Halo gaes, gimana kabar kalian hari ini? Semoga kalian sehat-sehat ya...
Sebelumnya aku minta maaf karena sebulan ini menghilang seperti hantu hehe. Karena ada sesuatu yang harus kuselesaikan dan nggak bisa kutunda, makanya dengan terpaksa harus hiatus selama sebulan.
Tapi mulai sekarang, cerita Alea akan dipublish rutin setiap hari. Jadi, pantengin terus ya gaes....
Happy reading!!!
Sejenak hanya sejenak, bahkan tidak sampai satu menit, Alea berpikir takkan menghubungi Tobias dan memilih mengambil uang sepuluh juta rupiah itu. Sebenarnya uang itu hanya sedikit, mengingat honor yang ia dapat dari ngevlog bisa sampai ratusan juta. Akan tetapi Alea adalah orang yang sangat menghargai uang, berapapun jumlahnya jadi sepuluh juta tetap saja menjadi angka yang cukup fantastis, apalagi jika didapat dari orang asing.
“Takutnya kalau tuh duit ada jampi-jampinya lagi,” gumamnya.
Hal itu bukan tanpa alasan. Alea menyadari ia adalah seseorang yang sangat istimewa. Memiliki kulit seputih kapas dalam arti harfiah, memiliki rambut yang indah meski berwarna putih dan sepasang matanya yang abu-abu membuatnya sering dikira bule dari Eropa.
“Aku harus mengembalikan uangnya,” ujarnya sambil geleng-geleng, takut kalau uang itu membuatnya kalap.
Alea memiliki satu prinsip hidup, tidak akan memakan harta orang lain yang bukan haknya. Jelas, uang itu bukan haknya. Tapi sembilan juta rupiah bukan uang yang sedikit.
Sambil menggigit kuku, ia menghubungi Tobias. Pikirannya berkecamuk, antara kesal dan merasa harga dirinya diinjak-injak, juga perasaan senang mendapatkan sepuluh juta secara cuma-Cuma.
“Halo,”
“Halo, aku Alea. Kamu salah transfer uang,” ucap Alea tanpa basa-basi.
“Oh, aku tidak salah. Aku sudah katakan akan mengganti barangmu sepuluh kali lipat. Kamu bilang sejuta kan.”
“Aku nggak butuh sepuluh kali lipat. Aku balikin sembilan jutanya. WA aja nomer rekeningmu.” Gaya bicara Tobias yang menganggap uang itu kecil menggores harga diri Alea.
“Tidak perlu.”
Tiba-tiba sambungan telepon terputus, membuat Alea memandang gawainya sambil mengerucutkan bibir.
“Sombong sekali,” gerutunya.
Ia segera berdiri dan mengawali paginya dengan mood yang memburuk. Keluar kamar masih dengan memakai piyama, ia berencana akan menikmati hari ini dengan bersantai.
Melihat Matias yang juga masih terlihat santai, menikmati pagi dengan segelas kopi dan memandang sesuatu dari Ipadnya. Hati Alea berbunga-bunga hanya dengan melihat lelaki itu.
“Pagi, Om. Libur ya?” tanya Alea sambil mendekati lelaki yang mengenakan celana kolor putih dan kaos abu-abu.
“Ehm, Om sudah menyiapkan sarapan. Kamu sarapan dulu.”
“Om sudah sarapan?” tanya Alea sambil memandang meja makan yang tak jauh dari ruang keluarga, dan tanpa sekat pula.
“Sudah tadi.”
Alea mengangguk lalu mendekati meja makan. Aroma wangi dari nasi goreng istimewa buatan Matias membuat perutnya keroncongan. Tanpa buang waktu, ia segera menikmati nasi goreng itu.
“Kamu ada acara nggak hari ini?” tanya Matias tanpa mengalihkan pandangannya dari Ipad.
“Aku libur, Om. Kenapa? Mau ajak aku jalan-jalan ya?”
“Boleh. Kamu mau kemana?”
Hati Alea sudah sangat baik sekalipun hari ini hanya di rumah saja, asal ada Matias dunia seindah surga. Kalau jalan berdua dengannya, keindahannya berkali-kali lipat.
“Kemana aja, hayuk.” Asalkan sama Om, ke neraka pun aku rela.
Huss, Alea memukul mulutnya sendiri karena asal bicara. Meskipun di dalam hati, tetap saja ucapan semacam itu tak boleh diucapkan.
“Okelah, kita ke GI ya. Om ada janji sama orang.”
“OK.”
Setelah menikmati sarapan, Alea segera bersiap untuk hang out bareng omnya. Dengan begitu semangat ia memilih pakaian yang pas untuk acara itu. Sebenarnya ini bukan acara istimewa, hanya ke mall bersama lelaki yang sudah merawatnya sejak kecil. Yang seharusnya sudah seperti ayahnya sendiri, namun bagi Alea, Matias adalah segalanya.
