Pagi menyambut dengan sinar yang tampak lebih terang dari biasanya, tapi bagi Reyhan, hari ini terasa jauh lebih gelap. Semalam bukan sekadar mimpi. Apa yang dia lihat, yang dia dengar, yang dia rasakan — semua terlalu nyata untuk disangkal.
Notifikasi sistem masih tertempel di layar ponselnya:
> “Dimensi Cermin terbuka. Fase berikutnya akan dimulai saat kau siap.”
Reyhan menatap layar itu lama, seperti menunggu jawaban atau setidaknya... penyangkalan.
Tapi yang muncul justru sebuah ikon baru: "Misi Khusus - Cermin Pertama."
Dengan tangan gemetar, Reyhan menyentuhnya. Layar berubah, menampilkan deskripsi singkat:
> "Temui orang yang mencerminkan kelemahan terbesarmu. Lokasi: SMA tempat kau dulu ditolak mentah-mentah."
Matanya melebar. Sekolah itu… tempat di mana semuanya dulu berantakan. Cinta pertama yang menghancurkan harga dirinya. Teman-teman yang meninggalkannya. Guru yang tak pernah percaya padanya.
"Kenapa harus ke sana?" desisnya.
Sistem tak menjawab, tapi Reyhan tahu — ini bukan soal keinginan, ini soal keharusan. Mungkin, inilah ‘fase berikutnya’ yang dimaksud. Dan dia belum siap... tapi apakah ia punya pilihan?
---
Satu jam kemudian, Reyhan sudah berdiri di depan gerbang sekolah lamanya. Bangunannya masih sama: tua, sedikit kusam, tapi penuh kenangan yang tidak ingin ia kenang. Anehnya, tempat itu tampak sepi — terlalu sepi.
Saat Reyhan melangkah masuk, dunia seperti melambat. Suara langkah kakinya menggema keras di lorong. Ia berjalan melewati ruang kelas yang kosong, papan tulis penuh coretan samar, dan deretan bangku usang. Lalu, ia melihatnya.
Seseorang duduk di bangku paling belakang.
Seperti menunggunya.
Dari belakang, sosok itu mengenakan seragam sekolah, rambut acak-acakan, tubuh kurus. Reyhan mendekat, jantungnya berdetak makin cepat. Saat sosok itu menoleh…
Ia melihat wajahnya sendiri.
Tapi lebih muda. Lebih kurus. Lebih... hancur.
“Jadi ini aku?” gumam Reyhan.
Versi muda itu menatapnya tajam, mata penuh luka. “Kau pikir semua ini tentang uang dan sistem, Reyhan? Kau kira kekuatan bisa menghapus rasa sakit?”
Reyhan membeku. “Aku... aku hanya ingin hidup lebih baik.”
“Dan kau pikir dengan membungkam suara masa lalu, semuanya akan sembuh?” Versi mudanya berdiri. “Kau lari dari semua ini. Dari luka-lukamu. Dari aku.”
Dunia di sekeliling mulai bergelombang. Dinding sekolah menjadi transparan, memperlihatkan bayangan-bayangan masa lalu: saat Reyhan dipermalukan di depan kelas, saat dia menangis sendirian di tangga belakang sekolah, saat seseorang berkata padanya: "Kamu itu cuma pengganggu, Reyhan. Gak akan jadi siapa-siapa."
“Berapa banyak dirimu yang kau kubur agar bisa jadi ‘kaya dalam sehari’?” tanya versi muda itu.
Reyhan terdiam. Semua kesuksesan yang ia peroleh dalam waktu singkat — saldo yang terus bertambah, barang-barang mahal, kekaguman orang-orang — ternyata hanya menutupi luka-luka lama yang belum benar-benar ia hadapi.
“Aku... minta maaf,” bisiknya. “Aku pikir dengan kekuatan ini, aku bisa lupakan semua.”
Versi muda Reyhan tersenyum miris. “Kau bisa lupakan. Tapi kau tidak bisa sembuh… sebelum berdamai.”
Seketika, lorong sekolah mulai retak seperti cermin. Cahaya menelan semuanya. Sosok Reyhan muda perlahan menghilang, meninggalkan hanya satu suara:
> “Lain kali… temui aku bukan untuk menghapus, tapi untuk memeluk.”
---
Reyhan membuka mata di kamarnya. Kali ini ia tidak panik. Tidak bingung. Hanya... tenang. Seperti seseorang yang baru selesai berbicara dengan masa lalunya.
Sistem langsung menyambut dengan notifikasi:
> ✅ Misi "Cermin Pertama" diselesaikan.
✨ Hadiah: Skill baru — “Inner Echo”
📎 Deskripsi: Memungkinkan membaca emosi terdalam seseorang hanya dari kontak mata.
Namun di bawah itu, muncul satu baris baru yang membuat Reyhan terdiam lama:
> “Masih ada 6 Cermin lainnya.”