d**a Reyhan masih naik turun saat ia kembali ke kosnya malam itu. Misi kedua telah selesai. Tapi tidak ada rasa lega — hanya satu perasaan: kecemasan.
> “Di Cermin Ketiga... kau akan berhadapan dengan seseorang yang mencintaimu — dan menginginkanmu mati.”
Kata-kata sistem itu berputar-putar di pikirannya. Siapa? Siapa yang cukup dekat untuk mencintainya... dan cukup gelap untuk membencinya sampai sebegitunya?
Ibunya? Tidak mungkin. Ayah tirinya? Itu bukan cinta. Teman? Tapi Reyhan nyaris tak punya teman yang benar-benar dekat.
Atau...
“Tidak...” Reyhan menggeleng cepat. Tapi pikirannya tetap tertuju pada satu nama: Nadira.
Gadis yang dulu pernah ia sukai diam-diam selama tiga tahun. Mereka pernah dekat — tertawa bersama, saling curhat soal luka keluarga, mimpi-mimpi kecil. Tapi semuanya berakhir saat Reyhan miskin dan dituduh mencuri di kelas. Nadira menjauh. Bahkan tak mau menatapnya waktu ia dipermalukan.
Setelah sistem masuk ke hidupnya, Reyhan sempat mencari tahu kabar Nadira. Sekarang dia jadi konten kreator kecil, hidup terlihat normal — tapi tatapannya di video... kosong.
Sistem tak memberitahu lokasi kali ini. Hanya satu clue:
> “Dia yang menutup pintu, kini diam-diam mengintip dari balik celah. Temuilah dia sebelum malam menutup segalanya.”
Dan tiba-tiba, HP Reyhan berbunyi.
Nomor tak dikenal. Tapi ia tahu siapa.
“Hallo?” Reyhan angkat.
“Hai... Ini Nadira. Aku nggak tahu kenapa, tapi... aku mimpi kamu datang... dan aku ngerasa harus nelepon.”
Suaranya lirih. Patah.
Reyhan menahan napas. Ini bukan kebetulan. Sistem sudah membuka jalan.
---
Mereka bertemu di taman kecil dekat stasiun. Tempat yang pernah jadi saksi obrolan panjang mereka dulu — sebelum semuanya rusak.
Nadira masih sama. Cantik, tapi lelah. Matanya menyimpan cerita yang tidak sempat dituliskan.
“Maaf kalau tiba-tiba... Aku cuma ngerasa kamu harus tahu sesuatu,” kata Nadira setelah mereka duduk.
“Aku juga merasa begitu,” jawab Reyhan pelan. Mereka saling tatap — dan Inner Echo langsung aktif.
> “Kenapa kamu muncul lagi... setelah aku hampir bisa melupakanmu? Aku benci kamu. Tapi kenapa hatiku masih sakit waktu lihat kamu?”
Reyhan tersentak. Kata-kata itu tak pernah diucap, tapi ia mendengarnya. Suara Nadira... begitu penuh luka.
“Aku nggak datang buat minta maaf,” kata Reyhan. “Aku datang karena... aku harus tahu. Kenapa kamu diam waktu aku dituduh?”
Nadira menunduk. Jemarinya gemetar. Lalu perlahan berkata:
“Karena aku takut. Waktu itu aku tahu kamu nggak nyuri. Tapi kalau aku bela kamu, aku pasti di-bully juga. Jadi aku diem. Dan aku benci diriku sendiri sejak saat itu.”
Air mata mengalir di pipinya. Tapi yang membuat Reyhan terdiam bukan itu — melainkan suara yang muncul bersamaan dari Inner Echo:
> “Andai waktu itu kamu mati, mungkin aku gak harus hidup dengan rasa bersalah segila ini. Aku cinta kamu... tapi aku juga benci kamu karena bikin aku pengecut.”
Dunia sekitar Reyhan bergeser. Cahaya taman jadi redup, angin berhenti. Sistem berbisik di kepalanya:
> “Cermin Ketiga terbuka. Bertahan... atau hancur bersama.”
Tiba-tiba Nadira berdiri. Matanya kosong. Suaranya berubah datar.
“Kadang... aku bermimpi membunuhmu. Biar rasa bersalah ini ikut mati.”
Reyhan bangkit. “Nadira… itu bukan kamu yang sekarang bicara. Itu luka yang bicara.”
“Dan luka itu hidup dalam aku, Reyhan! Kamu nggak tahu rasanya jadi pengecut. Setiap kali aku lihat bayanganmu… aku ingin kamu lenyap!”
Reyhan menatapnya dalam. Inner Echo kini menyatu dengan Empath Sync. Ia merasakan amarahnya... dan di balik itu: ketakutan. Kesepian. Penyesalan.
Ia mendekat. “Kalau kamu mau aku lenyap, aku nggak akan melawan. Tapi sebelum itu, tolong... peluk aku.”
Nadira menegang. Bibirnya bergetar. Tapi pelan-pelan, ia jatuh ke pelukan Reyhan — menangis seperti anak kecil. Tubuhnya gemetar hebat. Dan semua suara kebencian itu... menghilang.
---
Sistem berbunyi:
> ✅ Cermin Ketiga diselesaikan.
✨ Hadiah: “Truth Pulse” — Mampu memicu seseorang mengungkapkan perasaan terpendam hanya dengan sentuhan.
📌 Catatan: Emosi bisa jadi senjata… atau penyembuh.
Tapi kali ini, tak ada pesan tambahan soal Cermin Keempat. Hanya satu baris:
> “Kini kau tahu... cinta pun bisa membunuh. Tapi cinta juga bisa menyelamatkan.”