Freya sedang sibuk memilah buah di dapur ketika Damian datang dengan tergesa. "Auris mana Mom?" tanya Damian tergesa.
Freya mengangkat kepala dengan mata membelalak terkejut dengan kehadiran Damian.
"Tidur," jawabnya singkat dengan nada berbisik dan kedua alis dinaikan.
"Tidur? Aku baru selesai bicara dengannya di telepon."
"Dia sangat kesal dengan kamu. Selesai bicara langsung tidur tuh. Mommy ada di sampingnya waktu kalian bicara," matanya membelalak dan senyumnya mengembang.
"..."
Damian mengambil duduk di hadapan Freya.
Bi Ina menghampiri Freya mengambil semua buahan yang sudah dipilihkan. Buah terbaik untuk ibu hamil.
"Sini biar Bibi yang buat jus - nya."
"Biar aku saja Ina, kamu kerjakan saja pekerjaan yang lain. Aku mau melakukannya sendiri untuk putriku." Freya menggerakkan kedua tangannya sebagai penekanan. Dia ingin melakukan segalanya sendiri, melakukan yang terbaik untuk putri satu - satunya.
"Ya sudah Bibi yang cucikan buahnya saja, Nya."
"Oke. Yang bersih ya, soalnya itu bukan hanya untuk Auris tapi buat calon cucu aku juga."
Bi Ina mengangguk sambil senyum. "Beres pokoknya, cucu Bibi juga."
Freya dan Damian tersenyum Bi Ina yang sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga Atmadiraja.
"Ehm, Mom, kalau gitu aku ... ke kamar tuan putri dulu."
"Iya sayang."
Damian bangkit tapi kemudian berbalik lagi. "Oh sorry Mom, aku lupa cium tangan." Mencium tangan Freya kemudian berlalu menuju kamar dengan begitu semangat.
"Oh Dami?"
"Yes Mom?"
"Um, nanti Auris ajak turun untuk makan siang jangan sampai telat," kata Freya mengingatkan.
"Oke, pasti." Damian tak menghapus senyum bahagianya kemudian berlari kecil menaiki tangga.
Freya pun sejak tadi memperhatikan menantunya itu dengan senyum yang belum juga bisa ia singkirkan. Kemudian menggigit bibir bawahnya untuk menahan senyumnya. Ia butuh suaminya untuk berbagi kebahagiaan ini. Kemudian mencuci tangannya dan segera menuju kamarnya untuk menelepon sang suami yang masih berada di kantornya.
Ketika sampai di kamar dan mengetahui Atmadiraja telah menghubunginya sebanyak lima kali, ia terkejut dan segera menghubungi.
"Honey ... kamu ke mana saja sih ... sejak tadi?" todong Raja.
Freya menggigit kuku jempolnya. "Oh honey maaf ..., aku di dapur menyiapkan buahan untuk putri kamu," jawab Freya.
"Dan meninggalkan handphone kamu di kamar?" sergah Raja.
"Um, iya," jawab Freya lagi kali ini dengan nada sesal.
"Hampir saja aku pulang. Sudah aku katakan untuk selalu membawa handphone kamu ke mana pun juga. Apalagi saat ini putri kita sedang sangat butuh perhatian," protes Raja debgan sedikit kesal.
"Iya maaf honey. Aku janji setelah ini akan selalu membawa handphone aku ke mana pun juga, oke," kata Freya menyesal.
Di sisi lain, Atmadiraja sedang berada di ruang meeting bersama dengan para dewan direksi. Ia tanpa canggung mengkhawatirkan keadaan istri dan putrinya di hadapan semuanya. Atmadiraja memang dikenal sangat family man di mata semua orang.
"Kamu tahu, kan, aku memang berhadapan dengan pekerjaan tapi pikiran aku selalu berada pada istriku, dan putri kita. Ditambah lagi dengan keadaannya saat ini yang sedang mengandung cucu pertama kita," tuntut Raja.
"Aku sangat mengerti honey. Baiklah aku tunggu kamu pulang untuk makan siang dan andai saja kamu melihat wajah Damian tadi," tutur Freya.
"Ada apa dengan wajahnya?" tanya Raja.
"Dia sangat bahagia," kata Freya dengan penuh penekanan. "Wajahnya sangat berbeda, aura kebahagiaan benar - benar terlihat."
"Hoho ..., tentu saja, aku tahu bagaimana rasanya akan menjadi seorang ayah." Atmadiraja menatap wajah lima orang di hadapannya yang ikut tersenyum bahagia mendengar kehamilan Auris. "Baiklah honey aku sedang meeting saat ini, dan akan pulang setelah selesai. Bye."
"Bye, honey."
Raja kembali pada semua dewan direksi yang melihatnya sambil tersenyum.
"Yeah. Seperti apa yang baru saja kalian dengan, bahwa ... aku akan segera menjadi ... seorang kakek. Putriku Auris sedang mengandung saat ini." Senyumnya sangat lepas dan tampak terlihat jelas ia sangat bahagia ketika ia menyampaikan berita gembira itu kepada semua orang di hadapannya yang kini ikut tersenyum bahagia.
"Selamat Pak," ucap semua dewan direksi secara bergantian.
"Ya, terima kasih. Aku tidak menyangka akan secepat ini. Doakan putriku dan calon cucuku baik - baik saja."
Mereka mengangguk dan tak lepas dari senyuman.
"Oke. Kita lanjutkan."
__
Damian membuka pintu kamar dengan sangat hati - hati. Begitu pun ketika menutupnya kembali. Ia melepaskan sepatu agar tak menimbulkan suara. Meletakkan tas kerja serta jadnya pada sofa, kemudian berjalan mengendap -endap ke arah ranjang.
Memandang istrinya yang terlelap membuatnya tersenyum. Damian kemudian berjongkok, meletakkan sebelah pipinya di tepi ranjang tepat di hadapan wajah cantik Auris yang sedikit pucat karena kondisinya.
Damian sebenarnya tidak ingin mengganggu tidur istrinya, namun keinginan untuk membelai wajah Auris tak bisa ia tahan dan detik berikutnya perlahan Auris sudah membuka matanya. Auris tersenyum tanpa bicara. Damian mengecup keningnya kemudian tangannya.
"Manis banget tidurnya calon Mama."
Auris tertawa kecil tapi kemudian ia mengernyit menyentuh pelispinnya. "Pala aku sakit," keluhnya parau.
"Sakit ya sayang? Sini aku pijitin." Damian memberikan pijatan lembut dengan ibu jarinya di kening Auris. Auris menarik tangan Damian dan ia menggeser tubuhnya. Damian naik ke atas ranjang untuk merebahkan tubuhnya kemudian meletakkan kepala Auris di dadanya sambil kemudian kembali memijat dengan ibu jarinya.
Sedang asik memijat tiba - tiba saja Auris menanyakan sesuatu yang membuat kening Damian berkerut. "Dami, kamu nggak bawa sesuatu buat aku?"
"Ha, um, eng ... gak sayang."
"Ih ..., kamu nggak pengertian ya, aku kan lagi hamil," protesnya.
Damian mengangkat sedikit kepalanya untuk menyamai wajah Auris di atasnya. "Aku hanya ... memikirkan bagaimana caranya agar cepat sampai di hadapan kamu, sayang. Sama sekali nggak memikirkan yang lainnya."
Auris tetap saja cemberut kemudian bergeser ke pinggir dan memunggunginya. "Kamu nyebelin. Kamu nggak peka. Nggak pengertian." Mulai terdengar suara tangis. "Istrinya lagi hamil nggak dingertiin maunya apa? Dibawaan sesuatu apa kek, gitu. Dami nyebelin ...," dia merengek manja.
Damian tidak merasa kesal sama sekali, dia justru merasa sangat gemas dengan tingkah Auris kali ini. Damian bergeser mendekat.
"Hei, sweet heart, aku sangat mencemaskan kamu sampai nggak berpikir ke sana." Damian mengusap lengan Auris, membujuknya, kemudian mengecup pipinya berulang kali. "Aku janji mulai besok akan selalu membawakan sesuatu untuk istri aku tercinta dan untuk, dia." Mengusap perut Auris yang masih rata.
"Janji?" Auris berbalik menatap Damian di atasnya.
"Janji, tuan putri."
Auris menekan ujung hidung Damian dengan telunjuknya. "Ini baru calon ayah namanya."
"Papa."
"Oke Papa."
"Come to Papa." Damian kembali merebahkan kepala Auris di dadanya kemudian memijatnya. "Masih ada waktu sedikit sebelum makan siang. Aku diperintahkan ibu ratu untuk membawa tuan putri turun untuk makan siang tanpa terlambat sedikit pun."
"Kalau aku nggak bisa makan lagi, gimana?"
"Kita usahakan. Atau kita ke dokter kandungan? Sayang, aku janji akan selalu mendampingi kamu untuk cek bayi kita ke dokter. Aku ingin selalu memastikan kalian baik - baik saja."
"Janji?"
"Janji."
__
- - - - - - - - - - - - - *** - - - - - - - - - - - -