apartemen namanya. Semoga kamu betah tinggal di sini," ucapnya setelah tertawa kecil.
Aku memang orang kampung yang tidak tahu tentang apapun. Baru kali ini aku melihat rumah yang terlihat asing dari segi segalanya. Apalagi selama ini aku hanya melihat rumah-rumah biasa yang sederhana.
"Apa tidak apa-apa kalau aku tinggal di sini?" tanyaku ragu. Tentu saja aku sangat tidak enak hati jika harus tinggal di rumah orang yang begitu mewah. Ditambah aku sama sekali tidak punya uang untuk membayar sewa.
"Tentu saja tidak apa-apa. Makanya aku minta kamu untuk tinggal di sini." Leo memintaku untuk duduk.
Mataku terpana melihat keindahan rumah yang mewah ini. Masyaallah, andai saja nanti aku bisa membuat rumah yang indah dan nyaman seperti ini untuk anakku, sudah pasti aku akan sangat bahagia.
Aku duduk dengan ragu. Ingin rasanya aku duduk di lantai, tapi takutnya Leo malah merasa tidak enak. Padahal, aku yang harusnya punya perasaan itu.
Selama beberapa saat pergi, Leo kembali dengan membawa nampan berisi makanan, dan sebotol air mineral. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa mengisi perut yang sudah sangat lapar ini.
"Dimakan dulu, nanti kalau mau mandi, aku tunjukkan di mana kamar mandinya." Leo menyimpan nampan itu di atas meja dengan sangat hati-hati.
Dapat aku pastikan kalau dia sepertinya memang terbiasa melakukannya sendiri, karena di sini juga aku tidak melihat ada orang lain yang tinggal.
"Gapapa?" tanyaku memastikan.
"Tentu saja. Aku membuat ini khusus untuk kamu."
Sontak aku terkejut ketika dia bilang nasi goreng telur dan semangkuk sayur sup yang ada di hadapanku ini adalah masakannya.
"Kenapa? Kamu tidak percaya aku bisa masak?" Leo tertawa kecil. "Aku sudah tidak heran dengan pertanyaannya karena aku selalu mendengar pertanyaan seperti itu. Bahkan orang tuaku sendiri tidak percaya kalau aku bisa memasak," jelasnya.
Kini aku baru faham kalau laki-laki yang ada di depanku ini bisa melakukan apa saja. Tanpa ragu lagi, aku langsung mengambil piring yang berisi nasi goreng itu, dan memasukkannya ke dalam mulut dengan tangan.
Masyaallah, rasanya sangat nikmat. Sungguh tidak seperti makanan yang dimasak seorang pria.
"Bagaimana, apakah sesuai dengan seleramu?" tanya Leo lagi.
Aku tidak menjawab dan malah memberikan jempol. Tanda kalau masakannya sangat enak.
"Syukurlah. Makan pelan-pelan. Aku mau siapkan kamar untuk kamu tinggal dulu," ucapnya kembali pergi meninggalkan aku sendiri di sini.
Aku melanjutkan makan sampai nasi goreng yang ada di piring habis tidak tersisa, lalu menyantap sup ayam yang tidak kalah menggoda.
Hanya dalam hitungan menit, keduanya sudah habis, dan sebotol air putih pun sudah aku habiskan. Alhamdulillah, sungguh nikmat mana lagi yang kita dustakan?
Alhamdulillah aku bertemu dengan orang sebaik Leo. Sudah pasti ini rencana Allah yang ternyata memang lebih indah daripada rencanaku.
"Mau mandi dulu?" tanya Leo dari arah sebelah kiri, tapi untuk lebih jelasnya aku sendiri tidak tahu dia berteriak dari ruangan yang mana.
"Boleh." Aku menyahut dengan berteriak juga, takut dia tidak dengar.
"Bentar."
Suara Leo kembali tidak terdengar. Mungkin dia sibuk mempersiapkan ini dan itu untuk diriku. Padahal, aku di sini hanya numpang, tapi dia mempersiapkan semuanya dengan sangat baik.
Karena tidak enak, aku membawa piring kotor habis makan ke dapur yang aku sendiri tidak tahu di sebelah mana. Namun, ketika melihat wastafel, aku langsung tahu kalau di apartemen ini tidak ada bentuk dapur seperti ruangan yang ada di rumah Mas Bagas yang luasnya bisa mencapai sepuluh meter.
Aku membawa cucian ke wastafel dan mencucinya dengan sabun cuci yang tersedia. Mendengar suara air yang kunyalakan, Leo menghampiriku.
"Apa yang kamu lakukan? Aku memintamu tinggal di sini bukan untuk melakukan pekerjaan selama ada aku di sini," ucapnya pelan.
"Tidak apa. Ini bekas aku makan juga, kok." Aku tersenyum tipis.
Sangat tidak enak kalau di sini hanya aku yang dilayani, sementara dia malah sibuk denganku yang tidak berguna ini.
"Kalau begitu, maaf, ya." Leo kembali duduk. "Aku tahu selama di rumah Bagas, tidak mungkin kamu melakukan pekerjaan seperti ini karena orang-orang yang kerja di rumahnya juga sangat banyak," ucapnya kemudian.
Kali ini aku hanya tersenyum. Wajar kalau dia berkata begitu, karena selama ini Mas Bagaskara memang memperlakukan aku seperti ratu. Tidak boleh bekerja dan melakukan apapun yang membuat orang berpikir aku adalah pekerja di sini, bukan istri.
Lima tahun sudah aku diperlakukan dengan lembut dan penuh kasih sayang, sangat berbanding terbalik dengan sekarang. Sudahlah, aku tidak mau mengingat lagi tentang dirinya. Aku harus bisa membangun kehidupan yang lebih baik lagi, walau tanpa dirinya. Sepertinya Leo juga belum ke rumah lagi semenjak aku perlakuan beda. Jadi, dia tidak tahu.
"Sebelum menikah dengan Mas Bagas juga aku sudah terbiasa melakukan ini, kok."
"Serius? Memangnya orang tua kamu ke mana?" Leo kembali bertanya.
Aku menjelaskan semuanya tanpa ada sisa. Dia semakin terharu ketika mendengar kalau aku hanya hidup sebatang kara. Jangankan saudara, orang tua pun tidak punya.
"Sekali lagi aku minta maaf kalau sudah membuatmu mengingat semuanya." Leo berkali-kali mengucapkan kata maaf yang aku rasa tidak perlu.
"Ya sudah, ayo, aku antar ke kamarmu!" Leo menarik koperku ke atas. "Ini kamar yang aku siapkan untuk kamu, semoga betah."
Aku melongo ketika melihat kamar yang serba putih dan mereka seperti tersenyum padaku. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Semakin rumah ini menampakkan keindahan, maka aku merasa semakin tidak enak untuk tinggal di rumah ini.
"Aku tidak bisa jika harus tinggal di sini, sebaiknya kamu bantu carikan aku kontrakan atau kos-kosan." Aku menarik koper kembali keluar kamar, tapi Leo segera menahannya.
"Tidak ada yang boleh pergi dari sini baik aku ataupun dirimu! Tidak mungkin aku membiarkan kamu seorang diri tinggal di rumah yang bahkan kita saja saja tahu. Sekarang tinggal dulu saja di sini tanpa memikirkan apapun, nanti ke depannya kita pikiran sama-sama. lagipula sekarang aku masih sangat sibuk." jelasnya.
***
"Kamu serius mengusir Vania dari rumah?"
Aku tidak sengaja mendengar Leon sedang berbicara di telpon dengan seseorang. Apa mungkin itu Mas Bagas?
"Kau? Memangnya apa yang dia lakukan sampai kau melakukan hal ini? Apa kau tidak tahu dia adalah wanita yang baik?"
Leo terdengar sangat emosi. Melihatnya seperti itu, ada rasa sesak dalam d**a. Aku sendiri tidak tahu kenapa seperti ini. Apa mungkin aku tidak tega pria baik sepetinya dibentak oleh Mas Bagas?
Aku memang tidak tahu apa yang Mas Bagas katakan, tapi jika mengingat bagaimana caranya berbicara, sudah bisa aku pastikan dia pasti membentak Leo juga.
Melihat emosinya yang tidak kunjung reda, aku berjalan ke arahnya, dan berdiri tepat di depannya. Aku menggerak-gerakkan tangan agar dia berhenti menelepon Mas Bagas, apalagi jika hanya untuk menanyakan kenapa dia mengusirku.
Terlebih, aku juga tidak ingin Leo menjadi sasaran kemarahan Mas Bagas hanya gara-gara aku. Namun, bukannya berhenti, Leo malah semakin memarahi Mas Bagas sampai wajahnya memerah.
Aku memberanikan diri untuk berdiri di sampingnya dan berkata, "Kamu tidak perlu melakukan ini, Leo. Mungkin aku dan dia memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Tidak apa, aku menerima semua ini dengan hati yang lapang."
Leo menatapku tidak percaya sambil menurunkan tangan yang sedang memegang ponsel dengan panggilan yang masih terhubung. "Kamu serius?" tanyanya tidak percaya dan aku hanya mengangguk mantap. "Padahal, dia sudah menyakitimu sejauh ini, tapi kamu masih saja bersikap baik tanpa melakukan perlawanan apapun."
Leo mendengus kesal, lalu kembali menempatkan ponsel di depan telinganya. "Ya sudah, untuk saat ini aku tidak akan memperhitungkan apapun. Namun, jika nanti kau mulai menyesal, aku tidak akan pernah membiarkan kamu mendekatinya lagi," ancam Leo, lalu mematikan sambungan telpon tanpa menunggu jawaban dari Mas Bagas.
Akan tetapi, aku sangat yakin kalau Mas Bagas tidak akan menggubris perkataan Leo karena dia memang tidak memiliki perasaan apapun padaku.
"Kenapa kamu bisa sebaik ini, Vania? Rasanya aku tidak rela kalau kamu menjadi istri dari lelaki itu," sentaknya terlihat marah.
Aku tersenyum tipis. "Tidak apa, ini sudah menjadi bagian dari hidupku, Leo. Untuk sebelum dan sesudahnya, aku ucapkan terima kasih banyak karena sudah hadir di dalam hidupku. Kalau saja kamu tidak membantuku, mungkin aku sudah tidur di jalanan," ucapku lembut.
"Jangan berbicara seperti itu, aku mohon. Lagipula, aku akan melakukan hal yang sama kalau seandainya wanita lain berada di posisimu," tegasnya sambil memalingkan wajah.
Aku tahu dia tengah berbohong. Apapun alasannya, aku sungguh sangat bersyukur dengan semua keajaiban yang terjadi dalam hidupku.
"Ya sudah, kamu istirahat saja di kamar. Nanti pas makan siang, kamu hangatkan saja makanan yang ada di kulkas. Aku mau kerja dulu dan aku kunci rumahnya dari luar agar kamu aman," jelasnya.
Aku yang tidak tahu apapun hanya mengangguk kecil. Padahal, tentu saja aku akan sangat aman walaupun tinggal di jalanan, karena aku tidak memiliki apapun sebagai alasan untuk membuat orang berbuat jahat padaku.
***
Kini aku berbaring sendirian di kamar yang bagiku sangat luas, meski tidak seluas kamar di rumah Mas Bagas.
Aku menata pakaian ke dalam lemari yang tersedia dengan ragu. Apa benar tidak apa-apa kalau aku tinggal di sini?
Banyak pertanyaan dalam benak tentang Leo dan keluarganya, tapi aku tidak berani bertanya lebih lanjut. Apa, iya, kalau keluarganya tidak akan ada yang datang ke sini?
Baru saja aku hendak menutup lemari kembali, terlihat sebuah foto di lantai. Aku mengambilnya dan melihat foto siapa. Ternyata foto Leo dan kedua wanita yang bisa aku pastikan satu ibunya dan satu lagi foto adiknya. Namun, kenapa ayahnya tidak ada?
Kembali aku menyimpan foto itu di meja rias untuk diberikan kepada Leo nanti, karena siapa tahu dia memang sedang kehilangan foto itu dan kebetulan aku yang menemukannya.
Baru saja mata mau terpejam, perutku kembali bunyi. Ya ampun, kenapa tubuhku selalu merasa lapar meski di rumahnya Leo? Apa ini wajar?
Dengan ragu, aku melangkah ke dapur, dan membuka kulkas untuk melihat makanan yang dikatakan Leo. Aku dibuat takjub dengan deretan makanan yang tersusun rapi dan aku menemukan secarik kertas di atas penutupnya.
"Aku tahu kalau kamu sudah biasa makan banyak, jadi aku sudah menyiapkan banyak makanan khusus. Semoga rasanya enak dan sesuai sama lidah kamu, ya. Selamat makan. Leo."
Aku tersenyum sendiri ketika membaca kata-katanya yang ditulis tangan itu. Sangat rapi dan berhasil membuatku merasa menjadi wanita yang paling beruntung.
Sepertinya Leo sudah punya pacar, jadi dia terbiasa mengucapkan kata-kata manis, dan indah yang membuat wanita manapun tersenyum.
Aku memanaskan makanan yang ingin aku makan di wajan yang tersedia, lalu menghidangkannya. Setelah makan, aku baru ingat dengan ponsel yang biasa aku gunakan di rumah Mas Bagas selama ini.
Perasaan aku sudah masukkan ponsel itu ke dalam koper, tapi kenapa aku tidak menemukannya tadi, ya? Apa mungkin terjatuh di depan kios ketika aku mengeluarkan tikar?
Lama aku mengingat-ingat di mana jatuhnya ponsel itu, tapi tidak kunjung menemukan titik terang sampai kepalaku terasa berputar-putar.
"Astagfirullah, kenapa aku bisa lupa seperti ini, sih!" Beberapa kali aku memukul kening yang terasa pusing, lalu menjatuhkan diri di sofa empuk.
Ternyata tiduran di sofa saja membuat kantuk tiba-tiba datang. Ditambah aku baru saja makan banyak, jadi membuat mata terasa semakin lengket.
Sepertinya mulai besok aku harus mencari pekerjaan yang pas dan aman untuk Ibu hamil, karena tidak mungkin bagiku tinggal selamanya di tempat orang. Aku tetap harus punya tujuan sendiri, terlebih aku harus punya banyak tabungan untuk menyambut kelahiran sang buah hati.