Jantung Hazel masih berdebar kencang, tak juga mau reda. Wajar, bisiknya dalam hati, mencoba menenangkan diri. Siapa yang tidak akan tergagap ketika Diego Ronan Blake berkata, ‘Aku pikir aku tertarik padamu’?
Sebuah senyum miris menguar di bibirnya. Mungkin memang sekadar tertarik. Tertarik sesaat. Tapi bagaimanapun, itu tetaplah Diego. Sekedar diajaknya berbicara dari jarak sedekat itu saja sudah seperti adegan dalam mimpi.
“Jangan berkhayal terlalu tinggi,” suara Martin memecah lamunannya, berbisik tajam sebelum mendahuluinya masuk ke ruang studio. “Dia hanya sedang basa-basi. Kalaupun benar tertarik, paling hanya ingin ‘mencicipi’.”
Hazel sama sekali tidak tersinggung. Ucapan Martin yang blak-blakan justru mengingatkannya pada realitas, menempatkannya kembali pada posisi yang seharusnya. Tentu saja dia tahu kalau Diego hanya basa-basi.
Dengan langkah tergesa yang sedikit kikuk—karena jaraknya dengan Martin sudah menjauh—Hazel berusaha mengejar.
Bruk!
Tubuhnya menabrak sesuatu—seseorang—yang juga hendak masuk.
“Hati-hati,” suara pria itu terdengar lembut dan sopan.
“Maafkan aku, aku…” Hazel mengangguk cepat, tatapannya penuh penyesalan.
“Buru-buru?” pria itu menyambung kalimatnya dengan senyum yang terpancar manis. Wajahnya tampan. Siapa dia? Hazel tidak tahu. Di tengah kerumunan orang-orang penting dan terkenal ini, semuanya terasa sama.
“I-iya… karena…” Hazel gagap, matanya liar menyisir kerumunan, mencari sosok Martin yang sudah menghilang. Gala premier yang biasa dihadirinya hanya di mall biasa, tidak seperti ini. Lelaki yang benar-benar menyebalkan!
“Kamu bisa masuk bersamaku,” tawar pria tampan itu, seolah memahami kebingungannya. Tanpa pilihan lain, Hazel mengikuti. Dalam kegugupannya, dia bahkan tidak sempat menanyakan nama pria baik hati ini.
Di dalam studio yang sudah gelap, Hazel tidak lagi melihat bayangan Martin. Terpaksa, dia duduk di samping pria yang baru ditabraknya tadi.
Tidak ada lagi percakapan. Film pun segera dimulai.
Hazel berusaha fokus. Meski sudah mendapat briefing, dia harus menulis review yang profesional. Tapi ini bukan film biasa; ini film Diego. Sebuah rasa grogi yang aneh menyergapnya. Baru kali ini, sebagai jurnalis yang selalu netral, dia merasa begitu... linglung. Tatapan Diego tadi nyaris membuatnya lupa pada tugas.
Dia ingin melupakan tapi masih saja ingat dan tiap kali mengingat bagaimana pria itu menatapnya, jantungnya langsung berdegup liar. Hazel langsung memaki hatinya yang murahan.
Akting Diego, seperti biasa, tak perlu diragukan. Hazel terhanyut dalam film action itu. Di antara banyak pemain muda dan berbakat, aura Diego tetap yang paling menyedot perhatian. Tak terbantahkan.
Yang menjadi ciri khas film-film Diego adalah tak banyak interaksi dengan lawan jenis walaupun dalam skenario mereka sebagai pasangan dan anehnya semuanya masih tampak wajar dan vibe romantisnya tetap dapat. Aura semacam itu memang hanya Diego yang memilikinya.
Entah sejak kapan, matanya mulai mengamati Diego dengan lebih detail, dari sudut pandang yang berbeda. Dia seakan ingin mencari celah, tapi pria itu tampak sempurna tanpa cacat.
Film telah berjalan lebih dari setengah. Semua penonton terdiam, larut dalam alur cerita. Termasuk pria di sampingnya. Wajahnya terasa familiar, tapi Hazel masih tak bisa mengingatnya. Yang aneh, di adegan yang paling menegangkan sekalipun, ekspresi pria itu tetap datar. Tenang yang terasa... tidak wajar.
Tiba-tiba, rasa ingin buang air kecil tak tertahankan. Hazel gelisah, menoleh ke kiri dan kanan mencari jalan keluar.
Seperti bisa membaca pikirannya, pria di sampingnya membalikkan kepala.
“Ingin ke toilet?” bisiknya, jarak mereka begitu dekat hingga Hazel bisa mencium aroma parfum mahal yang melekat pada kulitnya.
Dia lalu menunjuk ke arah pintu. “Itu jalan keluarnya.”
Sekali lagi, pria ini menolongnya. Hazel semakin merasa berhutang budi.
“Terima kasih,” ucapnya sopan.
Pria itu menatapnya dengan pandangan yang dalam dan lembut, lalu mengangguk perlahan. Sebuah isyarat yang membuat hati Hazel, untuk sesaat, berdebar dengan alasan yang berbeda.
Begitu keluar dari toilet, Hazel menyusuri lorong sepi yang hanya diterangi lampu temaram. Matanya jelalatan mencari petunjuk arah, tapi tulisan 'Studio' tak kunjung ditemukan. Suasana sunyi dan bayangan panjang yang tercipta membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Rasanya seperti terjebak dalam adegan film horor yang sedang dia tonton.
Dia membenci suasana seperti ini. Setiap langkahnya sendiri menggema, menciptakan merinding yang merayap di sekujur tulang belakangnya.
Dari arah mana tadi ya? tanyanya dalam hati. Hazel baru tersadar, tadi dia terlalu sibuk berkomat-kamit dengan dirinya sendiri sampai lupa memperhatikan jalan. Sekarang, di hadapannya, lorong bercabang ke kiri dan kanan, dan keduanya tampak identik—panjang, gelap, dan menjanjikan.
"Bodoh sekali aku," gerutnya kesal, menggigit bibir. Tapi dia tidak bisa diam di sini selamanya. Menelpon Pak Martin? Gak mungkin. Pria itu pasti akan memarahinya dengan sebutan "Dasar bodoh dan tidak berguna!".
Meskipun kalau dipikir dengan apa yang dialaminya sekarang, apa yang dikatakan Martin memang tidak salah. Dia sangat tidak berguna. Keluar dari lorong begini saja tidak bisa.
Dengan tekad setengah hati, Hazel memilih untuk belok ke kanan. Langkahnya mantap di awal, tapi semakin jauh dia melangkah, semakin berbelok-belok lorong ini, dan semakin hilang pula arahnya. Pintu studio yang dicari tak kunjung tampak.
Tiba-tara, telinganya menangkap suara sayup-sayup. Suara itu semakin jelas saat dia mendekat. Suara Diego.
"AKU GAK MAU TAHU! Kalian harus lakukan apa yang seharusnya kalian lakukan! Si b******k itu sudah aku percaya tapi malah menikam dari belakang!"
Kaki Hazel langsung lemas. Suara Diego begitu dingin dan penuh amarah, sangat berbeda dengan nada yang dia dengar sebelumnya.
"Kalau dia tidak mau mengaku, ancam saja pakai keluarganya. Seperti biasa, aku gak mau ada jejak. Dan pengkhianatan si b******k itu ga boleh siapapun tahu!"
Nafas Hazel tersangkut. Darahnya serasa membeku.
"Aku tidak akan bisa mengampuni pengkhianat! Siapapun dia, buat lenyap dan seolah itu hanya kecelakaan biasa."
Lenyap? Kecelakaan? Pertanyaan itu menerjang pikirannya seperti petir. Tanpa disadari, tangannya sudah menutup mulut rapat-rapat, menahan desisan nafas yang ingin keluar. Apakah dia tidak sengaja mendengar rahasia terlarang Diego? Ini bukan salahku, aku cuma tersesat! batinnya menjerit ketakutan.
Dengan jantung berdebar kencang hampir sampai ke tenggorokan, Hazel berbalik badan. Kali ini, langkahnya tidak lagi mantap. Dia berjalan cepat, hampir berlari, menyusuri lorong-lorong yang seakan tak berujung. Setiap belokan terasa seperti menjebak, setiap bayangan seolah menyembunyikan bahaya.
Tuhan, sepanjang apa sih lorong ini? dadanya sesak, napasnya memburu. Dia berhenti di sebuah persimpangan, matanya berkaca-kaca. Bahkan toilet tadi sudah menghilang dari ingatannya.
Ini tidak lucu sama sekali, Hazel! Masak bisa tersesat di dalam gedung? Ini bukan labirin, hanya lorong biasa, tapi kenapa rasanya seperti perangkap yang tidak pernah berakhir?.
Tiba-tiba...
Sebuah tangan mendarat di bahunya.
Hazel nyaris berteriak, tapi suara itu tertahan di tenggorokan saat tangan lain dengan cepat menutup mulutnya. Tubuhnya terdesak dengan lembut namun pasti ke dinding yang dingin. Napasnya tersengal, jantungnya berdebar kencak bagai hendak meledak.
Dia tak bisa bergerak, tak bisa berteriak. Yang bisa dilakukannya hanyalah menatap lekat-lekat sosok bayangan yang kini mengepungnya dalam kesunyian lorong yang mencekam…