Bab 1 — Satu Tekanan, Semua Berubah

803 Kata
Langit kelabu menggantung rendah di atas Jakarta, seolah menumpahkan kesedihan yang tak bisa dibendung lagi. Hujan turun tipis, tapi cukup untuk membuat jaket Reyhan basah meresap. Di halte bus yang dingin dan sepi, dia duduk membatu—bukan karena lelah berjalan, tapi karena hidupnya berhenti di titik ini. Tangannya gemetar memegang selembar surat, tinta mulai luntur oleh tetesan hujan. > “Dengan berat hati kami memberitahukan bahwa per tanggal ini, Anda tidak lagi bekerja di perusahaan kami.” Tidak ada salam penutup. Tidak ada terima kasih. Hanya lembaran kematian karier yang mencabik sisa harga dirinya. Pagi ini dia kehilangan pekerjaannya. Siangnya, ia diusir dari kos-kosan. > “Rey, malam ini harus kosong. Aku juga punya tagihan yang harus dibayar.” Kata-kata ibu kos terasa seperti palu godam. Dan sore ini, Vina—satu-satunya yang selama ini menjadi alasannya bertahan—mengirim pesan singkat: > “Kita udahan ya. Aku nggak bisa terus sama orang yang nggak punya masa depan.” Ponselnya nyaris terjatuh dari tangan. Tapi jiwanya sudah lebih dulu patah. Hidup Reyhan runtuh… dalam waktu kurang dari 24 jam. Dan dunia tak peduli. --- Ia bangkit dari kursi halte, melangkah gontai tanpa arah. Sepatunya sobek, satu-satunya celana panjangnya robek di lutut, dan baju kerjanya lusuh seperti bendera perang yang kalah. Mobil-mobil melintas di sampingnya, cepat dan penuh arah, sementara ia berjalan lambat seperti orang yang kehilangan gravitasi. Tak ada tujuan. Tak ada harapan. Langkahnya membawanya menyusuri gang kecil yang bahkan tidak tampak di peta. Lorong itu gelap, basah, dan kosong. Tapi anehnya, justru di situlah ia merasa... ditarik. Seperti ada suara tanpa suara yang memanggil namanya. Di ujung gang, berdiri sebuah toko tua. Tak ada plang. Jendelanya kusam. Lampu remang di dalam menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kehampaan. Toko barang bekas. Reyhan tidak tahu mengapa ia masuk. Kakinya seperti bergerak sendiri. Mungkin karena hujan. Mungkin karena suara sunyi yang terlalu menusuk. Di dalam, aroma debu dan kayu tua menyambutnya. Rak-rak dipenuhi barang-barang aneh — jam rusak, boneka porselen, kamera tua, dan buku-buku berdebu. Tapi yang paling menarik perhatiannya adalah sosok pria tua di balik meja. Diam. Menatap. Tidak berkata sepatah kata pun. Reyhan membuka suara pelan, setengah lirih. > “Maaf... saya cuma mau duduk sebentar. Hari ini... semua hancur.” Tak ada respons. Tapi si pria menggeser sebuah benda kecil ke hadapannya. Sebuah kotak hitam, terbuat dari kayu yang entah dari zaman kapan. Di tengahnya, ada satu tombol merah menyala. > "Kadang, hidup cuma butuh satu keputusan," kata si pria tua akhirnya, suaranya berat dan dalam. "Tapi keputusan itu... selalu punya harga." Reyhan menatapnya, kening berkerut. > “Ini apaan? Mainan?” Pria itu tidak menjawab. Tapi kotak itu mulai bersinar samar. Dari permukaannya, muncul cahaya tipis seperti hologram yang menari-nari di udara: > [SISTEM TERSEDIA. SIAP DIAKTIFKAN.] Reyhan mundur setengah langkah. Matanya menatap layar itu tanpa kedip. Otaknya berusaha menolak apa yang dilihatnya, tapi hati kecilnya... merasa ini bukan hal biasa. Pria tua itu menunduk sedikit, dan berbisik: > “Kalau kau siap mengubah segalanya... tekan tombol itu.” --- Reyhan tertawa pahit. “Apa ini? Game? Tipuan? Saya baru kehilangan pekerjaan, rumah, pacar. Dan sekarang... Anda mau saya percaya pada kotak ajaib?” Pria itu tidak membalas. Hanya menatap. Matanya... kosong tapi dalam. Seolah melihat lebih dari apa yang bisa dipahami manusia biasa. Reyhan memandang kotak itu lagi. Jantungnya berdetak keras. > [SIAP DIAKTIFKAN] Mungkin ini semua gila. Tapi kalau hidup bisa dihancurkan dalam sehari, kenapa tidak bisa diubah juga dalam sehari? Tangannya terangkat pelan. Ragu. Gemetar. > “Apa yang terjadi kalau saya tekan ini?” Pria tua itu menjawab dengan satu kalimat pendek: > “Kau tidak akan pernah jadi orang biasa lagi.” --- Jari Reyhan menyentuh tombol merah itu. Sekejap... dunia berhenti. Tidak ada hujan. Tidak ada suara. Tidak ada waktu. Lalu... > TING! Sinar menyilaukan menyelimuti tubuh Reyhan. Angin melingkar-lingkar di sekitarnya. Suara seperti bisikan ribuan suara menyeruak ke dalam pikirannya: > [SISTEM DIAKTIFKAN] [PENGGUNA BARU: REYHAN NUGRAHA] [SELAMAT DATANG, TUAN R.N.] [HADIAH AWAL AKTIVASI: DIBERIKAN.] Tubuh Reyhan terangkat beberapa sentimeter dari tanah. Di sekelilingnya, muncul panel-panel cahaya transparan, seperti layar komputer mengambang: 1. Hadiah Pertama: PANGGILAN DARAH – 1 Cultivator Bebas. 2. Hadiah Kedua: PIL PELEDAK ENERGI – 1 butir. 3. Hadiah Ketiga: 10.000 Batu Roh Kelas Rendah. Matanya membelalak. > "Apa ini... mimpi?" > [INI NYATA.] Tiba-tiba, cahaya menghilang. Reyhan terhempas kembali ke lantai toko. Nafasnya berat. Tubuhnya panas. Dunia terasa berbeda. Lebih tajam. Lebih... hidup. Pria tua itu sudah tak ada. Ruangan kosong. Toko menghilang—ia berdiri di tengah gang sempit yang sama, tapi toko itu lenyap seolah tak pernah ada. Di tangannya... kotak itu masih ada. Tapi kini sudah retak dan tak bernyawa. --- Reyhan menatap langit. Hujan berhenti. Tapi dadanya penuh badai. Hidupnya baru saja berubah. Tapi ia tahu satu hal pasti: Setiap hadiah... pasti ada harga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN