Aurelia

1105 Kata
Hari sudah malam ketika Damian dan Auris saling tatap dengan perasaan yang sedikit tegang. Damian sedikit kewalahan menghadapi tingkah Auris yang semakin aneh dan membingungkan di matanya sejak istrinya itu mengandung anak pertama mereka. "Sayang kenapa semua yang aku lakukan selalu salah di mata kamu?" tanya Damian dengan suara paling lembut yang ia bisa. "Karena-kamu-salah!" dikte Auris. Dia sangat kesal karena Damian tak berguna menurutnya malam ini. Damian membuka lebar mulutnya, "O okey ..., tapi sayang aku sudah lakukan apa pun yang kamu minta. Kamu minta ambilkan air putih, aku ambil. Kamu minta camilan, aku ambil. Kamu minta buah, aku ambil. Kamu pikir naik turun tangga itu nggak cap ..." "Oh jadi kamu nggak tulus ngelakuin itu buat aku? Buat anak kamu, hm? Kamu pikir aku nggak cape mual seharian terus, lemes terus, sampe kadang -kadang pusing?" kata Auris bernada tuntutan. Damian semakin bingung, "bukan, bukan seperti itu maksud aku, sayang. Aku ..." Auris menangis lagi. "Kenapa kamu nggak bisa ngertiin aku ...?" Dari pada bingung memikirkan kesalahannya apa, Damian akhirnya mengalah, mengaku salah walau pun ia sendiri tidak mengerti di mana lagi letak kesalahannya. Damian memeluk Auris yang tidur miring membelakanginya, mengecup lenggan kemudian pundak istrinya. "Okey ..., aku minta maaf kalau aku ... nggak ngertiin kamu." Auris tak menjawab, Damian menyingkirkan rambutnya ke belakang agar ia bisa mendaratkan bibir di leher jenjang milik istrinya yang sedang tidak bisa ia mengerti sama sekali. "Jangan marah lagi dong, plis." "Siapa juga yang marah," ketus Auris. "Jadi kamu nggak marah?" Auris menjauhkan punggungnya. "Nggak. Aku nggak marah." "Nggak marah, tapi?" Damian merasa sangat gemas dengan tingkah Auris. "Tapi kesal!" serang Auris yang meninggikan sedikit kepalanya menatap Damian di balik punggungnya kemudian menjatuhkan lagi kepalanya di bantal. Damian baru memahami kenyataan bahwa ketika wanita sedang mengandung seribu kali ingin lebih dimengerti. Dia ingin tertawa mendengar jawaban Auris, tapi tidak mungkin dia akan membebaskan tawanya kalau tidak ingin dirinya dalam bahaya. "Um ..., sayang ... aku tau kamu kesal, tapi ... aku ... sudah sangat berusaha untuk melakukan segalanya dengan benar, bahkan mencoba lakukan sebaik yang aku bisa. Oke? Setelah ini, tolong katakan dengan jelas apa yang kamu inginkan, dan apa yang salah, aku akan selalu berusaha sayang. Percayalah. Oke." Sekali lagi mencoba membalikkan tubuh Auris yang akhirnya mau. "Janji?" "Tentu. Janji. Janji seorang suami dan ... Papa." "Papa?" mata Auris berbinar ketika mengulang kata itu. Penantian masih cukup panjang, namun semua proses indah di masa - masa menanti kelahiran sang buah hati akan menjadi suatu kenikmatan dan keistimewaan di setiap waktu yang terlewati. __ Aureli nekat mendatangi Damian untuk menyampaikan semua maksud terpendamnya. Damian tampak sangat tidak senang dengan kedatangan Aureli. "Apa tujuan kamu datang?" tanya Damian dengan tegas bahkan terdengar mengancam. "Menyadarkan kamu, Damian." "Maksud kamu bagaimana, menyadarkan aku dari apa?" tuntut Damian. "Membantu kamu menemukan jawaban. Apakah kamu benar - benar mencintai istri kamu? Atau, apakah kamu tidak benar - benar mencintai dia, istrimu itu, Damian?" "Kamu--" "Iya, aku. Aku akan menjawab semua itu. Dan jika ternyata kamu benar - benar mencintai dia, maka aku memang harus merelakan kamu untuk hidup bahagia selamanya bersama dengan dia. Dan aku, tentu saja akan pergi selamanya dari kehidupan kalian. Bagaimana? Rencana yang brilian, bukan?" Damian menatap ngeri karena apa yang dikatakan oleh Aureli benar - benar sudah membuat gadis itu tampak sudah tidak waras. Entah apa kesalahan Damian di masa lalu yang membuat Aureli menjadi buta, menjadi dendam dan ingin memiliki dirinya untuk membalaskan dendam cinta itu. Damian hanya merasa pernah menyukainya dahulu, dan itu sebuah hal yang mungkin semua pria pernah rasakan. Bukan tergila - gila kepadanya kemudian membuat janji cinta. Bukan seperti itu. "Aurel, aku mengerti maksud kamu. Tapi aku tidak butuh bantuan siapa pun. Biarkan aku bersama istriku bagaimana pun perasaan aku, aku cinta dia itu sudah jelas. Aku suaminya, aku menikahinya karena cinta." Suasana menjadi semakin tegang, namun Aureli tetap berusaha untuk membuat hati Damian berpaling padanya. Ia tetap berusaha untuk membuat laki - laki itu menjadi bimbang. "Dam, aku sangat paham bagaimana kamu. Kamu nggak benar - benar memberikan seluruh perasaan kamu kepada dia, istri kamu itu. Jangan bohong, mengaku saja. Aku bisa menilai itu." "Kalau begitu, kamu pikir aku sedang apa bersama dengan dia?" "Bersembunyi. Kamu hanya sedang bersembunyi." Damian terdiam. Matanya menyipit. "What? I'm hiding? Are you crazy? Aku rasa kamu memang sudah gila Aurel." "Yeah! Aku gila. Tapi aku tidak pernah bersembunyi pada hati siapa pun." "NO! I'm not hiding from her! I love my wife. Aku sangat mencintai dia sampai -sampai aku memberikan nyawa aku kepadanya. Aku rasa itu sudah cukup bagi aku untuk kamu ingat secara baik -baik. Jangan pernah muncul di hadapan aku lagi, aku tidak ingin mendengar kata - kata apa pun dari kamu. Apa kamu mengerti? Aku tidak akan mencintai siapa pun selain dia, istriku! Jadi kamu jangan pernah mencoba untuk menggoyahkan perasaan aku kepada istriku karena itu sangat tidak mungkin dan hanya akan membuang waktumu saja." Aureli, tersenyum dengan penuh percaya diri lalu berkata, "Kita lihat saja, Dam ..." "No! Aku tidak ingin melihat apa pun! Aku tidak mengenal kamu, tidak pernah." Damian bergegas pergi meninggalkan Aurel dengan perasaan yang amat sangat kesal dan penuh amarah kepada gadis yang dianggapnya sudah tidak waras itu. Aurelia, melihat kepergian Damian dengan bibir tipis yang tersenyum sinis, mengibaskan rambut hitam panjangnya ke belakang, kemudian melipat kedua tangannya di d**a. Lalu Aureli berkata dengan sangat percaya diri, "huh, kita akan bertaruh dengan waktu Damian, aku akan membuktikan semua kata - kata aku tadi kepada kamu. Kamu hanya sedang bersembunyi di balik hati seorang wanita yang bukan seorang wanita yang kamu cintai dia selayaknya." Entah apa yang telah merasuki pikiran Aureli hingga ia benar - benar berubah menjadi seorang gadis yang egois dan tidak punya rasa malu. Tidak sepantasnya ia mengejar laki - laki yang telah memiliki istri dan sudah benar -benar menolak perasaannya. Apakah ini justru membuatnya menjadi semakin tertantang untuk merebut hati Damian dari istrinya. Entahlah, jawabnya hanya ada pada diri Aureli. Untuk sebagian orang, hidup adalah seperti sebuah game yang harus dimenangkan. Apa pun dan bagaimana pun caranya, kemenangan harus di tangan. Menang adalah tujuan hidupnya, sedangkan kekalahan akan sama dengan kematian dirinya. Tentu saja dia tidak akan takut apa pun bahkan kehilangan nyawa sekali pun. Kehidupan seseorang di masa kecil hingga ia dewasa akan memengaruhi seperti apa sifatnya. Kehidupan Aureli yang sejak kecil penuh dengan aturan, tuntutan dan tantangan telah membuatnya tumbuh menjadi seseorang yang sangat egois dan tidak ingin dikalahkan oleh apa pun yang akan menghalangi keinginannya. __ - - - - - - - - - - - - - *** - - - - - - - - - - - - __
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN