5

2093 Kata
"Nikmati jam istirahat kalian." "Terima kasih, Nona Amara." Amara berlalu dari ruang divisi umum selesai membuat kopi s**u sachet dari rak. Saat dia berjalan, melihat Ana yang tampak sibuk dan pada bungkus gelas kopi yang menarik perhatian Amara. "Oh, Nona Amara?" Amara menipiskan bibir. Meremas lengan cangkir dengan ekspresi ketat. "Selamat siang, Ana. Kau sudah makan siang?" Ana mengangguk dengan senyum. "Aku mampir untuk membeli kopi di belakang gedung. Lalu membeli takoyaki dan sosis." "Itu cukup untuk mengisi perutmu?" "Lebih dari cukup," balas Ana sumringah. "Aku pernah mencicipi kopi dari kafe itu sekali. Dan rasanya tidak buruk. Aku kembali untuk mencicipinya lagi karena kedai kopi di perusahaan sedang tutup untuk sementara waktu. Harganya tidak terlalu mahal. Sayang sekali, pekerjanya sangat dingin." Amara tertarik dengan percakapan satu ini. "Pekerja?" "Yang laki-laki. Dia sangat dingin. Yang perempuan sangat ramah. Tampan namun dingin. Kombinasi yang bagus," ucap Ana jelas. "Pasti menyenangkan bagimu dan teman-temanmu karena mendapat incaran pria baru?" Ana terkekeh geli. Tidak bisa membedakan mana nada bercanda dan mana nada sarkasme dari bosnya. "Aku tidak tertarik dengan pekerja tampan itu, Nona Amara," aku Ana jujur. "Meski dia tampan, aku sama sekali tidak suka karena dia terlalu dingin." Amara mendengus dengan senyum tipis. "Baguslah kalau begitu." "Sebelumnya aku ingin meminta maaf." Amara mengangkat alis. Menatap Ana dalam selingan lirikan datar sebelum dia menangkap maksud gadis itu. Rahangnya mengeras. Namun Amara hanya mendesah sebagai balasan. "Aku berusaha—," "Tidak apa." Amara bergegas masuk. Mendorong pintu ruangannya agar terbuka dan menemukan satu sosok yang duduk angkuh di sofa. Menyilangkan kaki dengan mimik keras. "Fatish Amara, apa yang kau lakukan selama ini?" Amara mendekat pada meja. Menaruh secangkir kopi susunya di sana dan duduk di kursi. Tanpa berniat menjawab. "Kenapa kau diam?" "Kenapa kau bertanya? Perusahaan ini jelas bukan urusanmu," balasnya sinis dan perempuan itu terdiam. "Kau tidak mungkin meremehkanku," sindirnya dingin dan Amara tidak lagi peduli. Amara menarik napas panjang. Beserta usapan kasar yang mendarat di pelipis dan rambutnya. "Aku sama sekali tidak pernah meremehkan siapa lawanku selama ini. Kau yang meremehkanku. Kau tersinggung karena mereka yang berlutut padamu telah kusingkirkan, bukan?" Amara mendapati bibir itu terlipat keras. Sorot matanya menunjukkan arti kebencian yang mendalam. "Kau rupanya suka mengacau, ya?" "Bukan aku, tapi kau yang memulainya," timpalnya dingin dan hanya deru napas yang terdengar selain suara. "Banyak pekerja yang tidak suka dengan kinerjamu. Empat puluh persen, mereka tidak suka dengan pemimpin diktator sepertimu. Kau pikir mereka ini robot? Kau memeras tenaga mereka demi keuntungan perusahaan? Dasar gila. Perempuan sepertimu tidak pantas memimpin perusahaan sebesar ini. Kau hanya mengejar untung, untung, dan untung. Banyak orang yang membenci sikapmu satu ini. Sebagai bos besar, kau seharusnya bertindak lebih bagus untuk mensejahterakan semua karyawanmu." Amara mengeraskan rahang hanya untuk mengehela napas panjang. "Berhentilah bicara omong kosong, Bibi Sera. Aku meminta tenaga mereka dengan bayaran setimpal. Seingatku, pembayaran untuk bonus tidak pernah terlambat masuk ke rekening. Jadi masalah mana yang kau perdebatkan? Ini sama sekali tidak ada dalam konteks pertemuan kita. Kau dan segala arogansimu tidak diperkenankan di tempat ini. Atau aku perlu menekannya kembali?" "Benar-benar perempuan tidak sopan," geramnya. Amara menoleh dengan raut dingin. "Kita sudah bicarakan ini. Semenjak perusahaan jatuh di tanganku, aku yang akan memimpin. Semua harus tunduk pada aturanku. Aku bosnya, dan mereka pekerja. Mereka kubayar sesuai kerja mereka. Setimpal, bukan? Kenapa kau