Pria Misterius

1302 Kata
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Tanya pria itu dengan tatapan lurus ke netra Hazel yang berwarna hijau setelah melepaskan tangan dan juga kungkungannya. Pria yang menepuk bahu Hazel adalah pria penolong yang Hazel temui sebelumnya. “A-aku … aku tadi dari kamar mandi dan aku ga bisa ketemu jalan kembali ke studio” jawab Hazel, suaranya masih bergetar. “Ini bukan tempat umum, sebaiknya kamu segera kembali” ucap pria itu, suaranya datar namun penuh wibawa. Hazel mengangguk, bagaimana pun juga dia memang melakukan itu tanpa sengaja. Dia masih berdiri dengan tatapan bingung, seperti anak kecil yang tersesat. “Pak…maafkan aku yang bodoh ini, tapi aku memang bingung di mana jalan keluar” ucap Hazel dengan kedua tangan mencengkeram pinggiran dress-nya. Pria itu meneliti Hazel, menilainya dan dari sorot matanya dia bisa melihat tidak ada kebohongan di sana. “Kamu pasti ga merhatiin itu!” ucap pria itu menunjuk ke arah bagian bawah dinding lorong yang menyala dnegan tanda panah dan juga tulisan samar yang menunjukkan arah. Hazel menggigit bibirnya, dia sangat menyesali kebodohannya hari ini. Bisa-bisanya dia tidak melihat petunjuk seperti itu. Rasanya ingin menangis. “Di depan pintu kamar mandi ada tanda seperti itu” tambahnya, membuat Hazel semakin malu. Dia menoleh ke arah pria tampan itu dengan hati-hati dan tidak mau lagi membuat kebodohan. “Apakah kamu bisa mengantarku?” tanyanya mengesampingkan malu dan sopan santun karena dia pikir dia tidak akan bertemu lagi dengan pria ini sebab dia tidak akan menghadiri acara-acara seperti ini lagi. Dia yakin itu. “Hm” pria itu mengangguk setelan menatap Hazel dengan tatapan menilai “Kamu dari media apa? Kamu jurnalis kan?” tanyanya, matanya menyelidik. “Herlinton Daily Buzz” jawab Hazel, suaranya kecil. “Media gossip” gumamnya mencibir. Hazel tidak membela karena apa yang dikatakan pria itu benar. Herlington Daily Buzz memang lebih banyak memberitakan gosip ketimbang kebenaran. Dadanya sesak mendengar ejekan itu. “Aku antar kamu sampai ke studio” ucapnya lagi, lalu mulai berjalan. “AKu mau pulang saja…” ucap Hazel tiba-tiba, membuat pria itu berhenti kemudian menoleh “Kenapa? Masih ada acara party setelah ini” Hazel menggeleng pelan, jelas sekali mata hijaunya mengisyaratkan bahwa dirinya sangat tak layak ada di acara ini. Dia merasa insecure. Sangat tidak pantas. “Aku…tidak suka pesta” ucap Hazel akhirnya, mencari alasan. Pria itu pun mengangguk setuju. Berjalan beberapa menit, tidak jauh dari mereka tadi bertemu Hazel bertemu dengan pintu dengan tulisan “EXIT”. Sebelum mendorong pintu itu, dia berbalik, membungkukkan tubuh dan memberikan hormat kepada pria itu. Dan pria itu layaknya pria terhormat, menyambut dengan anggukan samar. Hazel yakin dia bukan orang dari entertainment. Tapi dia mungkin datang dari keluarga Diego. Pria itu hendak berbalik, Hazel menahannya dengan pertanyaan “Pak…boleh aku tahu namamu?” Pria itu berhenti dna tetap dengan posisinya “untuk apa?” suaranya dingin. “Kamu sudah banyak menolongku, aku ingin mengirimkan bunga sebagai ucapan terima kasih” ucap Hazel tulus. “Gak perlu!” jawabnya singkat. “Namaku Hazel Quinn kalau Bapak butuh bantuanku, jangan ragu untuk menghubungiku sebagai balas budi”Ucap Hazel mengiringi kepergian pria itu, berusaha menunjukkan rasa terima kasihnya. Tapi, tentu saja pria itu tidak tertarik dengan ucapan terima kasih darinya yang seorang wartawan rendahan. Pria itu tersenyum tipis dan Hazel mendorong pintu keluar perlahan menyusuri hall menuju pintu keluar dan memesan taksi untuk pulang. Acara ini hanya acara formalitas, semua materi untuk berita Hazel sudah punya. Semua jurnalis sudah punya. Tapi perasaan campur aduk ini yang tidak bisa dia kendalikan. Sampai di luar gedung, Hazel berhasil menghentikan sebuah taksi dan mengantarnya pulang. Kembali ke apartemennya, ruangan sempit yang hanya cukup menampung dirinya dan segala impian yang harus dia pendam dalam-dalam. Tiba-tiba saja dia merasa sangat melankolis. Menangis tanpa sebab. Lahir dari keluarga yang tak bisa dibilang miskin, bahkan cukup berada namun dia hanya anak dari seorang selingkuhan. Dulu ibunya adalah sekretaris sang Papa yang katanya dengan sengaja menggoda Papanya Leo Sulivan. Namun, mereka tidak dapat dikatakan keluarga juga karena bahkan Hazel tidak mendapatkan nama keluarga. Dia tetap memakai nama Quinn di belakang namanya, itu nama dari keluarga ibunya yang tak pernah Hazel ketahui di mana. Selama ini dia hidup seperti benalu di keluarga itu, makanya saat dia meminta ijin untuk keluar dari rumah itu semua langsung tersenyum legah “Seharusnya kau lakukan itu dari dulu, Hazel! Anak pelakor!” Hazel mengusap air matanya dengan punggung tangan beberapa kali karena air matanya enggan berhenti. Apakah ada orang yang lahir seperti dirinya? Tidak berguna dan hanya menjadi bayang-bayang dari orang lain?. “Sudahlah! Aku tidak boleh cengeng, meskipun hidupku hanya begini aku gak boleh cengeng” Hazel menghibur dirinya sendiri. Dia melepas gaun sewaannya, kemudian menggantinya dengan kaos oversize belel yang biasa dia pakai sebelum akhirnya mandi dan mengerjakan pesanan client-nya. Dia masih harus meneruskan naskah pesanan itu. Namun, kali ini tidak ada adegan erotis yang harus dia tulis jadi dia bisa bebas dari bayang-bayang Diego. Sebagai gantinya, dia harus memasukkan toko lain yang menjadi hero dalam kehidupan tokoh utamanya. Sosok yang muncul di dalam kepalanya adalah pria tadi. Pria yang beberapa kali menolongnya tapi enggan menyebutkan namanya. Hazel baru saja mengetik satu paragraf ketika notifikasi ponselnya menyala. Nomor Pak Martin. Jantungnya langsung terjun ke dasar, jangan-jangan dia akan menjadi sasaran kemarahan Pak Martin lagi seperti biasanya. Dia mengusap sisa air mata dengan buru-buru sebelum mengangkat. “A—allo, Pak Martin?” “Hazel,” suara pria paruh baya itu terdengar berat, dingin, penuh tekanan. “Besok malam kamu datang ke Penthouse Diego Blake. Ada pembahasan draft artikel yang akan diterbitkan.” Hazel membeku. Penthouse Diego Blake? Seorang aktor sekelas Diego tidak pernah—tidak pernah—memanggil jurnalis ke tempat tinggal pribadinya. Prosedur selalu lewat email. Selalu lewat redaksi. Selalu formal. “Apakah… semua jurnalis juga diundang ke sana?” tanya Hazel hati-hati, bahkan terlalu sopan. Tak ada jawaban selama dua detik. Lalu suara Martin kembali terdengar—lebih dingin. “Hanya kamu.” Hazel memejam. Sesuatu yang gelap merayap di dadanya. “Tapi Pak… biasanya kan lewat email sudah cukup. Saya—” Suara Martin membentur telinganya seperti tamparan. “Apa kamu sedang MENOLAK tugas yang kantor berikan?” Nafas Hazel tercekat. Tangan yang memegang ponsel mulai gemetar. Semua kalimat pembelaan mati begitu saja. “T—tidak Pak. Bukan begitu. Saya cuma… saya cuma bertanya.” “Kalau begitu jangan banyak alasan. Kamu datang. Jam delapan malam. Penthouse Diego. Akses akan dipermudah. Kamu hanya perlu menyebut namamu.” Hazel bisa merasakan nadanya—itu bukan instruksi. Itu ancaman. Dia menelan ludah, tenggorokan terasa disayat. “S—siap Pak. Saya datang.” “Bagus.” Klik. Telepon terputus. Hazel menatap layar ponselnya beberapa detik, seperti seseorang yang baru saja menerima vonis mati. Ruangan kecilnya tiba-tiba terasa begitu sunyi—tapi hening yang mengancam. Dia merosot ke kursi, kedua tangannya menutupi wajah. Hazel mengingat tatapan Diego saat mereka bertatapan di karpet merah—dingin, mengintai, seperti predator yang melihat mangsa baru. Tulang punggungnya terasa dingin. Dia ingin menolak. Dia ingin tidak pergi. Tapi dia tahu aturan dunia ini: Jurnalis kelas bawah seperti dirinya tidak punya hak untuk berkata tidak. Jika dia menolak? Martin akan menghancurkan kariernya. Diego bisa melarang semua media untuk mempekerjakan namanya. Dan Hazel… akan kembali jadi bukan siapa-siapa. Ketidakberdayaan menyelubungi Hazel seperti kabut hitam. “Aku tidak punya pilihan…” bisiknya lirih, hampir tanpa suara. Air mata kembali turun, frontal, tanpa kendali. Kali ini bukan karena sedih—tapi takut. Takut pada dunia yang tak berhenti menindihnya, pada pria yang memiliki kekuasaan tanpa batas dan pada dirinya sendiri yang tak bisa lari—bahkan ketika itu yang paling dia inginkan. Dia menunduk pada meja kerja, berusaha bernapas. “Hazel Quinn… kamu harus kuat. Kamu sudah hidup neraka sejak kecil. Kamu bisa bertahan dari ini… kamu pasti bisa…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN