"Apa yang kamu lihat di luar?"
"Melihat hujan di jelang Magrib, Pak," sahut Alara.
"Untung saja kamu diantar saya. Kalau tidak, kamu sudah basah kuyup naik motor."
"Setidaknya saya nyaman naik motor karena saya tidak perlu merepotkan Anda, Pak. Lagi pula, saya punya mantel kok."
"Tetap saja kamu akan basah kuyup dan kamu bisa sakit karena kehujanan."
"Mohon maaf, Pak. Saya ingin bertanya pada Anda. Boleh?"
Selim menjawab dengan gumaman.
"Apakah Anda selalu bersikap seperti ini pada mahasiswa Anda? Ah, tidak. Mungkin mahasiswi lebih tepatnya," tanya Alara. Gadis itu tersenyum miring saat ia menoleh ke samping kanannya.
Skak mat!
"Kenapa kamu bertanya begitu?" tanya Selim balik.
"Ada dua alasan saya mengapa saya bertanya seperti itu pada Anda. Pertama, saya bukan kekasih Anda sesuai dengan pernyataan Anda tadi di parkiran. Kedua, saya tidak ingin membuat para mahasiswi penggemar Anda sampai patah hati," terang Alara.
Selim tertawa terbahak-bahak. Sesekali ia menoleh ke arah Alara yang mendengus kesal karenanya.
"Bukan salah saya kalau saya terlahir tampan. Darah Turki dari kedua orang tua saya ternyata membawa keberuntungan dalam hidup saya," celetuk Selim.
Alara terlihat enggan menanggapi ucapan dosennya itu dan memilih kembali menengok jalan raya yang semakin padat. Satu poin penting yang harus ia simpan dalam pikirannya bahwa Selim adalah dosen arogan yang mempunyai stok kepercayaan diri yang sangat banyak.
"Apakah kemacetan jalan raya lebih menarik daripada wajah rupawan saya?" tanya Selim dengan mata fokus ke jalan raya.
"Iya," jawab Alara datar.
Selim mendelik tajam. "Bagaimana bisa kamu bilang begitu?"
"Apakah Anda berharap saya menjawab seperti seorang gadis yang begitu memuja pangeran tampan?" ujar Alara.
Selim dibuat tak berkutik untuk kedua kalinya.
"Sial! Dia kelihatan polos, tapi mulutnya tajam banget!"
Suasana hening kembali. Alara sibuk membalas pesan Vino. Sesekali ia tersenyum karena isi pesan sahabatnya yang lucu.
"Rumahmu di mana?" tanya Selim. Pertanyaan untuk mengalihkan perhatian Alara dari ponselnya.
"Masih lurus. Nanti di lorong ketiga sebelah kanan kita masuk ke sana. Rumah saya di pinggir jalan sebelah kiri," jawab Alara.
Selim mengangguk pelan. Benar-benar pertanyaan bodoh. Apa yang akan terjadi bila Alara tahu Selim pernah membuntutinya? Mungkin saja Alara akan marah karena ia merasa terganggu. Pria itu pun tak habis pikir dengan tingkah lakunya akhir-akhir ini.
Dua puluh menit kemudian, mobil Selim sudah sampai di depan rumah Alara.
"Terima kasih, Pak. Lain kali Anda tidak perlu repot-repot mengantar saya lagi," ucap Alara.
Selim tertegun dengan pernyataan gadis itu. Saat para wanita berlomba-lomba ingin berada di posisi Alara, gadis itu malah bertindak sebaliknya.
"Hmm ... sama-sama!" sahut Selim.
Saat Alara hendak membuka pagar, tangan kanannya dicekal oleh pria itu.
"Tak ingin menawari saya kopi?" tanya Selim.
Alara mendengus kesal. "Asal Anda tahu, Pak. Yang tinggal di rumah ini adalah dua orang wanita. Waktu Magrib juga hampir habis. Jadi, saya mohon maaf karena tidak mengizinkan Anda mampir," jelas Alara.
Selim menghela napas kasar. "Baiklah. Saya pulang dulu. Assalamu 'alaikum!"
"Wa 'alaikumussalam," balas Alara, lirih.
***
"Mana motormu, Nak? Kenapa gak ada di luar?" tanya Winda.
"Aku tinggal di kampus, Bu. Bannya kempes," jawab Alara.
"Jadi, kamu diantar siapa?" tanya Winda lagi.
"Dosenku," jawab Alara.
"Hah? Dosenmu mengantarmu pulang? Kamu gak bareng Vino?"
"Vino pulang duluan, Bu. Gak enak kalau minta dia balik lagi cuma buat numpang."
Winda tersenyum penuh arti pada putrinya. "Kamu dan Vino gak pacaran?"
Alara tersedak udang goreng yang sudah dicocol sambal bawang.
"Ah, Ibu! Pedas banget!" pekik Alara.
Winda tertawa, akan tetapi tangannya mengambilkan segelas air putih untuk anaknya. Alara menerimanya dan segera meneguk pelan isinya.
"Berlebihan sekali kamu, Lara," ejek Winda.
"Pertanyaan Ibu tuh yang aneh!" balas Alara. "Lagi pula, aku sama Vino cuma berteman. Aku mah sadar diri, Bu. Jalan bareng dia aja bikin mahasiswa satu fakultas pada bisik-bisik. Gimana kalau sampai jadian!"
"Jangan minder, Nak! Toh Ibu lihat Vino tulus berteman sama kamu. Gimana kalau sampai jadi mantu Ibu."
"Udahlah, Bu. Aku gak berani berkhayal terlalu tinggi."
Winda menggeleng pelan. "Suatu saat nanti, kamu harus mengejar kembali kebahagiaanmu sendiri, Nak. Jangan hanya Ibu terus yang kamu pikirkan!"
"Aku tahu caranya menjalani semua ini, Bu. Aku cuma mau lihat Ibu selalu sehat. Jadi, saat aku butuh pelukan Ibu, aku masih bisa merasakannya karena Ibu masih di sisiku."
Winda meletakkan piring kotor lalu mencuci tangannya. Ia usap rambut Alara dengan tangannya yang masih basah.
"Anak Ibu ini udah tumbuh besar, ya. Kalau Ayah masih ada, beliau pasti bangga lihat anak cantiknya ini semakin berbakti pada orang tuanya," ucap Winda dengan mata berkaca-kaca.
"Ibu adalah pintu surgaku yang tersisa. Kalau aku gak bisa dapat ridanya Ibu, berarti aku gagal dapat surgaNya."
Alara memeluk tubuh Winda yang semakin hari semakin kurus karena diabetes yang wanita itu derita.
"Aku gak peduli bila akhirnya aku gak bisa hidup bahagia dengan seseorang. Asal Ibu masih di sampingku, aku bahagia," ucap Alara dalam hati.
***
"Alara!" Vino berteriak saat ia melihat Alara turun dari motor seorang tukang ojek online. Setelah gadis itu membayar ongkosnya, ia melangkah mendekati Vino yang juga berjalan mendekatinya dengan tatapan tajamnya.
"Kenapa kamu gak bilang kalau ban motor kamu kempes?" tanya Vino.
"Aku gak enak, Vin. Kamu udah terlalu jauh buat balik lagi," jawab Alara.
"Gak masalah bagiku, Lara! Aku itu khawatir kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu!"
"Maaf," cicit Alara.
Vino menghela napasnya. Ia mengusap lengan Alara yang tertutup kemeja lengan panjang berwarna pink bermotif polkadot hitam. Rambut gadis itu dibiarkan tergerai menutupi punggungnya.
"Lain kali jangan kayak gini lagi, Lara!" ucap Vino, lirih.
Alara mengangguk lalu kembali menunduk.
"Jadi, yang antar kamu pulang siapa?" tanya Vino.
"Pak Selim," jawab Alara.
"A-apa? Gimana bisa Pak Selim yang antar kamu pulang?"
Alara mengedikkan bahunya. "Entahlah. Perintahnya kemarin gak bisa dibantah soalnya."
"Sebenarnya apa yang Pak Selim inginkan dari Alara? Jangan sampai Alara dijadikan mainan sama dosen arogan lagi playboy itu!" ucap Vino, membatin.
"Ayo, masuk kelas! Sebentar lagi jamnya Pak Selim." Vino merangkul pundak gadis itu seraya berjalan menuju kelas mereka di lantai empat.
Selim yang baru saja tiba di parkiran gedung fakultas Sains terkejut melihat Alara dirangkul Vino. Kedua tangannya meremas kuat setir mobil.
"Perasaan sialan ini kenapa muncul lagi setiap melihat gadis itu dirangkul laki-laki lain? Benar-benar memuakkan!"