Diana P.O.V
Siang ini, mobil ku sudah terparkir di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Aku harus membela seorang terdakwa dengan tuduhan penggelapan uang bernama Miko.
Tadi pagi, Jasmine sudah ku titipkan dengan seorang babysister yang dipekerjakan oleh daddy. Namanya, Mbok Jum. Akupun bisa tenang meninggalkan Jasmine di flat.
Bayi yang sudah bersama denganku selama tiga hari itu memang begitu menggemaskan. Bahkan sudah sering kali aku menahan gemas mau menggigit pipi nya yang makin hari semakin gembul.
"Mbak, ini jubah nya. Kata Pak Nas, lain kali jangan ketinggalan." ujar Adi yang baru mengantarkan ku jubah advokat untuk ku kenakan. Tadi jubah itu tertinggal diruangan ku.
"Maaf deh, lagian tadi itu kita juga buru-buru. Oh iya, masih ada waktu.. kalau kamu mau makan dulu bisa kok." ujarku. "Enggak deh, masih kenyang rasanya." tolak Adi.
"Yaudah, saya mau kesana dulu. Kayaknya mereka ada jual gorengan yang enak." ujarku sembari melangkah ke dalam kantin lalu membeli beberapa gorengan lalu memakannya sambil duduk di salah satu kursi makan bersama Adi.
"Nona Diana!"
Mataku mencari-cari siapakah yang memanggilku tadi dan saat melihat ke pintu kantin, senyum ku terbit.
"Tuan Bramasta, senang bertemu dengan anda disini." sapa ku kembali saat melihat lawan bicara ku ini mendekat.
"Saya pun senang kembali bertemu dengan anda. Apa kabar? Aku dengar kamu sudah memiliki anak saat ini, apa itu benar?" tanyanya yang ku jawab anggukan.
"Benar, tuan. Saya mengadopsi seorang putri karna ya seperti yang anda tau kalau saya tinggal sendirian jadi saya rasa dengan adanya seorang anak, saya bisa memiliki teman." jawabku dengan santai.
"Lalu ayahnya?" tanyanya lagi yang membuatku terdiam. "Saya belum berniat mencarikan ayah untuknya. Toh saat ini, kami berdua cukup bahagia." jawabku dengan tenang.
"Jika perlu bantuan, katakan padaku. Aku masih tidak keberatan untuk menjadi suamimu!" bisiknya yang membuatku menatapnya dengan senyuman canggung. Akupun menganggukan kepala.
Ting Tong!
"Kepada para pihak dari persidangan dengan nomor perkara 2**/Pid.B/2024/PN JKT TIM dengan nama terdakwa Miko dan pihak pendakwa The Crown Property. Kepada para pihak yang terlibat, bisa segera memasuki ruangan Moeljono."
Mendengar panggilan dari pihak informasi, aku mulai membereskan bekas makan ku ini.
"Tuan Bramasta, saya akan segera memasuki ruang sidang sekarang. Senang bertemu dengan anda!" pamitku dengan senyuman kecil.
"Senang bertemu dengan anda juga, My Killer Lady!" sahutnya kembali.
Aku beranjak menuju ke ruangan sidang sambil memakai jubah dan collar putih khas seorang advokat.
"Lihat! Astaga, kalau tau ada pengacara perempuan yang secantik ini, gw ga nyesel tiap hari kesini!"
"Cantiknya calon istri gw!"
"Dia bukannya Nona Diana, influencer yang juga pengacara kan? Wah! Beruntung juga ketemu dia disini."
"Nona Diana, bisakah kita berfoto sebentar?" tanya salah satu pengunjung disini. Aku tersenyum dan mengangguk, "Cepatlah.. aku akan menjalani persidangan sekarang." pintaku.
Kami berselfie beberapa kali lalu setelah itu akupun bergegas dengan langkah lebar menuju ke ruangan dan didepan pintu, aku melihat seorang laki-laki dengan mata nya yang tajam menatapku, penampilannya menunjukan kalau dia bukanlah orang sembarangan dan sepertinya berusaha mendominasi namun aku tidak akan membiarkannya.
"Mbak, apa itu lawan kita?" tanya Adi yang ku jawab dengan menaikan bahuku.
"Udah, ga usah diperhatiin. Masuk aja, ayo!" ajak ku dengan santai.
Kami masuk kedalam disusul laki-laki tadi. Dengan cepat kami mengambil posisi dibalik meja Penasehat Hukum.
Ini adalah persidangan kesekian dalam kasus ini yang akan segera dibuka. Namun fokus ku kali ini bukan dengan berkas yang sedang disusun melainkan laki-laki tadi yang masih memperhatikanku.
***
"Interupsi yang mulia! Saudara Jaksa Penuntut Umum memojokan klien saya!"
Ujarku memotong perkataan jaksa yang memang sedari tadi berusaha memojokan klien ku ini.
Persidangan kali ini memang bisa dikatakan cukup rumit karna kami sudah sampai ditahap pembuktian dan pemeriksaan terdakwa dan para saksi.
"Interupsi diterima, saudara jaksa.. hal itu sudah sempat kami tanyakan sebelumnya kepada terdakwa." ujar hakim.
"Baiklah yang mulia, dalam hal ini saya hanya ingin bertanya kenapa saudara terdakwa bisa menggunakan rekening yang sama dengan rekening untuk penggelapan uang itu?" tanya jaksa lawanku yang membuatku tersenyum.
"Yang Mulia, izinkan saya menjawab pertanyaan dari saudara penuntut umum dalam hal ini. Sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh klien kami dimana saudara Lesmana yang saat ini masih berada dalam Daftar Pencarian Orang atau DPO itu menggunakan rekening klien saya dengan alasan rekeningnya yang terblokir. Jadi sudah bisa saya pastikan kalau dalam hal ini, klien saya tidak tahu-menahu mengenai penggelapan yang saat ini mengenai dirinya!" bela ku.
"Tapi bukan berarti dia bebas sepenuhnya, saudari penasehat!" sahut jaksa dihadapanku yang membuatku menghela nafas lelah.
"Saudara terdakwa! Katakan yang sebenarnya sejujurnya!" ujar jaksa dengan nada memaksa yang sukses membuatku terpancing emosi. Dengan menahan emosi, aku menatap klien ku yang menunduk.
"Tidak apa, pak. Anda bisa jawab pertanyaannya.." ujarku dengan tegas.
"Yang mulia, saya sudah katakan berkali-kali. Jika memang diperlukan maka saya tidak akan keberatan untuk bersumpah dibawah kitab suci agar dapat meyakinkan saudara jaksa." jawab klienku dengan lantang. Aku tersenyum mendengar jawabannya.
"Begini saudara terdakwa, anda itu terdakwa jadi tidak ada salahnya bagi saya untuk mempertanyakan suatu hal secara berkali-kali!"
Mendengar seruan dari sang jaksa, akupun tersenyum.
"Saudara jaksa, anda melupakan apa yang tertuang dalam Pasal 166 KUHAP dimana terdakwa dan saksi diberikan kebebasan dalam persidangan. Anda tidak berhak memojokan klien saya karna yang mulia hakim pun tidak boleh melakukannya!" serangku kembali yang membuat jaksa itu terdiam kemudian duduk dengan tatapan tajamnya kepadaku yang menjadi lawannya dipersidangan kali ini namun aku hanya memberikannya senyuman kecil.
"Baiklah, apakah ada yang mau dipertanyakan lagi, saudara jaksa?" tanya hakim. "Sudah cukup, Yang Mulia!" jawab Jaksa yang membuatku tersenyum puas.
"Saudari penasehat hukum, apakah masih ada yang mau ditanyakan?" tanya hakim. "Tidak, yang mulia." jawabku dengan tegas. Hakim mengangguk.
"Baiklah, karna sudah cukup maka persidangan hari ini akan kita tutup. Sidang berikutnya adalah sidang untuk pembacaan tuntutan. Saudara Jaksa berapa lama persiapannya?" tanya hakim ketua.
"Kurang lebih tujuh hari yang mulia." jawab jaksa. "Baik kalau begitu minggu depan, sidang akan dilaksanakan pada hari Rabu, 8 Mei 2024 di ruangan ini dan di jam yang sama dengan agenda pembacaan tuntutan. Sidang ditutup!"
Tok! Tok! Tok!
Ketukan palu terdengar sebanyak tiga kali mengiringi helaan nafas semua orang yang ada didalam ruang sidang dilaksanakan.
Para majelis hakim segera meninggalkan ruangan sidang yang disusul dengan para penonton sidang. Aku menepuk pundak klienku, sebenarnya dari awalpun aku bisa melihat kalau dia hanyalah kambing hitam karna dia terlalu percaya dengan sahabatnya itu.
"Pa Miko, terima kasih karna selama persidangan, anda selalu mengingat nasehat dari saya. Saya pastikan anda tidak akan dihukum terlalu lama dan saya harap anda akan menjaga kesehatan sampai hari kebebasan anda." ujarku dengan tenang. Klien ku ini mengangguk dan tersenyum.
"Terima kasih, Nona Diana!" ujarnya sebelum kembali ke ruang tahanan.
Setelah aku membereskan berkas dan jubah yang ku kenakan, mataku teralihkan fokusnya ke laki-laki yang sedari sidang dimulai memang selalu menatapku.
"Apa ada yang salah, tuan?" tanya ku dengan tenang menatapnya. Dia tersenyum kecil, "Saya, Justin Markham. Anda cukup panggil saya Justin. Senang berkenalan dengan anda!" ujarnya sambil mengulurkan tangan kearahku. Aku segera menyambut uluran tangannya dan kami berjabat tangan.
"Saya Diana." jawabku singkat dengan senyuman kecil.