What The....!!!

1183 Kata
Mata Alea mengerjap dan melebar saat melihat rumah lelaki itu. Begitu berantakan dan sepertinya baru saja kemalingan. Di belakang lelaki itu, ia berjalan sambil melihat ruangan yang sebenarnya lebar dengan furniture yang bagus dan tentu saja menunjukkan kalau orang ini sebenarnya memang orang kaya. Meskipun sebelumnya ia sempat mempertanyakan kemampuan finansialnya, karena lelaki itu tak memiliki dompet dan gawai. Pasti ada masalah yang sangat besar yang dihadapinya, bahkan ia berani mempertaruhkan kelingkingnya untuk diamputasi. Ia yakin masalah itu juga berhubungan dengan keselamatan nyawa lelaki itu. Alea jadi mempertanyakan pekerjaan apa yang digeluti lelaki ini sampai-sampai harus berhadapan dengan bahaya yang begitu menakutkan. Apakah dia mafia? Bandar n*****a? Atau ia terlibat skandal dengan politikus … coret yang terakhir karena pemikiran itu muncul akibat seringnya nonton drama Korea. Tiba-tiba gawainya berbunyi nyaring. Alea segera merogoh saku celana untuk mengambil gawai. Wajah berkerutnya seketika memudar setelah tahu siapa yang menghubunginya. Lelaki yang selalu ia puja. Yang telah mencuri hatinya berpuluh tahun yang lalu. Yang merawatnya dengan penuh cinta dan memberinya pengharapan serta janji untuk menyerahkan seluruh kehidupannya. “Halo Om,” sapanya sambil tersenyum dan menggigit bibir bawah. “Halo Sayang. Bagaimana kabar kesayanganku ini? Om tunggu teleponmu tapi sepertinya kau terlalu asyik disana.”   Alea tak bisa menutupi suasana hatinya yang berbunga-bunga. Ia bahkan memamerkan senyum kepada lelaki berjaket coklat saat mata mereka tak sengaja berserobok. Tobias menyipit lalu geleng – geleng, hal itu membuat bibir Alea mengerucut namun sedetik kemudian senyum kembali menghiasi wajahnya. “Maafin aku, Om. Aku sibuk belanja hahahaha.” Ia duduk di kursi yang bantal cushionnya berserakan di lantai. Tak peduli kalau tempat ini adalah tempat asing dan milik orang yang juga masih asing. Alea terlalu sibuk berbicara dengan omnya. Sesekali melihat Tobias yang sedang sibuk mencari barang-barangnya. Sebuah laptop berada di lantai di dekat meja, layarnya pecah seperti habis dibanting. Sudah jelas itu bukan ulah maling biasa. Maling tak akan merusak barang-barang yang tak diperlukan apalagi laptop itu dibiarkan tergeletak di atas meja jadi tak perlu membongkar apapun. Sepengetahuan Tobias, maling biasa hanya mengacak-acak lemari, meja dan tempat-tempat yang memungkinkan untuk menyimpan barang berharga. Sementara rumahnya benar-benar kacau. Bantal cushion bertebaran di atas lantai. Tempat tidur dirusak sampai bulu-bulu angsa yang ada di dalam bantal bertebaran memenuhi kasur. Isi lemari telah berada di atas lantai. Tapi yang paling kentara adalah pot-pot bunga yang berada di sekitar rumah sengaja dirobohkan hingga potnya pecah. Kejadian ini bukan pertama kali ia lihat. Rumah Isyana, adik tirinya juga mengalami hal yang serupa. Hal itu pula yang membuatnya segera tahu siapa pelakunya. Orang gila yang sama. Ia berjanji akan membunuh perempuan itu jika ada kesempatan dan ia yakin suatu saat hal itu benar-benar akan terjadi. Tobias menengadah lalu memandang Alea yang sedang menelepon seseorang. Dengan wajah yang sangat berseri-seri, seperti seseorang yang sedang kasmaran. Tanpa sadar ia menggeleng-geleng. Karena laptopnya raib, gawai juga hilang dan sialnya dompet juga tak ada, ia harus bersiap disemprot habis-habisan dan ia masih ingat beberapa waktu lalu ia dicap penipu karena hal itu. Tapi ia tak bisa menghubungi siapapun sekarang karena Rendra, sahabat sekaligus orang kepercayaannya sedang ia kirim pulang ke Indonesia untuk urusan bisnis. Setidaknya ia harus menunggu semalaman untuk bisa ke KBRI, untuk menemui orang yang bisa ia mintai tolong. Sekali lagi ia meringis saat perutnya tiba-tiba keroncongan. Ia belum makan sejak siang tadi. Ia ke dapur, berharap menemukan beberapa makanan tapi saat membuka kulkas, ia hanya bisa mendesah karena isi lemari esnya hanya air mineral dan soju, minuman fermentasi beras yang merupakan minuman khas dari Korea, yang mengandung alcohol tentu saja. Ia membuka laci-laci dan ia baru ingat kalau ramyeon terakhirnya telah ia makan tadi pagi. Dengan terpaksa ia meredam perutnya yang lapar dengan meneguk sebotol air mineral. “Mana uangnya?” Suara Alea yang begitu keras membuat Tobias terlonjak hingga menyemburkan air yang masih dalam mulutnya, mengenai wajah Alea yang berdiri di hadapannya. Alea menarik napas dalam-dalam sambil mengusap wajahnya yang basah kuyup. Sangat menjijikkan, bahkan sekalipun air itu muncrat dari mulut lelaki yang tampan. Ouh, meski kesal tapi wajah tampan Tobias adalah satu kelebihan dari puluhan kekurangannya yang tampak. Air dari mulut Tobias beserta milyaran mikro organism membuat kesabaran Alea diujung tanduk. “Kau tahu, Sir. Jangan macam-macam dengan saya ya. Anda pasti tahu kalau saya bisa melakukan apapun terhadap anda.” Alea menggertakkan gigi-giginya, melangkah maju sambil melipat kedua tangan. Mendongak dengan menunjukkan tatapan matanya yang begitu menusuk. “Aku tidak bermaksud lalai. Tapi kau tentu tahu kondisiku sekarang. Besok, aku pasti akan membayarmu seperti janjiku. Aku akan memberimu sepuluh kali lipat dari barang yang kurusak.” “Kau tak perlu janji palsu. Saya hanya perlu barang-barang saya diganti. Besok saya harus ke Busan dengan rombongan saya. Karena itu saya perlu uangnya sekarang!’ Tobias menarik napas dalam-dalam, sepertinya gadis ini tak mau tahu soal kondisinya. Andai ia ingat nomer gawai Rendra, pasti masalah akan selesai. Tapi tak ada satu nomer gawai yang ia ingat. Ia tak pernah berusaha mengingat nomer-nomer gawai karena tak pernah sekalipun ia berpikir akan membutuhkan ingatan itu. “OK, kau ikut ke kantorku sekarang. Akan kuganti uangmu disana,” ujar Tobias. Alea menyipit, untuk beberapa saat ia mematung. Lelaki ini sepertnya sedang ingin main – main denganya. Apakah ia harus melepaskan uang itu atau harus mengikutinya dan itu artinya ia benar – benar harus buru – buru packing sebelum berangkat ke Busan. Satu juta itu banyak tapi apa sebanding dengan mengikuti lelaki itu ke kantornya dan harus kembali ke hotel secepatnya … pakai taksi … mata uang won … sepertinya ia takkan mau melakukan itu. “Sudahlah. Lebih baik aku menyerah. Sialan, kenapa aku harus bertemu orang sepertimu,” gumamnya. Mengikutinya sampai kantor dan kehilangan banyak waktu untuk packing adalah sebuah kekonyolan. Ia harus membeli kosmetik itu lagi atau me re-fund uangnya ke buyer. Membayangkannya saja membuat mata Alea berkaca – kaca. Ia menghapus air mata dengan lengannya sambil menengadah, berusaha untuk tidak menangis hanya karena uang. “Sial – sial – sial,” umpatnya sambil berusaha tidak mematahkan rahangnya karena menahan amarah sekuat tenaga. “OK, aku minta nomer telepon dan nomer rekeningmu. Aku janji akan membayar uang ganti. Untuk sekarang, aku tak bisa menjanjikan apapun. Apa kamu puas?” ucap Tobias dengan nada yang begitu datar. Wajah Alea memerah karena amarah, tangan kanannya mengepal erat lalu sebuah pukulan melayang di perut Tobias. Sebuah hadiah karena sudah membuatnya marah. Lelaki itu membungkuk sambil memegang perutnya yang sakit. Oh, mimpi apa semalam ia harus mendapat tonjokan kuat dari perempuan. Sialnya lagi ia tak mungkin membalasnya. “Kalau emang nggak bisa bayar bilang aja dari tadi. Jangan kasih harapan palsu kayak playboy cap badak merayu cewek udik. Sial!” Pada awalnya Alea ingin pergi begitu saja, tetapi mengingat tawaran yang sekalipun tak bisa diharapkan. Namun saat menemukan bullpen di ujung kakinya, ia segera memungut bullpen itu dan kembali mendekati Tobias. Mata Tobias melebar dan ia siap menerima pukulan lagi, tetapi sebuah kejutan lain membuat matanya melebar. Gadis itu mengangkat tangannya dan menulis nomer rekening, nama dan nomer teleponnya. “Kau … kalau sampai nggak transfer uangnya….” Alea menarik garis dari kanan hingga ke kiri lehernya di udara. Sebuah kode yang menyatakan kematian bagi Tobias jika ia tak mentransfer uangnya. Mata Tobias membelalak, bahkan napasnya seakan berhenti saat melihat gadis albino yang cantik tapi galak seperti seorang preman. *** Alea melihat sebuah WA dari deretan nomer asing dan saat ia membaca isi chatnya, matanya melebar dan membulat seperti bola bekel. “Daebak, dia gila!” ucapnya tak percaya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN