"Jangan bekerja terlalu keras, Nak! Kamu masih terlalu muda."
Alara tersenyum, menatap penuh cinta wanita yang menjadi malaikat tak bersayap untuknya. Winda, wanita yang mengambil peran sang ayah yang sudah berpulang ke pangkuan Ilahi beberapa tahun silam karena kanker nasofaring.
"Aku gak apa-apa, Ibu. Asal aku masih bisa lihat senyum Ibu, aku merasa baik-baik saja," ucap Alara tulus.
Winda yang sedang menyiapkan makan malam untuk putrinya langsung berhenti sejenak.
"Sedang belajar merayu Ibu, ya?" gurau Winda. Padahal dalam lubuk hati wanita paruh baya itu, ia sangat tersentuh dengan kasih sayang putri satu-satunya itu.
"Ah, Ibu! Gak bisa banget nerima sikap manis anaknya!" protes Alara.
Winda terkekeh geli seraya melambaikan tangannya pada Alara, memintanya segera ke ruang makan.
"Kenapa sampai telat makan, Nak? Kalau kamu begitu lagi, Ibu gak mau kamu kerja lagi!"
"Ibu!"
"Kamu harus selalu sehat, Nak! Ibu gak akan bisa memaafkan diri Ibu sendiri kalau lihat kamu sakit!" ucap Winda tegas.
"Iya, Ibu. Maafkan aku," lirih Alara.
"Sekarang kamu makan, ya! Ibu mau tidur duluan."
"Iya, Ibu!"
Setelah makan malam, Alara mencuci piring. Ia tak ingin membebani sang ibu dengan tumpukan piring kotor esok pagi. Setelah ia mencuci piring, ia segera ke kamarnya. Ia ingin mandi dan segera beristirahat.
Setelah membersihkan dirinya, ia merebahkan tubuhnya di ranjang. Seperti biasanya, ia membuka aplikasi i********:. Sesekali ia membalas komentar yang ada di beberapa foto yang ia post. Tiba-tiba ia mengernyit saat melihat notifikasi yang baru saja masuk.
"Dari mana dia tahu akun i********:-ku?"
***
Selim merebahkan tubuhnya di atas ranjang king size miliknya. Ia begitu lelah karena harus berkendara jarak jauh. Matanya terpejam, mengingat bagaimana aktivitas yang ia lalui hari ini. Seketika bayangan wajah Alara hadir kembali. Sejak ia bertemu pertama kali dengan gadis itu, ia tak pernah berhenti memikirkannya. Wajah cantik tanpa polesan apa pun serta tatapan tajamnya menjadi ciri khas salah satu mahasiswinya itu. Untuk pertama kalinya, ada wanita yang enggan menatapnya lebih lama.
Ia bangun dari ranjangnya lalu mengusap kasar wajahnya.
"Lama-lama aku bisa gila* karena dia!" gerutunya.
Ia pun mengambil handuknya lalu masuk ke kamar mandi. Ia butuh air dingin agar tubuh dan pikirannya kembali segar.
Selim memejamkan mata seraya menikmati guyuran air dari shower. Tubuhnya kembali segar setelah ia berurusan dengan dua wanita hari ini setelah ia selesai mengajar. Pria itu memiliki banyak teman kencan. Hanya sekadar teman untuk melepas penat, bukan sebagai kekasihnya. Baginya, jatuh cinta hanya akan menjadi hal merepotkan.
Sudah berulang kali kedua orang tuanya meminta dirinya berhenti bermain-main. Mereka memintanya menjalin hubungan serius dengan satu wanita yang akan ia jadikan istri dan ibu untuk anak-anaknya. Namun, Selim memilih berpura-pura tuli. Ia masih belum ingin berkomitmen. Bukan karena ia tak ingin menikah, akan tetapi ia masih membutuhkan waktu lebih lama untuk bersenang-senang sampai ia benar-benar menemukan wanita yang tak akan membuatnya menoleh ke wanita lainnya.
Setelah mandi, ia mengambil setelan piyama berbahan satin warna abu tua dari lemari beserta pakaian dalamnya, kemudian ia memakainya. Setelah berpakaian, ia berbaring sambil membuka akun media sosialnya. Tiba-tiba ia tersenyum sambil mengetikkan nama seseorang di kolom pencarian. Begitu ketemu, ia langsung melihat isi akun orang itu lalu menekan tombol "Follow".
Setelah puas bermain ponsel, ia mengaktifkan mode pesawat lalu mengisi daya ponselnya di atas nakas samping tempat tidurnya. Ia pun memejamkan mata dengan seulas senyum di wajahnya.
***
"Lara, habis kuliah nanti mau ke mana?" tanya Vino.
"Langsung pulang sih. Aku gak bisa ninggalin Ibu sendirian terlalu lama," jawab Alara.
"Yah, padahal mau ajak kamu jalan," ujar Vino.
Alara menghela napas lalu melirik Vino yang masih memasang raut memelas.
"Kalau kamu mau ajak jalan orang, cari pacar sana! Aku mah bukan orang yang bisa diajak jalan. Aku bukan orang yang bisa diajak senang-senang. Karena pikiranku hanya satu, gimana caranya aku bisa bikin ibuku bahagia, Vin," terang Alara.
"Lara, kenapa kamu bilang gitu sih? Aku nyaman berteman sama kamu. Aku gak lihat statusmu mau pun keluargamu. Bagiku, kamu beda. Gak seperti mereka yang mendekatiku hanya karena aku lahir dari keluarga dokter."
Alara tersenyum seraya mencubit pipi kanan Vino. "Iya, aku percaya. Cuma aku gak enak sama kamu."
"Santai aja, Lara! Lain kali aja kalau begitu. Sekalian aku minta izin sama ibu kamu sebelum bawa anak gadisnya ini," pungkas Vino sembari mengacak gemas rambut Alara.
Selim yang berjalan melewati lorong lantai tiga gedung fakultas berhenti sejenak karena mendengar suara Alara. Dari jarak sekitar dua meter, ia melihat Alara yang tertawa lepas bersama Vino. Cukup lama ia memperhatikan gadis itu hingga ia tersentak kaget saat salah satu mahasiswanya menepuk pelan pundaknya.
"Maaf, Pak. Teman-teman sudah menunggu di kelas," ucap mahasiswa itu.
"Ah, iya!" sahut Selim.
Sebelum ia masuk ke dalam kelas, ia kembali menoleh ke arah Alara dan Vino. Tatapan tajam dan kedua telapak tangannya terkepal kuat. Beberapa kali ia menghela napas sebelum ia menghadapi mahasiswa semester lima.
***
Alara menghela napas kasar sembari menatap nanar ban motornya yang kempes di bagian depan. Ia ingin meminta pertolongan Vino, tetapi sahabatnya itu sudah pulang sepuluh menit yang lalu. Ia ingin mendorong motornya keluar menuju bengkel yang terletak di depan gerbang kampus, akan tetapi jaraknya cukup jauh. Namun, ia memilih opsi tersebut daripada ia semakin terlambat tiba di rumahnya.
"Tinggalkan saja motormu di sini! Saya yang antar kamu pulang!"
Alara berbalik. Ia menatap datar Selim yang bersandar di pintu mobilnya. Kemeja hitam lengan panjang yang tergulung hingga ke siku serta celana kain dengan warna senada membuatnya terlihat memukau di mata para gadis, termasuk dirinya.
"Terima kasih atas bantuannya, Pak. Hanya saja, saya masih bisa mendorong motor saya keluar. Saya tidak ingin merepotkan Anda."
"Tahu dari mana kalau saya merasa direpotkan? Sebentar lagi azan Magrib dan kamu masih di sini, Lara? Tenang saja, satpam kampus digaji untuk menjaga keamanan barang berharga yang ditinggal di sini. Kamu tenang saja!"
Alara masih diam di posisinya.
"Apakah perlu saya yang membukakan pintu untukmu? Maaf, tapi kamu bukan kekasihku!"
Alara mengembuskan napas kasar. Dengan mengentak kakinya karena kesal, ia masuk ke dalam mobil Selim. Rupanya Tuhan masih menakdirkan dirinya kembali berurusan dengan dosen arogan yang sayangnya berwajah tampan itu.
Tanpa Alara tahu, Selim tersenyum tipis saat ia melihat raut wajah kesal itu.
Selim pun juga tak tahu, sedari tadi Alara terus mengumpat dalam hati karena tingkah laku Selim yang menurutnya di luar nalar. Bagaimana bisa ada seorang dosen mau meluangkan waktunya mengantar pulang seorang mahasiswi biasa seperti dirinya?