Bab 8

1068 Kata
"Vania?" Leo kembali memanggilku dengan lirih, tapi aku tidak mau menceritakan lebih jauh lagi karena sudah pasti dia tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan. "Maaf kalau aku sudah bertanya lebih lanjut, tapi itu karena aku memang sangat penasaran, dan selama ini aku mengenal dia adalah orang yang sangat baik." Leo kembali menatap ke arah bulan. Sementara aku sedang dinginnya tubuh ini yang terkena terpaan angin pagi. Sangat dingin. Hanya tinggal satu jam, waktu salat subuh akan segera tiba. "Tidak apa. Aku memang tidak ingin menceritakan semuanya padamu. Terlebih, kita juga baru saling mengenal." Aku tersenyum tipis sambil berusaha menyembunyikan rasa lapar yang sedari tadi aku tahan. Semoga saja perutku tidak bunyi. Selama ini aku selalu makan jika lapar dan tidak berhenti makan makanan ringan sampai puas, tapi sekarang aku harus berpikir ribuan kali jika mau membeli makanan yang aku inginkan. "Baiklah. Sekali lagi aku minta maaf. Tawaranku tentang ikut denganku pulang ke rumah masih berlaku. Jadi, kalau kamu berubah pikiran, kita bisa langsung pergi," ajaknya mantap. Aku tahu dia pria yang baik dan tulus. Hanya saja aku tidak merasa nyaman jika tinggal dengan seorang pria, terlebih lagi kita baru saling kenal. Akan tetapi, untuk saat ini aku memang tidak tahu lagi harus tinggal di mana, dan harus melangkahkan kedua kaki ini ke mana. Kalau saja perutku tidak mengandung si buah hati, mungkin saja aku sudah tidak punya tujuan hidup lagi. Alhamdulillah, sekarang aku punya alasan untuk bertahan dan menjalani kehidupan yang lebih baik lagi meski harus bekerja keras terlebih dahulu. "Vania, dengar, aku ...." Leo membalikkan tubuhnya kembali dan menatap bola mataku lekat. "Apa kamu yakin tidak mau ikut denganku untuk hidup yang lebih baik? Apa kamu yakin pilih tinggal di sini, di tempat yang memang tidak pantas untuk dijadikan tempat tinggal? Sekarang kalau malam tidak apa-apa karena mereka tidak jualan, tapi kalau besok?" jelasnya. Aku membenarkan semuanya. Malam ini aku bisa beristirahat di tempat ini karena kiosnya sudah tutup. Jadi, kemungkinan besar besok pagi mereka sudah buka kembali. Lantas, di mana aku harus tinggal? Apa perlu aku menerima tawarannya? Tapi di antara kami tidak ada hubungan apapun, apalagi dia seorang pria. Apa tidak apa-apa? "Sepertinya aku tahu dengan apa yang ada di pikiranmu," ucapnya sambil tersenyum tipis. "Aku punya rumah sendiri, Vania. Nanti kamu bisa tinggal di sana, sementara aku pulang ke rumah orang tuaku. Kalau nanti kamu takut, aku bisa meminta adikku untuk tinggal di sana untuk menemanimu." Aku terdiam. Darimana dia tahu kalau aku penakut? Apa mungkin dulu Mas Bagas pernah cerita sama dia? "Bagaimana? Kesempatan ini tidak datang dua kali, loh. Lagipula aku juga sudah tidak punya banyak waktu dan besok harus kembali bekerja." Leo memberikan waktu yang singkat agar aku memikirkan tawarannya. "Sekarang aku sudah tidak takut lagi, buktinya sekarang aku ada di sini. Hanya saja tidak mungkin jika aku tinggal di rumahmu tanpa melakukan apapun." Aku berkata lirih. "Masalah itu bisa kita bahas nanti, yang terpenting sekarang kamu masuk ke mobil dulu. Di sini dingin." Leo berjalan ke arah mobilnya, lalu kembali ke sini, dan memberikan aku selimut kecil. "Pakai ini, aku tidak mau kamu jadi sakit." Aku sungguh terharu dengan perlakuannya yang benar-benar tulus. Apa sebaiknya aku terima saja, lagipula tidak mungkin aku membiarkan anakku kedinginan, dan nanti setelah lahir malah serba kekurangan. "Baiklah. Aku mau ikut denganmu," ucapku kemudian. Kali ini aku sudah mantap. Intinya sekarang aku harus pergi dari tempat ini dan bisa istirahat dengan tenang. Lagipula, aku tidak mau membuat anakku sedih dengan pengalaman tinggal di depan kios seperti ini. "Bagus. Itu adalah pilihan yang cerdas." Leo terlihat lebih bahagia daripada aku. Padahal, aku yang diberikan bantuan oleh dirinya. "Kalau bilang dari tadi 'kan aku jadi tidak perlu duduk di sini lama-lama sampai beberapa kali diterpa angin kencang," lanjutnya membuatku tertawa kecil. Jadi dia bisa begitu bahagia karena akhirnya tidak diterpa angin lagi? Ya, ampun. Tidak tahu kenapa, aku juga merasa sangat bahagia. Sepetinya bayi kecilku juga tersenyum ketika mendengarkan pilihan yang aku pilih. "Iya, maaf, ya." Hanya kata itu yang bisa aku katakan dan Leo menggeleng cepat. "Bukan masalah karena itu wajar. Kita bahkan baru saling kenal." Leo berlari kembali ke arah mobilnya dan membuka pintu. "Silakan masuk!" Aku sungguh tidak enak hati menerima perhatian seperti ini. Mas Bagas saja tidak pernah membukakan pintu mobil untukku, apalagi setelah sikapnya berubah drastis. "Terima kasih banyak, Leo." Aku merapikan barang-barang terlebih dahulu, tapi baru saja menyentuh tikar, Leo bergegas mendekat. "Biar aku yang melakukan ini, kamu masuk saja ke mobil. Tapi jangan lupa tutup pintunya, ya." Leo mengambil tikar yang ada di tanganku, lalu melipatnya, dan memasukkannya ke dalam kantong plastik yang entah sejak kapan ada di tangannya. Sementara aku langsung masuk ke dalam mobil seperti permintaannya dan duduk dengan posisi yang aku anggap nyaman. "Kopernya sudah aku simpan di bagasi, ya. Kalau mau tidur, tidak apa. Nanti aku bangunkan kalau sudah sampai," ucapnya lembut. Diperlakukan seperti ratu sungguh membuatku tidak nyaman, tapi karena mata sudah sangat mengantuk, tidak terasa aku langsung pergi ke alam mimpi. "Papa jahat ya, Ma," ucap seorang anak kecil dengan wajah polosnya. Aku yang terkejut mendengar pertanyaan seperti itu hanya diam, tapi anak kecil itu malah memelukku erat. "Aku sayang Mama, aku mau menjadi wanita yang kuat seperti Mama. Terima kasih sudah mau bertahan demi aku," bisiknya lembut. Tanpa sadar, aku membalas pelukannya yang terasa sangat hangat. Padahal, kedua tangan anak kecil ini sangat mungil, tapi anehnya mampu membuatku nyaman. "Mama yang sabar, ya. Nanti aku akan hadir dalam hidup Mama dan menjadi anak yang kuat juga, sama seperti Mama." Dia kembali bicara dan membuat kedua mataku menangis begitu saja. Baru saja aku mau mengucapkan kata-kata terima kasih dengan penuh cinta, tapi lidahku malah terasa kelu. Aku sama sekali tidak bisa mengatakan apapun dan bibirku malah tertutup rapat. "Aku sayang Mama, aku mau Mama selalu kuat seperti ini. Sampai ketemu nanti." Anak kecil yang beberapa detik sebelumnya masih memelukku dengan erat itu kini tiba-tiba hilang. Aku mencarinya ke sana ke mari, tapi tidak menemukannya. "Adek kecil, kamu di mana, Sayang?" teriakku dengan suara yang baru bisa aku katakan, tapi sayangnya anak itu sudah pergi. "Vania, bangun. Kita sudah sampai." Suara Leo tiba-tiba terdengar dan seketika aku pun duduk. "Ya Allah, ternyata aku hanya bermimpi," lirihku sambil mengusap perut yang masih terlihat rata. "Apa kamu baik-baik saja?" Leo bertanya sambil menatapku heran dan aku hanya mengangguk. "Ya, sudah. Ayo, kita masuk!" ajaknya dan mataku dibuat kagum dengan rumah yang ada di depan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN