S E M B I L A N

1430 Kata
Sean melangkahkan kakinya memasuki klab yang pernah menjadi rumah keduanya. Sejak kejadian di mana dia terbangun tanpa pakaian, Sean berhenti datang ke klab itu dan mulai menghabiskan waktunya di salah satu tempat penyedia Rage Room yang ada di dekat rumahnya. Dentuman keras dari musik yang sudah lama tak dia dengar itu membelai telinga Sean. Kaki pemuda itu lantas melangkah ke meja bar. "Biasa," ujar Sean pada Bartender yang sering melayaninya setiap dia datang kesini. "Masalah lo dateng lagi?" tanya Bartender itu sedikit terkekeh. Sean hanya tertawa hambar, bingung untuk menjawab apa karena dia tak terlalu mengenal Bartender itu. "Nama gue Putra. Orang yang lagi stres biasanya ngadu ke gue sambil minum," ujar Bartender itu sambil menyodorkan pesanan Sean. Sean hanya mengangguk-anggukan kepalanya, tak berniat untuk bercerita seperti orang stres yang Putra sebutkan. "Gue tebak, masalah cewek, ya?" tanya Putra sambil mengelap gelas-gelasnya. Malam itu suasana klab memang tak begitu ramai, sebab Sean datang ke klab pada hari senin. "Gue heran, kenapa lo sama cewek lo bisa minum-minum kayak gitu tapi tetep bisa ketemuan. Seinget gue, lo berdua mabok parah." Putra lagi-lagi terkekeh. Sean yang mendengar ucapan Putra itu lantas mengernyitkan alisnya, heran. "Maksud, lo?" tanya Sean yang akhirnya penasaran meski dia tahu jika Putra salah mengenali orang. "Iya. Gue inget malem itu lo mabok banget sampe akhirnya lo dibawa ke atas, kan? Cewek lo juga sama. Baru minum segelas udah teler," jelas Putra. "Gue sendiri." Sean sedikit sebal karena Putra terdengar terlalu mengada-ngada. "Masa, sih? Soalnya gue emang tinggal di atas. Pas pagi, gue mau masuk ke kamar, cewek lo keluar dari kamar 213. Mukanya pucet banget. Terus pas siang, pas gue keluar mau ngambil makanan yang dianter ojek online, lo keluar dari kamar 213 juga." Putra menatap Sean dengan sebelah alis yang dinaikkan, merasa jika pemuda di hadapannya itu lupa dengan hari itu. Tak percaya dengan cerita yang dituturkan oleh Putra, Sean yang telah menenggak habis minumannya itu mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan dan meletakannya di atas meja. "Makasih," ujar Sean sambil berlalu. Putra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, bingung dengan sikap Sean yang tak bisa diajak beramah-tamah. ***** Setelah kepergian Sean, Lea pun berusaha menenangkan dirinya. "Ah, belanjaannya ketinggalan!" seru Lea kesal mengingat kejadian di sore tadi. Lea pun mengurungkan niatnya untuk membuat makanan. Wanita itu melangkahkan kakinya menuju balkon apartmentnya. Tangan Lea bergerak untuk menggeser pintu kaca yang membatasi ruangan dalam apartment dengan dunia luar. Angin malam menyambut kedatangan Lea saat pintu kaca itu berhasil ia geser. Namun wanita itu sama sekali tidak merasa kedinginan meski sang angin itu berhembus kencang. Lea pun melangkahkan kakinya lalu berpangku tangan di atas pagar balkonnya. "Lampu-lampunya keliatan cantik. Tapi sayang banget, liatnya harus dari jauh," gumam Lea pelan. Tiba-tiba saja Lea tertawa sumbang. "Kalo udah jauh emang baru keliatan cantiknya, ya? Waktu deket pasti liatnya biasa aja." Lea memandangi lampu-lampu mobil yang bergerak di bawah sana. Lea masih mengenakan pakaian yang tadi sore dia gunakan untuk pergi berbelanja keluar. Melihat sebuah kursi panjang seperti yang ada di pantai, Lea pun segera menduduki kursi itu dan meluruskan kakinya di atas kursi. Tutup kepala dari hoodie yang dia kenakan itu pun dia tarik ke atas untuk menutupi kepalanya setelah mengikat asal rambut panjangnya. Lea pun memejamkan matanya karena merasa lelah dengan rentetan peristiwa yang terjadi sepanjang hari ini, hari pernikahannya. Seharusnya wanita itu sedang dibelai manja di atas tempat tidurnya. Atau setidaknya dia bisa saling memandang sembari berbicara sampai jatuh tertidur dengan suaminya. Tangan Lea kini bergerak mengusap perut datarnya. "Maafin Bunda, ya, Nak. Hari ini kita enggak makan dulu. Besok Bunda janji, kita pasti makan makanan yang sehat dan yang banyak. Kamu boleh nambah," ujar Lea sambil tersenyum dengan mata terpejam, tak menyadari Sean yang sudah pulang itu berdiri menyaksikan kegiatannya. Mendengar ucapan Lea, sejujurnya Sean merasa iba. Dia tahu betul jika Lea sama sekali tidak menyentuh makanan selama di pesta pernikahannya yang sangat sederhana dan tertutup tadi. Sean juga tahu jika di kulkasnya itu tak berisi apa-apa dan di unit apartmentnya ini tidak ada makanan yang tersedia. Sean hendak pergi untuk membelikan Lea makanan, namun langkah kakinya terhenti saat mendengar ucapan Lea. "Maafin Ayah kamu juga, ya, Nak. Ayah kamu itu masih belum bisa nerima kamu. Pokoknya Bunda bakal usahain supaya kamu tetep bisa liat Ayah kamu nanti waktu lahir. Satu kali aja liatnya enggak apa-apa, kan? Kalo banyak-banyak, nanti Ayah enggak suka," ujar Lea lagi dengan tangan yang terus mengusap perut datarnya. Hati Sean terenyuh mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Lea. Namun lagi-lagi batinnya kembali berbisik jika memang benar mantan pacarnya sedang hamil, maka bukan dia lah yang seharusnya bertanggung jawab. Sean pun melangkahkan kakinya ke dalam kamarnya, mengurungkan niat untuk membelikan Lea makanan. "Dia udah gede. Buktinya bisa di pake. Ngapain gue repot-repot beliin makanan. Nanti dia kepedean lagi. Najis!" ujar Sean pada dirinya sendiri. Semenyedihkan apa pun Lea terdengar di telinganya, istrinya itu sudah di cap sebagai perempuan penghancur masa depannya. "Biar aja lo mati sekalian!" seru Sean pelan takut Lea mendengarnya. "Dih, kenapa gue takut dia denger? Bagus kali kalo dia denger," tanya Sean pada dirinya sendiri sambil melepaskan kaus hitam polos yang menjadi atasannya. Kaki Sean pun melangkah masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya untuk membersihkan dirinya. Setelah beberapa belas menit berlalu, Sean keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang terasa lebih segar. Sean ingin melangkahkan kakinya keluar kamar, dia ingin menjemur handuknya. Namun pikiran itu segera dia tepis. Sean kembali masuk ke kamar mandinya, menjemur handuknya di gantungan handuk yang ada di sana. Setelah selesai, Sean pun naik keatas ranjangnya tanpa memikirkan Lea yang berada di luar. Sean lalu memainkan ponselnya sampai pemuda itu jatuh tertidur. ***** Sean tiba-tiba terbangun dari tidur nyenyaknya karena merasa haus. Dia pun memutuskan untuk keluar kamarnya karena tahu jika Lea pasti sudah tertidur. Namun saat dia membuka pintu kamarnya, hembusan angin kencang lah yang pertama kali menyapanya. Sean menolehkan kepalanya, mencari sumber angin kencang itu berhembus. Alangkah terkejutnya dia saat melihat pintu kaca yang menjadi pembatas balkon dengan rumahnya itu masih terbuka. Sean melangkahkan kakinya menuju balkon. Pemuda itu lagi-lagi terkejut melihat Lea yang tertidur dengan wajah pucatnya dan bibir yang membiru seperti kedinginan. Dengan perasaan kesal, Sean pun mengangkat tubuh istrinya itu hati-hati. Sejujurnya Sean ingin membangunkan Lea dan memarahi istrinya itu. Namun melihat wajah polos yang pernah menemaninya selama tiga bulan tanpa banyak tingkah itu, Sean pun memilih menggendong Lea dan membawanya masuk kedalam kamar. Sean pun merebahkan tubuh Lea yang tengah tertidur itu. Lagi-lagi muncul perasaan familier di dalam hati Sean, seakan dia pernah melakukan ini sebelumnya. "Ck. Nyusahin aja!" seru Sean pelan sambil melepaskan pakaian Lea satu persatu. Dia hanya kasihan jika istrinya itu tidur dengan mengenakan pakaian kotor. "Enggak bakal nafsu gue sama bekas orang!" ujar Sean pada dirinya sendiri sambil menarik turun celana panjang yang Lea kenakan. Paha mulus dan kaki jenjang milik Lea menyambut Sean ketika dia berhasil melepaskan celana panjang istrinya. "Duh, kok gue jadi deg-degan gini sih?!" tanya Sean yang mulai merasa gelisah. "Najis! Najis! Masa iya gue nafsu sama bekasan orang?!" Sean berusaha menatap jijik pada tubuh Lea yang baru separuhnya dia telanjangi itu. Namun tetap saja mata pemuda itu tak bisa membohongi dirinya jika dia sekarang menginginkan Lea. Sean menghembuskan napas beratnya berkali-kali sebelum akhirnya menepis bayang-bayang nakal yang mulai memenuhi isi kepalanya. Dia pun segera melepas hoodie yang istrinya itu kenakan. Namun bukannya menghilang, bayang-bayang nakal itu malah semakin menjadi saat Sean berhasil melepas pakaian Lea. "Sialan!" seru Sean pelan, takut membangunkan Lea. "Sekali aja," ujar Sean sebelum akhirnya mencium lembut bibir Lea. Bukannya merasa puas karena telah berhasil mencium bibir istrinya itu, Sean malam semakin mabuk dan mulai menjalankan bibirnya ke arah leher Lea. Pemuda itu bahkan seperti orang kesetanan yang terus saja menghisap leher istrinya. Tiba-tiba saja Lea melenguh di dalam tidurnya. Seakan alarm untuk Sean, pemuda itu pun menghentikan aksinya. "Bego!" ujar Sean kesal pada dirinya sendiri. Dia lantas bertanya-tanya pada dirinya, mengapa dia sampai melakukan hal sejauh ini pada Lea? Belum sempat pertanyaan di kepala pemuda itu terjawab, Sean segera pergi ke ruang televisi untuk mengambil koper Lea yang ada di sana. Matanya pun menangkap celana pendek dan kaus kebesaran milik Lea yang wanita itu sampirkan di kepala sofa. Sambil membawa koper dan pakaian Lea, Sean kembali ke kamarnya dan menyempatkan diri untuk mengunci pintu balkon. Sesampainya di kamar, Sean pun meletakan koper milik Lea di dekat almari pakaiannya. Pemuda itu lalu memasangkan baju Lea yang terlihat semakin kedinginan. Namun bukan kondisi Lea yang membuatnya ingin cepat-cepat memasangkan baju, Sean hanya takut kejadian barusan terulang kembali jika melihay Lea masih mengenakan pakaian dalamnya saja. Setelah berhasil menekan bayang-bayang nakal selama memasangkan pakaian Lea, Sean pun segera merebahkan dirinya disamping istrinya itu. Tangan Sean bergerak untuk menarik selimut agar istrinya itu tidak kedingingan lagi. "Ini gue lakuin cuma atas dasar rasa kemanusiaan!" ujar Sean sebelum kembali memejamkan matanya. Tiba-tiba saja, Lea yang tidur di hadapannya itu menggerakan tangannya dan memeluk Sean. Istrinya itu juga mengusel kepalanya ke d**a bidang Sean, seolah mencari kenyamanan di sana. "Sialan! Enggak bisa tidur dah gue!" seru Sean yang tangannya kini malah membelai punggung Lea, membuat istrinya itu merapatkan pelukannya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN