Aku berjalan sedikit limbu keluar dari toilet di sambut oleh Naren dengan sebotol air yang tadi kutinggalkan diatas meja, membuat jantungku mencelos. Tapi aku gak punya tenaga lagi untuk merasa malu atau salah tingka, ku raih air mineral yang dia sodorkan lalu menenggak isinya hingga nyaris habis. Lumayan untuk menghilangkan rasa memuakkan di mulutku.
"Aku belum kasih uangnya" gumamku.
Naren berdecak lalu dengan semena-mena menyampirkan ke bahuku jaket jeans yang tadi terjatuh dalam ketergesaanku ke toilet. "Ayo" ujarnya mendorong punggungku pelan, kembali ke sofa. "Pelan-pelan aja, oke. "
Ku serahkan amplop coklat yang tadi ku terima dari Alin "Hitungin deh kak, kepalaku pusing".
Ku sandarkan tubuhku di sandaran sofa lalu memejamkan mata setelah Naren melaksanakan permintaan ku.
"Sudah kedokter kamu? "
Aku menggeleng, mengunjungi dokter gak termasuk dalam prioritasku saat ini.
"Kesini tadi naik apa? "
Apa dia gak bisa membiarkanku menenangkan diri sebentar saja. Ohh, ya. aku lupa Naren memang sebawel itu. "motor" gumamku enggan membuka mulut dengan benar.
"sendiri? "
"hmm"
"Kok, bisa?!"
Ku paksa membuka mata hanya untuk mendapati ekspresi kesal campur heran di wajahnya. "apa?"
Naren mengembuskan nafas gemas, mendorong amplop tadi ke arahku di atas meja "itu sisa uang mu. Aku antar kamu pulang, mau? "
Aku diam sesaat menimbang keuntungan ataupun kerugian yang akan aku dapat dari tawarannya sambil memandangi muka Naren. Ada dua jenis pria di dunia ini, pertama jenis yang semakin tua ketampanannya semakin berkurang, dan kedua adalah jenis yang ketampananya seperti di pupuk subur seiring bertambah usia. Dan sialnya Naren adalah jenis yang kedua. pendewasaan mempertegas garis wajahnya, sorot mata yang lebih tenang dan dalam serta garis-garis halus di sekitar ujung mata dan kening. Menambah kesan hangat sekeligus seksi.
iya. . seksi.
Sesuatu yang gak pernah muncul dalam perkiraanku tentang dirinya. Seperti saat kau menemukan buku yang dulu sangat kau sukai, sangking terlalu seringnya di baca kau sampai hapal setiap halamannya. Tapi lalu di buat terkejut ternyata ada halaman lain yang luput dari perhatianmu.
"Gi? " panggik Naren memecah lamunanku.
"Oke" gumamku segera menutup kembali mataku. Dalam kondisi semengenaskan apapun mata dan otakku gak akan bisa membiarkan kesempatan menikmati pemandangan bagus lewat begitu saja. Bakat yang ku dapat entah dari siapa.
"Tunggu bentar ya, aku selesain dulu transaksimu".
"hmm"
Dua puluh menit kemudian Naren membangunkanku dengan menepuk pelan bahuku, Aku mengerjapkan mata linglung oleh pemandangan sekitarku yang terasa asing, sebelum kemudian ingatanku kembali berfungsi. "Sorry, aku ketiduran" gumamku mengusap mata yang sebenarnya masih ingin terpejam lebih lama.
"Ga papa, yuk pulang. Sudah mau magrib" ujar Naren, tas ransel hitam sudah tersandang di punggung, tangan terulur bersiap membantuku berdiri. Alisnya terangkat dan ujung bibirnya tertarik membentuk senyum tipis karena yang ku lakukan hanya memandangi tangan itu dengan pikiran kosong.
Sudah lama sekali aku gak mendapatkan perlakuan seperti ini, terakhir kali adalah beberapa minggu setelah aku dan Tora menikah. Aku gak akan memberi kalian kenangan pernikahan ku yang mengerikan itu sekarang, belum waktunya.
"Kamu mau nginap di sini?," senyum Naren berubah jadi cengiran. "Aku sih gak masalah, tapi kayaknya pak Anam yang bakalan keberatan" tambahnya.
Aku mendengus masam tapi gak ayal menyambut tangannya lalu menghela tubuhku berdiri, sedikit limbung karena gerakan mendadak itu justru membuat pemandangan di sekitarku serasa berputar memusingkan.
Gak usah membayangkan tubuhku limbung ke dalam pelukan Naren, itu tak pernah terjadi, karena hidupku gak sehalu itu sayangnya. Naren hanya meminjamiku sebelah tangan yang tadi dia ulurkan, sama sekali gak berusaha menyanggah tubuhku yang limbung dengan tangan satu lagi seperti di drama-drama yang sering ku tonton. Tapi setidaknya dia masih mau menunggu sampai tubuhku terbiasa dan efek keliyengan itu menghilang.
"Kok bisa sih, kamu sampai kemari dalam keadaan begini, bawa motor sendiri pula" komentarnya antara heran dan gemas.
"Salon ku dekat sini kok, gak nyampe lima menit" Gumamku melepaskan tanganku dari genggamannya supaya aku bisa merapikan penampilanku sedikit.
"Pakai jaketnya yang bener,"
Aku menurut saja, biar cepat, memakai jaket jeans yang selama ini hanya tersampir aja di bahuku. Aku kembali di buat diam dalam kebingungan oleh tangan Naren yang kembali terulur, jangan bilang kalau ini bagian dari pendewasaannya, punya hobi ngajak peganganan tangan. Entah berapa kali sudah dia mengulang gestur yang sama dalam waktu gak lebih dari satu jam.
"Ayo, masih mau pulang kan?"
"Aku bisa jalan sendiri kok"
"Tangganya curam, ntar malah jatuh yang ada"
"Baiklah"
Tapi Naren benar, untuk menaiki tangga itu saja sudah sulit bagiku apalagi menuruninya. Padahal aku memakai flat shoes dan tetap saja aku harus berpegangan pada Naren dan pegangan di sisi kanan tangga supaya nggak limbung dan jatuh terguling ke dasar tangga. Aku belum pernah mengalaminya, tapi aku yakin itu bukan cara yang elegant buat mematahkan tulang leher.
Beberapa orang yang masih berada di bagian pelayanan menoleh pada ku dan Naren saat kami melewati ruangan menuju pintu depan yang tertutup rolling door. Mereka menyapa Naren dengan hormat yang di balasnya dengan anggukan.
"Sudah mau pulang, pak? " sapa security yang tadi mengijinkanku masuk. Dia mengangguk sopan padaku. sekilas matanya melirik tangan kami yang masih saling gemggam, atau tepatnya tanganku di genggam erat sampai aku gak kuasa melepaskan diri.
"Iya, mari pak" sahut Naren mengamgguk sopan lalu kembali menarikku menuju halaman tempat beberapa kendaraan terparkir. "yang mana motormu? "
"itu yang pink" aku mengendikkan dagu kearah sepeda motor matic bercat pink-putih dengan logo sailor moon di bagian kiri dan kanannya.
bahu Naren berguncang saat suara kekehan lolos dari balik masker yang dia kenakan. "Masih Nagita Harjono yang sama" ujarnya mengedipkan mata.
"ya. . trus masalah? " dengusku gak suka.
Naren seperti ingin mengatakan sesuatu sayangnya seseorang datang menyela menyerahkan kunci mobil sambil menanyakan motor yang harus dia kendarai. Naren menunjuk motorku lalu meminta kuncinya yang kemudian dia serahkan pada pria setengah baya berkumis tebal yang aku gak tau siapa namanya, karena sepertinya Naren gak menganggap perlu memperkenalkan kami, padahal orang itu akan mengendarai matic ku selama sepuluh menit kedepan.
"itu siapa? " Tanyaku setelah aku dan Naren berada di dalam mobil berwarna dan berhiaskan logo bank tempat di bekerja.
"Sopir kantor" sahut Naren menghidupkan mesin mobil."jadi dimana rumah mu?".
"Enam belas, di lorong pipa. kakak tau kan? "
Naren mengangguk singkat sebelum mengemudikan mobil memasuki jalan raya. Dia gak mengajakku mengobrol sepanjang perjalanan, satu-satunya topik pembicaraan kami adalah arah yang harus di tuju Naren untuk sampai ke rumahku. Aku yakin dia jadi pendiam begini karena kondisiku, dan aku sangat menghargai itu. Karena, pasti banyak sekali yang ingik dia tanyakan.
Naren tetaplah Naren, dia gak pernah secara sengaja membuat orang lain merasa gak nyaman di sekitarnya.
***
"Ini rumahmu? "
Aku mengangguk ikut memandangi rumah mungilku yang nampak hangat dari balik pagar tanaman setinggi pinggang. "ya"
"Persis seperti impianmu"
aku tercenung, gimana dia masih mengingatnya?
Naren memalingkan wajahnya membalas tatapan bingungku, senyum hangat terkembang di wajahnya. "Mau turun sekarang? "