Meski usia Matias tak lagi muda, sudah empat puluhan akan tetapi lelaki itu masih terlihat sangat gagah. Kebiasannya berolah raga membuat kulitnya masih kencang. Ditambah warna kulit kuning langsat, membuatnya tampak seperti baru menginjak usia tiga puluhan.
Alea memandang dirinya di cermin. Mengenakan blouse kotak-kotak abu-abu putih dengan kerah Sabrina, membuat kulitnya yang putih semakin terekspose. Ditambah celana pendek berwarna putih, membuatnya seperti boneka barbie yang sangat cantik.
“Are you ready?” tanya Matias yang berdiri di ambang pintu. Kedua tangannya dilipat, pundaknya menyandar di frame pintu. Senyumnya membuat kedua kaki Alea meleleh hingga ia harus menyeimbangkan diri.
“Kamu kenapa Alea?” tanya Matias terkejut dengan gadis yang tiba-tiba seakan hendak jatuh, padahal ia hanya berdiri saja.
“Nggak, Om. Aku nggak papa kok.” Alea meringis, malu sendiri karena tingkahnya yang tiba-tiba canggung tak jelas.
“Ya sudah. Ayo berangkat sekarang.”
Alea segera menyambar tas selempang yang ada di atas ranjang, berjalan cepat lalu menggamit lengan omnya. Sebuah kebiasaan yang sejak kecil dilakukannya, akan tetapi jika dulu menggandeng tangan Matias karena merasa aman, kalau sekarang ada dorongan aneh yang membuatnya ingin menyentuh lelaki itu secara fisik.
Jika dibolehkan, ia ingin ada sentuhan lebih dari ini.
God, aku sinting! Rutuk Alea dalam hati.
***
Alea berjalan masih dengan menggamit lengan omnya, senyum tak bisa hilang dari wajahnya. Berjalan menyusuri mall, gadis yang sebenarnya hobi shopping itu memilih untuk terus mengikuti langkah Matias. Tak ingin melakukan apapun yang membuatnya lepas dari genggamannya.
“Tuh ada diskon disana,” tunjuk Matias pada sebuah distro pakaian.
“Aku nggak butuh baju, Om. Kemarin aku dapat endorse baju buanyak banget,” ucap Alea dengan sumringah.
“Keponakan Om, sekarang sudah sukses ya. Uangnya sudah banyak dan baju dapat endorse pula.”
“Siapa dulu dong, Alea.” Kesombongan gadis itu membuat Matias tertawa sambil mengacak-acak rambut Alea.
Mereka kembali berjalan menyusuri mall, Alea masih menggandeng tangan Matias, merasakan perasaan hangat dan nyaman yang membuatnya berharap waktu segera berhenti.
Tiba-tiba ia melihat Tobias masuk ke Gramedia. Ingatannya kembali kepada uang sembilan juta yang seharusnya ia kembalikan.
Meski enggan, akhirnya ia melepaskan genggaman tangan Matias dan mengejar lelaki itu. Tak jauh dari pintu masuk, Alea celingukan. Mencari sosok yang tiba-tiba lenyap seperti hantu. Ia berjalan sambil mencari Tobias, beruntung lelaki itu cukup tinggi sehingga mudah untuk menemukannya.
Tobias berada di rak buku IT, sedang memilih-milih buku dan terlalu sibuk hingga tak menyadari kehadiran Alea.
“Hei, mana nomer rekeningmu? Mau aku balikin sekarang nih,” ujar Alea begitu berada di samping Tobias.
Tobias mengernyit, memandang gadis yang tingginya hanya sepundaknya. Tak mudah melupakan gadis yang ia temui di Korea. Gadis albino yang cerewet dan bar-bar itu, bagaimana bisa mereka bertemu di tempat seperti ini.
“Aku sudah katakan, kamu nggak perlu mengembalikannya,” ucap Tobias sambil mengembalikan sebuah buku ke rak.
“Aku cuma minta sejuta, itu sesuai sama barang yang kamu rusak. Sembilan juta itu banyak, tapi tanpa bermaksud sombong ya. Uang segitu doang mah aku juga punya. Jadi kamu nggak usah sok kaya di depanku.”
Tobias menyipitkan mata, tak percaya gadis di sampingnya itu mengucapkan kalimat yang sangat tak masuk akal. Ini bukan soal kaya miskin, ini soal menepati janji. Tobias tak pernah melanggar janjinya sendiri, apalagi janji sekecil uang sembilan juta.
"Kasih tahu sekarang, mumpung aku lagi baik hati ini." Alea sudah siap dengan gawai yang menunjukkan aplikasi bank. Siap mengembalikan uang sembilan juta rupiah milik Tobias.
"Aku sudah bilang, aku akan mengembalikan uang ganti rugi sepuluh kali lipat. Terserah kamu buat apa uang itu, jangan ganggu aku!" Tobias hendak berlalu namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat Alea mencekal lengannya.
Bagaimana kelanjutannya??? Besok ya gaes hehehe