memaksa? Kau ingin aku lakukan apa?" "Berhenti menjadi serakah, Amara. Kau bukan Tuhan. Berhentilah bertindak semaunya. Aku memperingatimu. Seakan aku peduli dan tidak ingin kau terluka!" Amara mendengus sinis. "Berhenti campuri urusan orang lain. Kau tidak berhak mencampuri kehidupan orang lain meski dia memiliki ikatan darah denganmu." "Amara!" "Aku memberi pesangon untuk karyawan tetap yang kupecat secara tidak terhormat. Kalau itu yang kau takutkan, itu tidak akan terjadi. Aku membayar mereka sesuai semestinya. Perusahaan ini terlalu mudah. Dan mereka meremehkan segalanya tentang aku. Aku banyak melakukan perubahan dan tidak hanya duduk diam. Kau tidak seharusnya membuat masalah dengan menyeret namaku. Ini sama sekali tidak sopan dan aku benci mengakuinya. Jadi, katakan saja. Kalau aku melakukan kesalahan, aku akan berusaha memperbaikinya." Amara mengembuskan napas berat. "Aku sudah lakukan apa yang menurutku benar. Berhentilah menjadi pahlawan. Kau tidak dalam kapasitas bisa melakukannya." Sera mengatupkan bibir dengan rahang mengeras. Iris matanya menggelap seiring gerakan d**a naik-turun itu siap membuncah. Lahar itu sebentar lagi menyerbu keluar. "Kau sudah hidup mewah sekarang. Kurangkah deposito yang terendap di rekeningmu? Kau ingin aku menambah uang jajanmu? Ingin berfoya-foya tapi suntikan dananya kurang?" "Jangan menjadi kurang ajar, Amara. Kau harus ingat ini. Balas budi itu penting. Aku yang merawat ibumu ketika dia sakit. Aku yang mengurusnya. Kau bisa apa?" Amara menyesap kopi s**u dalam cangkir tanpa melepas pandangan matanya dari Sera yang tersengal. Seolah siap mencabik keponakannya sampai tak bersisa. Toh, Amara tidak peduli. Dia mengenal Sera jauh lebih dekat dari yang perempuan itu tahu. "Kau seharusnya tahu bagaimana cara berterima kasih." Suasana berubah mencekam saat Sera terisak dengan airmata yang mengalir. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. "Sampai aku mati, kau tetap keponakanku. Dan sampai aku mati, aku tidak akan pernah bisa melupakan kejahatan Lily. Ibumu yang berhasil membuat separuh aku mati rasa. Kau tidak tahu. Atau kau sengaja menutup diri agar berpura-pura tidak tahu. Semua membingungkan. Kau membuatku putus asa. Kau benar-benar tidak berperasaan." Air muka Amara yang keras nyatanya membuat Sera geram. Bagaimana bisa perempuan ini menjelma menjadi batu? "Kau tidak mau memaafkannya?" "Jangan gila!" Sera menjerit keras. "Bagaimana bisa aku melupakan malam saat dia membunuh putriku, hah? Jawab aku! Dasar sinting! Sampai kapan pun, dosa itu akan terus membayanginya. Membayangi diri ibumu di kubur!" Amara menghela napas dengan raut bosan. Saat dia memutar kursi, beranjak bangun dengan tampang malas. "Lantas, apa yang ingin kau lakukan? Melaporkan ibuku ke kantor polisi terdekat? Dia sudah lama pergi. Kau tidak akan bisa lakukan apa pun untuk membuatnya dipenjara. Sudahlah. Lupakan saja." "Ini belum setimpal dengan deritaku, Amara. Ini belum setimpal. Dan aku tidak mau berhenti. Aku tidak akan bisa berhenti." Amara hanya mengangguk. Tidak lagi bersuara ketika Sera menarik tasnya pergi. Membanting pintu dengan keras. Membuat Amara menunduk, mengusap wajahnya yang lelah dengan usapan kasar. Sebelum matanya beralih pada satu pigura yang mencolok mata. Pemandangan potret manis kedua orangtuanya yang saling merangkul satu sama lain semasa muda. Senyum lebar dari ibu dan ayahnya cukup membuat perasaan Amara lebih baik. "Pembunuh," desisnya dingin. Berusaha mengusir panas yang menyengat kedua matanya dengan gerakan sambil lalu. *** "Kondisinya terus menurun. Kami berusaha memantau perkembangan kinerja jantungnya setiap saat. Dan belum ada perubahan. Sedangkan donor jantung itu belum ada. Meski kau sudah menawarkan harga yang cukup tinggi. Kami kesulitan karena donor ini bukan seperti donor kebanyakan. Transplantasi dan semua prosedur harus berdasarkan hitam di atas putih. Kita juga harus berhati-hati. Agar kesalahan itu bisa diminimalisir." Amara terpaku. Menatap dokter paruh baya yang duduk dengan berbatasan meja panjang di antara mereka. Matanya menelusuri gurat-gurat lelah itu, sampai pada matanya dan semua berubah. "Berapa persen kemungkinan akan bertahan?" "Hanya tiga puluh persen. Tubuhnya mengalami perlambatan proses pengobatan. Ini dikarenakan lelah dan juga waktu yang memaksa organ dalam menolak semua obat yang kami berikan melalui suntikan. Cara satu-satunya untuk penanganan sementara. Semua berharap pada keajaiban. Termasuk aku dan kau." "Aku belum menemukan mereka yang sukarela memberikan jantungnya. Kita tidak bisa mengambil dari organ manusia yang masih hidup. Ini terlalu berisiko." Helaan napasnya terdengar berat. Saat Amara bertemu pandang dengan sepasang manik cokelat madu itu, dan semuanya terasa buram. "Di sisi lain, aku tidak ingin dia hidup." Dokter itu tercekat. "Tapi di sisi lain, aku ingin dia hidup. Mau bagaimana pun, dia adalah bagian dari diriku. Bagian dari kehidupanku. Entahlah. Ini memusingkan. Aku hanya ingin mendengar kabar bagus." Sontak, dokter itu hanya diam. Dokter dengan nametag Kana yang menatap Amara dengan sorot sedih. "Apa maksudmu? Kau ingin menyerah?" "Tidak. Tidak sama sekali," balas Amara rendah. "Kau yang paling mengerti benar siapa yang ingin menyerah di sini. Aku tidak pernah mempersalahkan biaya rumah sakit. Itu bukan sesuatu yang penting." Dokter Kana menghela napas berat. "Kami sedang berusaha, Amara. Kesembuhan pasien adalah prioritas kami sekarang. Termasuk aku. Kau mau bertahan sebentar lagi? Mungkin beberapa bulan ke depan sebelum kita berunding untuk kasus yang lebih serius. Ini membutuhkan kesabaran dan waktu. Aku berharap semua lekas membaik. Keinginan kita mudah, dan ini membuatku kesulitan." Amara menunduk dengan tarikan napas. Menatap Dokter Kana dengan pandangan datar. "Tentu. Kalau itu yang bisa kulakukan, aku akan bertahan." Percakapan mereka berakhir. Amara berdiri di ambang lorong rumah sakit yang sepi. Koridor ini meninggalkan senyap yang tak berujung. Hanya terdengar suara napasnya yang bersahut lemah. Amara berjalan berbelok ke lorong kelas terbaik.  Saat dia menatap pintu demi pintu. Merasa kalau pintu itu memiliki mata yang kini menyorot dingin ke arahnya. Membuat tubuhnya membeku, menggigil dengan cara menyakitkan. Amara tidak tahu. Mengapa keinginan untuk melarikan diri itu ada? Atau desakan ingin mengubur dirinya dalam-dalam ada? Amara tidak lagi peduli. Pandangannya tetap lurus ke depan. Saat dia memandang pada kamar bernomor enam. Menemukan tirai jendela yang tersingkap, menampilkan sosok rapuh yang sedang terbaring tak berdaya. Bersama alat-alat medis yang menempel pada kulitnya. Amara bahkan tidak tahu jenis alat apa yang menusuk sampai ke nadi terdalam sosok itu di sana. Dua perawat sedang memeriksa. Mengecek mesin secara keseluruhan. Memperbaiki selang dan memantau pergerakan jantungnya yang masih berdetak, meski terlihat lemah. Kesempatan untuk sembuh itu ada, walau sedikit. Harapan yang sempat tergantung itu masih memiliki kesempatan, walau tipis. Semua masih abu-abu. Memikirkannya membuat kepala Amara sakit. Sosok itu tidak lagi sesehat dulu. Amara hanya melihat tampilan tulang yang berbalut kulit. Terlalu miris. Dan terlalu iba sampai semuanya terasa mati rasa. Namun yang lebih hebat, Amara sama sekali tidak ingin menangis menonton sosok yang masih berjuang di depan sana. Salah satu perawat berniat menutup tirai kamar. Saat dia terpaku, bertemu pandang dengan Amara yang termangu. Ketika gadis itu mundur, dan perawat itu segera menutup tirai yang semula terbuka. Napasnya berubah sesak. Saat Amara berbalik, meremas tali tas yang melingkari bahunya dan berjalan pergi. Perlahan namun pasti menjauhi koridor rumah sakit yang sepi, meminta waktu untuk segera menyembuhkan luka yang terlalu lama terbuka lebar. Dan Amara tidak mengerti. Mengapa dia membawa mobilnya untuk terparkir pada halaman milik seseorang. Yang mulai mematikan lampu, dan dia tahu saatnya untuk kembali dan tetap tidak menerobos masuk ke dalam. "Oh?" Davina tercekat. Memandang pada sosok perempuan yang berdiri kaku di samping mobil mahalnya. Saat mata mereka bertemu, dan Amara bersuara pelan. "Kalian sudah tutup?" "Sebenarnya sudah," balas Davina ragu. "Tapi kalau kau ingin masuk, tak apa. Kami belum sepenuhnya beres-beres," tambahnya lagi dengan senyum cerah. "Aku hanya butuh segelas kopi dingin." Davina mengangguk kaku. Melempar sampah itu sembarangan ke tempat sampah dan bergegas masuk, mendorong pintu kaca itu sampai Amara masuk.  Semua kursi telah tertata rapi. Kafe ini siap tutup. Dan Amara memilih untuk duduk di dekat meja kasir karena hanya satu kursi yang belum terlipat naik. Memilih untuk menunggu dan merenung. Kebiasaan yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. "Kau ingin pesan apa?" "Biasa," singkatnya. Dan Davina menelan ludah. Kenapa dia gugup sekali? Davion baru saja keluar dari ruang pribadi. Mengganti kemeja dengan kaos polos biasa. Ketika matanya menangkap sosok lain yang duduk membelakangi, menatap datar pada pemandangan sekitar kafe yang sepi dan separuh gelap. "Bagaimana bisa dia ada di sini?" Davina menggeleng. Tidak mau menjelaskan dan malah meminta Davion mendekat, membuatkan kopi untuknya ketika Davina pergi. Memilih untuk membersihkan dapur dibanding melayani pembeli setia mereka. Davion menghela napas. Meraih gelas secara acak dari rak, menuangkan sesuatu dari dispenser dan menambahkan beberapa es batu yang tersisa. Memberikannya pada meja yang diisi si pengunjung tetap yang datang di malam hari. Saat mereka telah bersiap-siap untuk tutup dan beristirahat. Kepala itu mendongak. Amara melihat tampilan biasa dari seorang pemilik kafe yang balas menatap matanya datar. "Aku ingin kopi," koreksinya. Ketika melirik segelas air putih bersama beberapa es batu yang mengambang di permukaan. "Kau tidak lihat? Kami sudah tutup. Semua sudah dikemasi. Kau bisa datang besok atau lain hari untuk mendapatkan kopi." Bibir itu menipis. Ketika dorongan gelas itu semakin membuat fokusnya pecah. "Tidak baik menyesap kafein teru-menerus. Kau terkadang perlu air putih." Amara menoleh untuk sekadar memastikan bahwa pendengarannya tidak salah. "Kau menegurku?" "Hanya memberi nasihat," pungkasnya datar. Amara mendengus dingin. Merapikan anak rambutnya yang lepas dari ikatan. Melirik pada si empunya datar. "Kau tidak perlu khawatir. Untuk satu ini gratis. Aku tidak akan meminta bayaran." Davina baru saja beranjak dari dapur. Menatap ketegangan yang terjadi di antara Davion dan gadis itu, tanpa sadar berhasil membuatnya cemas. "Aku sedang butuh kafein, bukan segelas air dingin," ucapnya datar dan Davion sama sekali tidak bergeming. "Kau bisa pergi ke tempat lain kalau begitu." Sambutan itu tidak berarti bagus. Amara menatapnya dengan pandangan sinis sebelum dia bangun. Memandang pantulan lampu ruangan pada permukaan gelas air yang tenang. "Baik. Maaf bila aku mengganggu waktumu." Amara mengangguk sopan. Menoleh untuk memandang Davina yang mencelos dengan raut datar. Sebelum dia meremas tasnya sendiri dan berjalan pergi. Mendorong pintu kaca itu terbuka dengan mata Davion mengikuti. Davina mendekat dengan raut tak percaya. Balas memandang Davion tajam. Saat manik pekat pria itu bergulir. Memandang datar pada isi gelas yang masih penuh. Lalu menarik napas panjang. Bahkan saat gadis itu pergi, dia masih bisa mencium aroma parfum manis yang menguar dari pakaiannya. Davion tidak tahu itu aroma alami atau aroma parfum mahal yang Amara kenakan.  Dua-duanya terasa membingungkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN