Lea melangkahkan kakinya keluar dari unit apartmentnya. Lea hanya ingin cepat-cepat keluar dari tempat itu, dia butuh waktu untuk sendiri.
Lea menekan tombol lift untuk turun ke lantai dasar. Tak sengaja, tangan wanita muda itu meraba saku celananya yang tak berisi uang. Saat itu juga Lea sadar jika dia sudah meninggalkan ponselnya di dalam rumah.
Lea hendak berbalik untuk kembali pulang dan mengambil ponselnya. Namun belum sempat dia bergerak, tiba-tiba saja batin Lea mengingatkan bahwasanya tak akan ada orang yang akan mencarinya nanti jika dia tak ada dirumah. Dengan senyum yang di paksakan, akhirnya Lea melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift saat pintu di hadapannya itu terbuka.
Lift yang Lea naiki itu kosong, lantas jemari lentiknya pun bergerak untuk menekan tombol agar pintu liftnya segera tertutup.
"E-eh? Tunggu, Mbak! Jangan ditutup dulu!" teriak seorang pemuda yang Lea yakini usianya tak terlalu jauh dengannya.
Mendengar teriakan dari seseorang yang sedang berlari ke arahnya, Lea pun segera menggerakan tangannya ke tombol lain untuk membatalkan gerakan pintu lift yang hendak menutup.
"Huh ... Selamat! Makasih, Mbak," ujar pemuda itu sopan sementara Lea hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum tipis.
"Mbak mau ke mana?" tanya pemuda itu sekadar berbasa-basi.
"Ke depan," jawab Lea singkat. Sejak kejadian di mana dia menemukan dirinya terbangun tanpa busana, Lea menjadi sedikit takut jika harus berinteraksi dengan orang asing.
Tak menyadari jika lawan bicaranya itu tak nyaman, pemuda itu pun kembali mengajak Lea berbicara.
"Mbaknya orang baru, ya? Saya baru liat," ujar pemuda itu sambil meneliti wajah cantik Lea.
"Iya," jawab Lea singkat lalu menundukan kepalanya agar rambut panjangnya itu menutupi wajahnya.
"Saya bikin enggak nyaman, ya? Saya bukan orang jahat, kok. Nama saya Kelvin. Rumah saya di unit 1802. Kalo saya jahat, Mbak laporin aja," ujar Kelvin sambil melemparkan senyum ramahnya.
Lea hanya menganggukan kepalanya dan berjalan keluar ketika pintu lift sudah terbuka.
"Nama Mbak siapa?" teriak Kelvin karena jarak mereka yang cukup jauh sebab Lea berjalan dengan sangat cepat.
Lea hanya diam dan terus melangkahkan kakinya semakin cepat. Lea hanya ingin hidup tenang setelah badai besar yang baru saja menghampirinya. Atau mungkin saja badai-badai lain akan ikut datang menyusul setelah badai hebat kemarin. Siapa yang tahu?
*****
Lea berjalan memasuki toko swalayan yang cukup besar itu. Kakinya menjelajahi isi toko itu dari mulai bagian sampo dan sabun, pakaian, beberapa bagian rak berisi kebutuhan sehari-hari lainnya, hingga dia berakhir di bagian sayuran dan buah.
Lea mulai memilih beberapa jenis sayuran yang mungkin akan dimasaknya nanti. Wanita muda itu juga mengambil beberapa bungkus makanan instan jika saja nanti dia berubah pikiran dan malas untuk memasak.
Setelah semua keperluannya terbeli, Lea pun berjalan keluar toko swalayan dengan menenteng beberapa kantong besar berisi belanjaannya.
Lea ingin segera kembali ke rumahnya, wanita itu ingin sekadar bersantai atau hal semacamnya. Namun tatapan mata tajam Sean yang selalu saja berhasil merobek hatinya itu kembali muncul di benak Lea.
Sambil membuang napas kasar, Lea pun berjalan menjauh dari gedung apartmentnya. Kaki wanita itu berjalan hingga sampai ke sebuah taman yang tidak terlalu jauh dari toko swalayan tempat dia berbelanja tadi.
Dengan peluh yang menghiasi wajah cantiknya karena wanita itu mengenakan hoodie tebal saat berjalan kaki, Lea pun mendudukan bokongnya di salah satu kursi taman yang rindang karena di tutupi pohon-pohon besar.
"Sebentaaaar aja," gumam Lea pelan lalu meletakan barang belanjaannya di kakinya.
Lea meluruskan posisi kakinya, berharap pegal yang dia rasakan karena berkeliling toko swalayan tadi bisa hilang segera. Tangan wanita itu pun dimasukan ke dalam saku hoodienya yang berada didepan perutnya.
Hati Lea terasa bergetar ketika jemarinya mulai membelai perutnya yang masih rata itu. Sekarang dia merasa begitu bodoh karena sempat berpikir untuk menggugurkan kandungannya.
"Kamu harus sehat terus ya, Nak. Enggak apa-apa kalo Ayah kamu nanti enggak mau ngakuin kamu. Kamu masih punya Bunda," lirih Lea. Tak terasa bulir air mata Lea terjatuh.
"Mbaknya kok nangis?" tanya Kelvin penasaran.
Pemuda bernama Kelvin itu sedang berjalan melewati taman saat Lea mulai meneteskan air matanya. Merasa mengenali siapa perempuan cantik yang tengah menangis itu, Kelvin pun segera menghampiri Lea.
Lea yang terkejut karena mendengar suara Kelvin itu pun segera menghapus air matanya kasar.
"Lo ngapain, sih?!" tanya Lea tidak santai. Wanita itu benar-benar kaget karena kehadiran Kelvin yang tiba-tiba.
"Cuma lewat. Terus enggak sengaja liat cewek cantik lagi nangis. L-lo ... abis diputusin sama cowok lo?" tanya Kelvin asal.
"Apaan, sih?!" tanya Lea yang masih saja tidak santai karena kesal diberi pertanyaan seperti itu.
"Jaahhh, galak amat." Kelvin ikut mendudukan bokongnya disebelah Lea.
Lea pun langsung bangkit dari duduknya ketika b****g Kelvin menempel dengan tepat di kursi.
"Kasih tau dulu siapa nama lo," ujar Kelvin sambil menarik lengan Lea.
"Lepas!" pekik Lea. Wanita muda itu benar-benar takut sekarang.
"Lah, biasa aja. Gue kan cuma nanya nama lo siapa," jelas Kelvin namun masih belum melepaskan genggamannya di lengan Lea.
"Tolong, lepas," lirih Lea yang hampir menangis itu.
"Nama lo du-"
"Lepas, sialan!" Tiba-tiba saja Sean datang dan langsung melepas genggaman tangan Kelvin pada lengan istrinya.
Lea kini bisa bernapas lega setelah genggaman tangan pemuda asing itu terlepas dari lengannya. Namun tetap saja air mata gadis itu mengalir deras karena begitu ketakutan.
"Jangan sok jadi pahlawan kesiangan lah, Bro. Gue kan cuma mau kenalan aja," jelas Kelvin. Sejujurnya pemuda itu memang benar-benar hanya ingin sekadar berkenalan dengan Lea. Pemuda itu pun cukup terkejut karena reaksi berlebihan dari Lea.
"Pulang!" perintah Sean tak memperdulikan ucapan Kelvin.
Kini jemari Sean mengisi ruang kosong di sela-sela jemari Lea, membuat wanita itu hanya menganggukan kepalanya, tak berani menjawab dengan suaranya.
Lea berusaha sekuat tenaganya untuk menghentikan tangisannya. Dari pada takut pada aksi yang baru saja dilakukan oleh Kelvin, Lea lebih takut lagi kalau-kalau Sean marah karena mendengar tangisannya.
"Lo siapanya, sih, Bro?" tanya Kelvin penasaran ditengah perseteruan itu.
Mendengar pertanyaan Kelvin, Lea hanya mengunci mulutnya rapat-rapat. dia tak berani untuk mengatakan apapun tentang statusnya.
"Gue? Gue itu su ...."
"Su apa, Bro?" Tanya Kelvin lagi karena kalimat menggantung Sean.
Lea mulai menerbitkan senyumnya sedikit. dia kini tengah percaya diri jika Sean akan mengatakan sesuatu tentang hubungan mereka.
*****