Seperti yang Martin katakan, sampai di gedung komplek pribadi milik keluarga Blake yang mewah dan pengamanan ketat itu Hazel cukup menyebutkan nama lengkapnya dan mereka langsung memberikan jalan masuk untuk Hazel. Bukan hanya itu, mereka bahkan mengantarnya, seolah kedatangannya sudah diprediksi… atau sudah ditunggu.
Begitu pintu dibuka, tampak sosok tampan dengan mata hijau menatap Hazel. Dengan kacamata yang membingkai, dia tampak lebih berwibawa dan berkharisma—dan itu justru menakuti Hazel.
Kemeja putih yang membungkus tubuhnya memperlihatkan pattern tubuh yang indah dan seksi. Itu sangat gila. Semua wanita pasti gila. Sangat berbeda dengan dirinya yang hanya mengenakan kemeja satin, bukan sutra—satin putih, sedikit gerah, dengan aksen tali di leher dipadukan rok lipit selutut. Tampak terlalu tidak seimbang untuk berdiri di hadapan pria sekaliber Diego Blake.
“Kenapa berdiri di situ? Masuk!” perintah Diego.
“Pak Diego, ini draft artikel yang akan kami terbitkan berkaitan dengan film Anda,” ucap Hazel mengulurkan sebuah map kulit imitasi pada Diego. Pria itu tak mengambilnya, hanya menatap dengan sorot mata malas—malas, tapi tajam, seolah sedang mengukur, menilai… mengklaim.
“Susah sekali karyawan Pak Martin ini dikasih tahu,” gumamnya terdengar kesal. Hazel langsung panik—dingin mengalir dari tengkuk sampai jemari.
“Pak Diego, memangnya apa kesalahan yang saya buat? Tolong katakan… Anda bahkan belum membukanya,” tanya Hazel, suaranya turun satu oktaf oleh ketakutan.
Diego bergerak malas, seolah sedang merendahkan udara yang Hazel hirup. “Aku memang menyuruhmu ke sini untuk draft artikel itu tapi apa harus to the point begini?” tanyanya.
“Ma-maksud Anda?” suara Hazel bergetar, meski ia mati-matian menahannya.
“Tidakkah ada basa-basi, Hazel? Selamat malam, apa kabar? Apa kamu seenggan itu bertemu denganku?” nada suara Diego dingin, namun ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang bukan sekadar kesal.
Hazel langsung menggeleng kuat. “Bu-bukan, maafkan saya yang tidak tahu sopan santun. Selamat malam Pak Diego, apa kabar?”
“CK! Ga tulus sekali!” jawabnya tidak suka—matanya mengiris seperti pisau.
Hazel jadi serba salah. Nafasnya tercekik sendiri.
“Pak Diego…”
“Diam! Berikan map itu padaku!” perintahnya. Hazel dengan dua tangan mengulurkan map coklat itu pada Diego. Hanya satu menit sebelum dia mengulurkan kembali pada Hazel dengan satu tangan—gerakan pelan, penuh superioritas.
“Revisi.”
Mata Hazel membulat. ‘Revisi?’ Dia bahkan baru membukanya sudah minta revisi. Tapi Hazel hanya jurnalis kecil yang sedang kena apes saja. Kalau begini, tidak mendapatkan promosi ataupun naik kasta di kantornya tidak masalah. Lebih baik menjadi jurnalis kasta rendah daripada harus meladeni ini.
“Baik, kalau begitu saya pamit. Terima kasih Pak Diego meluangkan waktu,” ucap Hazel pelan, ingin pergi secepatnya.
“Siapa bilang kamu boleh pergi?” tanyanya masih dingin—lebih dingin dari sebelumnya.
“Pak Diego bilang saya harus revisi….”
“Revisi di sini!”
“Di sini?” Hazel bingung. Bagaimana dia harus merevisinya? Diego juga belum mengatakan mana yang akan direvisi. Lagipula dia tidak membawa laptopnya. “Saya tidak membawa laptop.”
“Pakai laptop saya,” ucapnya, menunjuk ke arah meja bar dengan dagunya—gerakan yang penuh rasa memiliki, seolah Hazel adalah bagian dari barang-barang yang dimilikinya.
Hazel tidak bisa langsung setuju. Menurut Hazel, ini sangat tidak adil jika dia langsung minta revisi tanpa membaca sampai selesai terlebih dahulu.
“Pak… saya akan merevisinya, tapi apakah bapak bisa membacanya dulu sampai selesai?”
“Apa itu perintah?” tanyanya, terdengar tidak suka dan terancam—seolah Hazel sedang menantang posisi raja di hadapannya.
“Bu-bukan,.. tentu saja bukan. Saya….”
“Kerjakan sekarang!” potongnya, tajam seperti cambuk.
Dan dengan langkah ragu Hazel berjalan menuju meja bar dan duduk di stool, membuka laptop dan memasukkan USB isi filenya. Rasanya seperti sedang masuk ke kandang singa, bukan tempat kerja.
Dia benar-benar tidak bisa mengerti dengan Diego ini.
Sebenarnya apa maunya?
Tapi Diego tidak menjauh. Bahkan tidak mengalihkan pandangannya. Hazel bisa merasakan tatapan hijau itu menempel di punggungnya—mengamati setiap detiknya, setiap gerakan jarinya, setiap tarikan napasnya.
Seakan-akan revisi bukan inti dari pertemuan ini.
Seakan-akan Diego memanggil Hazel hanya untuk membuatnya merasa dikerjai dan terintimidasi.
“Pak Diego… jadi, mana yang saya harus revisi?” tanya Hazel, memainkan jarinya di atas keyboard. Beberapa detik. Beberapa menit. Hening. Tidak ada jawaban.
Sampai akhirnya Hazel merasakan hembusan udara panas menerpa leher belakangnya. Saat dia hendak memutar kursi yang dia duduki, tangan Diego menahan kursi itu, membuatnya tetap di tempat—tahan, terkunci, tidak boleh menoleh.
Jantung Hazel berdebar keras, seperti ingin melompat keluar dari d**a. Dengan jarak sedekat itu, bahkan tanpa perasaan apa pun pun, siapa pun akan merasakan apa yang Hazel rasakan sekarang—gugup. Terintimidasi. Terperangkap oleh aura d******i Diego yang begitu kuat.
“Kenapa, Hazel? Kamu tampak gugup?” Diego menangkap kegugupan Hazel seperti pemangsa yang menangkap detak jantung mangsanya.
“Mm… tidak, hanya kaget,” jawaban dari bibir Hazel hampir tak terdengar.
“Pak Diego, jadi bagian mana yang harus saya revisi?” tanya Hazel, mencoba menjauhkan tubuhnya dari Diego, walaupun hampir tidak bisa mengingat jarak mereka begitu dekat dan tubuh tinggi Diego seakan melingkupi dirinya dari belakang.
“Kamu bisa bacakan?”
‘Bacakan? Tentu saja bacakan! Kamu bahkan belum membacanya dan seenaknya saja minta revisi.’
“Baik,” ucap Hazel menurut. Bibirnya mulai membacakan semua isi artikel dengan intonasi dan aksen yang jelas—profesional, meski napasnya tercekat-ketakutan.
Jakun Diego naik turun perlahan, matanya tidak lepas dari bibir mungil Hazel yang terus mengeluarkan suara. Tatapan itu bukan sekadar memperhatikan—itu menelan.
Tanpa sadar, entah mendapatkan dorongan dari mana, tangannya terulur ke bibir Hazel dan jempolnya mengusap lembut bibir Hazel—gerakan yang terlalu intim, terlalu personal, terlalu berhak, seolah Hazel adalah sesuatu yang telah ia miliki.
Hazel terkejut dan langsung menyingkirkan tangan Diego dari bibirnya. “Pak Diego, sebaiknya Anda bersikap baik layaknya lelaki terhormat,” ucapnya spontan—suara bergetar bukan karena takut, tapi muak.
Diego tidak menyesali apa yang baru ia perbuat. Tidak ada penyesalan, tidak ada permintaan maaf. Yang ada hanya senyum kecil… senyum yang seperti menikmati rasa tidak nyaman Hazel.
“Apa menyentuh saja bisa menjadikanku lelaki tidak terhormat, Hazel?” tanyanya—nada itu jelas, menggoda, mengancam, dan bermakna: bahkan jika dia berbuat lebih dari sekadar menyentuh, dia akan tetap menganggap dirinya lelaki terhormat.
Wajah Hazel memanas karena marah—bukan lagi sekadar gugup.
Dari awal memang sudah salah. Seharusnya dia menolak datang ke sini.
Dia tahu Diego tidak sungguh-sungguh tentang draft artikel ini, tentang revisinya, karena isinya standar—semua media akan menuliskan hal yang sama.
Tiba-tiba saja, Hazel menjadi sangat benci pada Diego.
Hazel merapikan map dan USB dengan gerakan tegas, ingin pergi sesegera mungkin sebelum penghinaan lain terjadi. Dia berdiri dari stool, menegakkan tubuhnya meski lututnya terasa lemas.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Pak Diego. Saya akan revisi secepatnya dan—”
Tangan Diego bergerak duluan. Bukan menyentuh, hanya mengangkat map itu dengan dua ujung jarinya, seolah benda itu menjijikkan.
“Kulit imitasi,” gumamnya pelan, datar, namun cukup keras untuk menghantam telinga Hazel. “Murahan sekali.”
Hazel membeku. Itu bukan sekadar komentar tentang map—itu komentar tentang dirinya.
“Ini bukan punya saya,” ia mencoba menjaga nada suaranya stabil.
Diego menyibak rambut hitamnya ke belakang dengan gerakan santai. “Oh, aku tahu itu bukan punyamu. Aku sangat yakin kamu tidak punya cukup uang untuk barang seperti ini.”
Kalimat itu seperti belati.
Hazel menelan ludah, matanya berkedip cepat—abu terang, cemas, tersinggung, sakit hati, namun masih mencoba mempertahankan martabat yang belum sepenuhnya hancur.
Diego memiringkan kepalanya sedikit. Tatapan hijau itu mengunci Hazel dari ujung rambut sampai ujung sepatu yang bukan designer.
Dia menikmati reaksi Hazel—menikmati cara bibir Hazel menegang marah tapi ia tetap bertahan tegak. Menikmati cara Hazel ingin membalas tapi tahu posisinya terlalu lemah untuk melawan.
Tak ada yang lebih memuaskan baginya selain melihat ketakutan dan harga diri bercampur jadi satu di mata wanita itu.
“Kamu… sebaiknya belajar memilih properti yang layak kalau mau berurusan denganku lagi,” ucap Diego, suaranya malas namun menusuk. “Aku benci hal murahan.”
Hazel menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai diri. “Saya di sini bekerja, Pak. Saya bukan—”
Diego menyela dengan senyum tipis yang bukan senyum. “Kamu pikir aku tidak tahu kamu bekerja? Kamu pikir kamu ada di sini karena profesionalitasmu?”
Hazel menegang.
Diego berjalan melewatinya, bahunya sengaja menyenggol Hazel, membuat tubuh Hazel bergeser sedikit walaupun Diego sama sekali tidak meminta maaf.
Ia mengambil wine, menuang ke gelas kristal—benar-benar bersantai sementara Hazel tercabik-cabik.
Tanpa menoleh, Diego berbicara lagi. “Kamu terlalu cemas, terlalu kaku… padahal kamu cukup cantik kalau diam.”