Tobias menarik tangannya dari genggaman Alea, tak menyangka gadis itu mempermasalahkan uang sembilan juta yang sudah menjadi janjinya. Sempat ia berpikir kalau mungkin Alea butuh lebih dari itu, hanya saja tiba-tiba ia mengingat adik tiri yang sikapnya sama, mempermasalahkan uang yang sebenarnya sudah menjadi haknya.
Mengapa ia dikelilingi wanita semacam ini? Tobias hanya bisa mendongak sambil mengembuskan napas berat ke udara.
“Kalau kamu keberatan dengan uang itu, buang saja!” ketusnya lalu melangkah menjauh, sejauh-jauhnya sambil berharap takkan pernah bertemu dengan gadis itu lagi.
Alea menghela napas berat, tak menyangka kalau lelaki dingin itu dengan gampang menyuruh membuang uang itu. Hallo, mungkin dia hidup dengan sendok perak jadi tak menghargai uang sembilan juta rupiah.
Sembilan juta rupiah gitu loh, dengan uang itu bisa buat makan beberapa bulan.
Kedua pundak Alea menurun, berjalan keluar Gramedia dengan langkah lemah dan kepala tertunduk.
Matias masih ada di luar, menunggunya sambil bermain gawai. Memandang heran kepadanya.
“Kamu buru-buru masuk Gramed, emang mau beli apa?” tanya Matias sambil memandang keponakannya yang menunduk.
“Aku ketemu hantu di dalam,” gerutunya membuat satu alis Matias terangkat. Ia mengira kalau Alea kecewa karena tak mendapatkan sesuatu yang ia inginkan.
“Ayo jalan, aku sudah ditunggu ini.” Matias berjalan lebih dulu, sementara Alea berjalan lambat di belakangnya.
Tobias, nama itu harus masuk dalam daftar hitamnya. Cowok dingin, angkuh, sombong pula. Alea pasti melakukan dosa besar sebelumnya sampai harus bertemu dengan orang sepertinya. Tampang boleh cakep, tapi kalau belagu ya ke laut aja.
Ia menggeleng beberapa kali, berusaha membuang nama dan wajah lelaki itu kalau tak ingin hari ini jadi buruk. Berlari ke Matias, ia menerobos melewati ketek lelaki itu untuk membuatnya berada di pundaknya.
Tak ada lelaki sesempurna Matias. Meski selisih usia mereka sangat jauh, sekitar lima belas tahun. Namun itu semua hanya selisih angka. Karena cinta tak memandang kasta, harta dan tahta jadi lima belas tahun bukanlah sebuah masalah. Toh lebih dari separuh hidupnya habis bersama Matias dan ia siap menikmati masa tua bersama lelaki itu.
“Kamu kenapa, Alea?” tanya Matias sambil melepaskan rangkulannya dari sang keponakan.
Meskipun ia sudah menganggapnya demikian, tetapi mereka tidak memiliki hubungan darah. Matias sadar kalau ia harus mulai membatasi sentuhan fisik dengannya. Alea sudah bukan anak-anak dan ia sendiri juga sudah siap berumah tangga, bersama wanita yang ia cintai.
“Nggak papa, Om.” Alea menghela napas berat, kecewa karena Matias melepaskan dirinya.
Dari kejauhan, ia melihat sosok Tobias masuk ke sebuah restoran. Kedua alisnya bertaut dan pipinya menggembung. Ia berharap tak bertemu lagi dengan lelaki itu, bahkan ia sudah berjanji takkan menggunakan uang itu selain untuk bantuan kemanusiaan. Nanti kalau sudah diperlukan, ia berjanji uang itu akan dikirim ke salah satu organisasi kemanusiaan.
Namun harapan untuk tak bertemu dengannya tak sesuai harapan. Matias justru menggiringnya masuk ke restoran yang sama dengan Tobias. Sebuah restoran Jepang yang sudah beberapa kali pernah ia datangi.
Alea membesarkan hati, tak masalah meski satu restoran dengannya. Yang terpenting adalah pura-pura tidak mengenal lelaki itu. Itu yang paling penting.
Tetapi sekali lagi, harapannya hanya tinggal kenangan. Karena ternyata orang yang akan ditemui Matias adalah Tobias.
Astaga, benar-benar dunia tak selebar daun singkong ya. Diantara banyaknya tempat, diantara milyaran manusia. Mengapa harus Tobias.
“Maaf saya terlambat,” ucap Matias saat berhadapan dengan Tobias.
Mata Tobias tertuju pada Alea. Tak menyangka kalau ternyata ia bertemu dengan perempuan itu lagi. Dan apa hubungannya dengan Matias, seorang calon investor yang ia harapkan bisa berinvestasi pada bisnis barunya.
“Tidak apa-apa. Saya juga baru datang,” ucap Tobias masih dengan mata tertuju pada Alea.
“Oh, kenalkan ini keponakan saya. Dia vlogger terkenal dengan subscriber lima jutaan.” Matias tertawa bangga.
“Jadi dia orangnya.” Tak ada nada penasaran, justru nada tak suka yang terdengar.
Alea mendecak, tak menyangka kalau Tobias menganggapnya remeh. Memang apa sih pekerjaan lelaki itu sampai bisa seenak jidat merendahkan orang. Halo, orang kaya itu banyak. Yang hidup dengan sendok perak juga bejibun, tapi orang sesombong dia bisa diitung jari. Sialnya Alea justru bertemu dengan orang seperti itu.
“Apa kalian sudah kenal? Atau anda pernah melihatnya di Yo****e? Beberapa vlognya sempat menjadi trending disana,” ujar Matias.
“Tidak. Saya terlalu sibuk jadi saya tidak ada waktu menonton yo****e atau sejenisnya,” ucapan Tobias membuat Alea mendongak sambil mengibaskan kerah bajunya.
“Saya mengerti. Anda pasti sibuk membuat gebrakan baru di perusahaan anda.” Matias tersenyum ramah.
“Maafkan saya. Silakan duduk!” Tobias akhirnya memandang Matias.
Tidak ada perkenalan seperti seseorang yang pertama kali bertemu, bahkan pura-pura pun tidak. Hati Alea sudah panas membara. Lelaki itu benar-benar mengabaikannya. Oke, dia memang berharap begitu tapi benar-benar diabaikan itu ternyata menyakitkan.
Seorang waitress datang dan membagikan buku menu. Alea tahu kalau Tobias sedang mencari investor untuk apapun pekerjaannya. Setahunya kalau perusahaan mencari investasi berarti perusahaan itu butuh uang. Titik tanpa koma. Artinya yang bayar makanan ini nanti adalah Tobias dan ia tak perlu malu-malu dalam memilih menu makanan.
Alea memilih semua menu yang mahal tanpa ragu. Meski Matias tahu Alea suka makan tapi baru sekali ini gadis itu memilih beberapa makanan sekaligus.
“Kamu bisa ngabisin itu semua?” tanyanya penasaran.
“Tenang saja, Om. Perutku ini punya dua lambung. Pasti habis deh,” ucapnya sambil menepuk perutnya yang rata.
Matias hanya geleng-geleng sambil meringis, tak enak dengan Tobias yang bersedia mengosongkan waktunya dan menerimanya sebagai investor.
Perusahaan IT milik Tobias merupakan perusahaan IT terbesar di Indonesia dengan pendapatan trilyunan rupiah tiap bulan. Membuat para investor berusaha untuk bisa berinvestasi, termasuk dirinya.
Lebih tak enak lagi saat makanan datang dan memenuhi meja hingga tak ada ruang baginya untuk meletakkan dokumen. Astaga, padahal ia mengajak gadis itu agar Tobias bisa merekrutnya menjadi brand ambassador, tapi dengan sikapnya yang seperti ini.
Hanya Tuhan yang tahu.
“Saya sudah mempelajarinya. Saya siap menginvestasikan berapapun yang anda perlukan,” ucap Matias berusaha tidak menggubris keponakannya yang sudah siap tempur dengan makanannya.
“Terimakasih. Saya akan mempertimbangkannya. Anda pasti tahu, ada beberapa investor yang juga siap berinvestasi.”
“Saya tahu. Ehm, kalau anda membutuhkan seorang vlogger untuk menjadi brand ambassador. Menurut saya, keponakan saya sangat cocok.” Matias berharap seandainya ia kalah tender, setidaknya ia bisa membuat keponakannya bergabung di perusahaan Tobias.
Matias yakin proyek Tobias akan bisa mengalahkan aplikasi video terbesar di dunia itu. Ia berharap Alea bisa berkembang bersama aplikasi tersebut.
“Saya akan mempertimbangkannya.” Tobias memandang Alea dengan mata membulat, tak menyangka ada perempuan yang porsi makannya bisa mengalahkan porsi makan lelaki yang bekerja di lapangan.
Tobias kembali ke perusahaan setelah makan siang super ajaib bersama salah satu calon investor dan vlogger terakhir dalam list yang akan ia hubungi.
Kembali ke kantor, ia bertemu dengan tim yang mengembangkan salah satu aplikasi video yang diharapkan menjadi rumah bagi para vlogger di Indonesia.
Tim itu sedang mengadakan rapat untuk menunjuk brand ambassador. Dari sekian banyak vlogger, Alea ada di daftar paling atas.
Tobias tahu, ini akan jadi masalah.