Mimpi & Tantangan
Jumat dini hari, tepatnya pukul 02.00 aku memaksakan untuk tidur karena sedari tadi mataku masih saja kuat melayani layar hp. Sedangkan kedua temanku, Yusuf dan Aga sudah tertidur lelap. Mereka sudah terbiasa menginap di rumahku. Bahkan kata mereka rumahku sudah seperti rumah mereka sendiri. Walau sudah kupaksa memejamkan mata ini, tapi masih belum ingin tertidur juga. Malah pikiran dan hatiku kacau, gelisah tak tentu. Entah apa yang dirasa. Sebentar lagi waktu subuh, sekitaran jam 3 lewat. Mataku tiba-tiba lelah juga. Sedikit demi sedikit katup mata ini mulai tertutup. Dengan hp yang masih menyala digenggaman tanganku.
Di ruang tengah tak biasanya begitu gelap. Kakak perempuanku Nia, tidak pernah mematikan lampu saat akan tidur. Ia tidak biasa dengan keadaan rumah yang gelap. Aku mendengar suara panggilan yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Sumber suara itu dari arah ruang tamu. Setelah ku hampiri, kakakku Nia sedang berada di sana. Dengan posisi duduk dan kedua tangannya yang terikat. Ia beberapa kali memanggil-manggil namaku.
"Di, Adi tolong teteh," dengan wajah yang penuh ketakutan, kakakku terus mengulang kalimat itu. Semakin kudekati kedua langkah kakiku ini ke arah kakakku, rasanya semakin berat. Tiba-tiba dua orang perempuan muncul di belakang kakakku. Yang satu adalah seorang nenek dengan rambut putihnya yang sangat panjang sampai menyentuh lantai dan wajahnya yang datar. Sedangkan yang satunya lagi adalah perempuan paruh baya dengan wajah yang penuh luka. Kemudian mereka keduanya menghampiriku. Si nenek menarik dan menyandarkanku ke dinding dan mencekikku. Si perempuan satunya merabaku dengan tangan yang terasa begitu kasar dan penuh oleh darah mendarat di sekitar alat kelaminku. Aku berusaha melawannya, tapi tidak ada pengaruh apa-apa. Kemudian kusebut asma Allah beberapa kali dan langsung kuteriakan sekencang-kencangnya.
Aku terbangun. "Astagfirullah, astagfirullah," gumamku dalam hati. Ternyata itu hanya mimpi. Kulihat jam di hp ku tidak berubah banyak. Aku melamun sesaat, sebab aku masih hafal, sebelum tidur tadi kulihat jam terlebih dahulu. Hanya terlewat satu menit saja aku dibawa oleh mimpi yang begitu menakutkan. Sampai badanku dipenuhi keringat dingin, dan detak jantungku yang tidak stabil. Karena masih begitu terasa seakan nyata. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Kemudian aku melanjutkan tidurku. Lampu kamar kumatikan. Baru beberapa detik saja kupejamkan mataku, aku dipanggil lagi oleh seorang lelaki yang memanggil namaku berulang kali. Langkahku pun terpaksa menghampirinya. Dengan rasa penasaran yang kuat, walau campur aduk dengan rasa takut yang menggelayut, sosok lelaki itu ternyata adalah bapakku.
"Bah, bah, abah," kupanggil-panggil namun ia masih saja membelakangiku sambil tangannya menunjuk ke satu arah di depannya. Tatapanku mengikuti arah telunjuknya. Di depan sana ada seorang lelaki lagi yang sedang memegang pisau. Wajahnya tak terlihat jelas. Karena posisinya setengah gelap. Kemudian tangan satunya melambai padaku. Setelah kuhampiri, ternyata ia adalah bapakku. Ia kemudian menusuk-nusuk tubuhnya sendiri. Aku lari ke arahnya. Namun sosok nenek yang menyeramkan itu hadir lagi. Ia menarikku hingga aku tertahan di dinding.
"Allahu akbar," kataku sambil teriak. Ternyata itu masih mimpi.
Di keadaan kamarku yang gelap, aku merasakan keanehan berikutnya. Setengah tubuhku miring menempel di dinding. Padahal posisi tidurku berada di tengah-tengah. Aga yang persis di samping dinding kamarku. Dan Yusuf tidur di atas ranjangku. Segera kunyalakan lampu, sambil terus membaca istighfar. Kulihat kedua temanku dengan keadaan berkeringat. Padahal di kamarku juga tidak panas. Tak lama kemudian Yusuf terbangun dari tidurnya.
"Kunaon Di ?" tanya Yusuf.
"Baru beberapa detik saja tidur, ane mimpi serem banget. Dua kali lagi." Jawabku.
"Ente ngelawan setan itu ?" tanya Yusuf lagi.
"Iya." Jawabku.
"Udah gak usah dilawan, biarin aja !" suruhnya.
Ia kemudian pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. Aga pun kubangunkan. Dan kami shalat subuh berjamaah.
Aku adalah Ahmad Adi Jamaluddin, anak ke dua dari dua bersaudara. Kakakku perempuan bernama Nia, ia sudah berumah tangga dan mempunyai dua orang anak lelaki. Ibuku sudah meninggal empat tahun yang lalu. Dan bapakku kini sudah mempunyai istri lagi. Ibu tiriku adalah seorang janda yang tidak mempunyai anak, tapi ia mempunyai warisan yang cukup banyak dari peninggalan ayahnya. Ia juga sangat baik kepada kami, layaknya ibu kandung sendiri. Dari segi materi kami hidup serba kecukupan. Dua sahabatku yang kusebut tadi adalah yang pertama Yusuf Imran, sahabat dari kecil yang mana sampai saat ini masih lekat denganku. Ia adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Bapaknya adalah kiyai sepuh yang masyhur di kampung kami, yaitu kiyai haji Darhami Imran. Kiyai haji Darhami adalah kiyai hikmat yang tamunya sudah banyak dari luar daerah Banten. Dan satu sahabatku lagi yaitu Muhammad Aga Permana. Ia satu kuliah denganku. Kami sudah lulus tiga tahun yang lalu. Dan saat ini, aku beserta Aga mengajar di berbeda sekolah. Pertama kali saat Aga kukenalkan pada Yusuf, ketika kami masih kuliah. Jadi saat itu Aga meminta bantuanku untuk mencari orang pintar, mengobati pamannya yang terkena gangguan gaib. Beginilah ceritanya ...
Keluarga Aga adalah termasuk orang-orang yang kurang percaya akan hal mistis. Termasuk pamannya yang sakit itu. Sebelum pamannya sakit parah, sampai tidak bisa apa-apa, seperti orang yang koma, hanya terbaring di kasur empuk selama tiga bulan. Keluarga Aga sudah membawa pamannya ke dokter sana-sini untuk mengobati sakitnya. Namun tidak ada perubahan. Justru beberapa dokter yang sudah menanganinya bilang bahwa paman Aga bukan sakit biasa, atau nonmedis. Tapi tetap keluarga Aga kekeh tidak percaya. Hanya bapak dan ibu si Aga saja yang percaya pada hal-hal mistis yang bisa mengganggu manusia. Nah saat itu, kuajak Aga ke Yusuf untuk menceritakan semuanya. Yusuf pun menanggapinya.
Suatu hari kami bertiga berkunjung ke rumah pamannya Aga. Dan saat itu Yusuf belum diminta untuk mengobati pamannya. Aga mengajak kami hanya ingin melihat kondisi pamannya yang memilukan itu. Kami pun duduk persis di samping pamannya. Ada bibi Aga yang setia membasuh wajah suaminya. Hanya terdiam tanpa kata. Sedari pertama kali masuk ke rumah yang besar ini, tubuhku sudah tidak enak. Aura-aura negatif mulai menyerang tubuhku. Tapi aku seolah terlihat baik-baik saja. Seperti tidak merasakan sesuatu pun yang mengganjal. Dan tiba-tiba Yusuf meminta Aga untuk mengambil bantal yang sedang ditindih oleh kepala pamannya itu. Setelahnya diambil, Yusuf bertanya pada bibi Aga.
"Apakah bantal ini bibi sendiri yang buat ?" tanya Yusuf sambil membolak-balikan bantalnya.
"Tidak, saya membelinya dari furniture, sudah lama sekali." Jawab bibi Aga dengan kedua alisnya yang mengerut.
Sekali lagi Yusuf meminta Aga untuk mengambilkan pisau. Dengan sigap Aga langsung mengambilnya ke dapur. Bibi mengikuti Aga, berencana mengambil minum untuk kami. Saat bibi dan Aga di dapur, aku dan Yusuf dengan sangat terkejut dan disertai merinding yang sangat kuat, melihat paman Aga tersenyum dengan mata tertutup. Senyumnya begitu menyeramkan.
Datanglah Aga dan bibinya, yang kemudian memberikan pisau yang diminta Yusuf tadi.
"Bismillah hirrohman nirrohim. Lihatlah ini !" kata Yusuf kepada kami. Dibukalah sarung bantal dengan perlahan. Dan kemudian Yusuf merobek bantalnya. Namun masih ada lapisan yang membalut bantal itu. Kemudian Yusuf merobeknya lagi. Namun masih ada lapisannya lagi. Begitu terus sampai ke tujuh kalinya. Bahkan ukuran bantal semakin mengecil dari yang sebelumnya. Di lapisan ke tujuh itulah Yusuf menunjukan kepada kami sesuatu yang di luar nalar. Dengan sambil membaca ayat-ayat qur'an, Yusuf mendapatkan sesuatu yang dibungkus dengan kain kafan. Dan Yusuf membuka benda itu. Ternyata isinya ada tujuh buah paku besar, tujuh buah cabai merah, tujuh siung bawang merah dan putih, tujuh helai rambut panjang dan boneka kecil dari jerami. Sungguh, kami pun semua sangat terkejut. Apalagi bibi dan Aga. Bagaimana bisa bantal yang sudah beberapa tahun dibelinya, terdapat barang seperti itu di dalamnya. Rempah-rempahnya pun tidak membusuk.
"Lailaha illa allahu," aku dan Aga terus mengucap kalimat itu.
"Ini bantal yang selalu dipakai paman Aga kan bi ?" tanya Yusuf lagi kepada bibi Aga sambil memegang bantal lain.
"Iya kang." Jawab bibi sembari ketakutan.
Jadi tidak hanya bantal yang sudah dibongkar tadi. Masih ada satu bantal lagi yang ditindih pamannya.
"Untuk meyakinkan kuasa Allah dari makhluknya yang jahil dan jahat. Coba buka satu lagi," kata Yusuf sambil menatap Aga.
Kali ini Aga yang diminta untuk membukanya. Bantal yang kedua ini pun persis sekali dengan yang pertama dibongkar oleh Yusuf. Tentu dengan suasana yang begitu mencekam dan menakutkan, kami terkejut lagi.
Sebelum kami pulang, bibi Aga mengajak ngobrol Yusuf tentang hal gaib lebih dalam. Di sinilah saatnya bibi Aga percaya, bahwa penyakit yang diderita suaminya bukan sembarang penyakit. Yusuf pun diminta kembali malam nanti untuk mengobati pamannya Aga.
"Ini semua sudah kehendak Allah bi. Tapi sebagai manusia kita perlu berusaha. Saya juga bukan siapa-siapa dan tidak bisa seperti apa yang bibi bayangkan. Kesembuhan dari Allah. Kita hanya perantara saja. Sebagaimana bibi berusaha keras dan tak lupa berdoa demi kesembuhan suami bibi, maka semakin kuat usaha kita dilihat Allah," papar Yusuf memberi pesan pada bibi Aga. Selama bibi Aga mengobrol dengan Yusuf, ia menanyakan siapakah yang sudah melakukan perbuatan jahat seperti ini kepada suaminya. Dan apa awal mula penyebabnya. Namun Yusuf tidak memberitahunya.
Malam itu kami bertiga datang kembali ke rumah paman Aga. Dengan segala persiapan, Yusuf memintaku untuk menaburi air doa dari bapaknya. Aku ditemani Aga sampai mengelilingi rumah itu. Kami masuk dan disambut baik. Malam itu juga sepupu Aga ada di sana. Karena bibinya sudah memberi kabar bahwa pamannya akan didoakan oleh kami.
"Ini siapa namanya yah ?" tanya sepupu Aga padaku.
"Saya Adi kang." Jawabku.
"Dan yang ini ?" tanyanya lagi mengarah Yusuf.
"Saya Yusuf kang." Jawab Yusuf dengan senyumnya.
Diam sejenak, kemudian sepupu Aga bertanya lagi.
"Maaf kalian awalnya bisa seperti ini bagaimana yah ? Maksud saya bisa mengobati orang seperti ini ?" sepupu Aga sepertinya kurang yakin kepada kami. Dan kami hanya tersenyum-senyum saja.
"Wajarlah Jar, si Yusuf anak kiyai, dan si Adi adalah murid bapaknya Yusuf," kata Aga dengan raut wajahnya yang sedikit jengkel.
Setelah dimulai dengan obrolan itu, Yusuf segera menyuruhku untuk memulai. Aku diminta untuk membacakan beberapa surat Al-qur'an.
"Ane ke kamar mandi dulu, belum punya wudhu," kataku sambil mengajak Aga.
Saat aku pergi ke kamar mandi, bulu kudukku merinding, seperti ada yang mengikutiku di belakang. Sedangkan Aga sudah kembali lagi ke tempat semula.
"Astagfirullahal adzim. Pergi kalian !" kataku sambil membalikan tubuhku. Segera aku mengambil wudhu. Dan setelah keluar dari kamar mandi, aku mendengar suara laki-laki yang sedang membaca kalimat tahlil.
"Lailaha illa allahu." Terus berulang kali. Semakin penasaran, suara itu semakin mendekat dan lebih cepat. Aku segera meninggalkannya.
"Di kamar belakang ada siapa Ga?" tanyaku kepada Aga.
"Gak tau." Jawab Aga singkat.
"Emang ada siapa bi?" tanya Aga kepada bibinya.
"Gak ada siapa-siapa," jawab bibi.
"Emang kenapa kang Adi?" tanya bibi Aga padaku.
"Kunaon di?" tanya Yusuf juga.
"Gak kenapa-napa," jawabku, menyembunyikan apa yang terjadi tadi. Dan perasaanku semakin tak enak.
Hampir setengah jam, aku membaca ayat-ayat qur'an dan Yusuf sudah membacakan amalan-amalannya di samping paman Aga, namun tidak ada reaksi apapun. Sampai kurang lebih dua jam kami mengawasinya, masih tetap tidak bereaksi sama sekali. Dan ketika Yusuf membuka auranya untuk merasakan hal-hal negatif, malah tidak ada. Begitupun denganku, tidak merasakan adanya aura makhluk gaib di sini. Yusuf pun mengakhirinya. Tentu bagi bibi Aga dan sepupunya itu belum merasa puas dengan apa yang sudah kami lakukan. Mereka ingin melihat bukti dan reaksi dari paman Aga.
"Kayaknya mah bapak memang punya penyakit," cetus sepupu Aga.
"Jar sudah jelas dibawa ke dokter juga, bahwa bapak maneh bukan sakit media," kata Aga.
"Yah mana buktinya?" tagih Fajar kepada kami.
"Mereka udah berusaha, tinggal kuasa Allah yang menentukannya." Jawab Aga lagi.
"Ya udah cari orang pinter yang lebih hebat lagi," kara Fajar sambil meninggalkan kami.
Dari situ aku merasa tersinggung sekali dengan ucapan Fajar, sepupu Aga itu. Mungkin bukan hanya aku, Yusuf pun begitu. Bibi Aga hanya terdiam saja. Kami berpamitan. Sebelum melangkah keluar, bibi Aga memberi Yusuf amplop. Dan amplop itu dikembalikannya oleh Yusuf kepada bibi Aga. Aga merasa sangat tidak enak hati kepada kami atas perlakuan sepupunya tadi.
Menjelang dua hari, Aga memberi kabar padaku, bahwa pamannya itu telah meninggal dunia. Aku sangat kaget bercampur merasa punya salah. Kami turut berbela sungkawa. Yusuf mengatakan padaku dan Aga, bahwa paman Aga itu bukan diganggu oleh makhluk gaib yang sembarangan. Jadi pamannya Aga sudah di talek atau dibuat perjanjian oleh setan dengan orang yang menyuruhnya. Sejak saat itulah Aga ingin memperdalam dan belajar banyak hal tentang dunia pergaiban. Dia ingin sekali dipertemukan dengan bapaknya Yusuf. Aga ingin berguru padanya. Mengapa dia sangat seantusias ini ? karena dia sudah melihat beberapa bukti nyata tentang bahwa pamannya meninggal sebab musabab diserang gangguan sihir atau yang lebih kami kenal dengan sebutan teluh.
Dan dia tidak ingin lagi ada kejadian yang serupa, seperti apa yang menimpa pamannya. Apalagi menimpa ibu dan bapaknya. Naudzubillah ...