T I G A

1103 Kata
Sesuai dengan perintah Miranda, kini Leandra tengah berada di perjalanan untuk menuju ke salah satu rumah sakit besar yang ada di ibukota. Alex, kakaknya yang sedang liburan kuliah, pun mengantarkannya dengan senang hati meski sebelumnya Lea mati-matian menolak untuk diantar. "Lea, kamu masih belum kepikiran buat kuliah, emang?" tanya Alex lembut. Siapa pun tahu jika seorang Alexander Fallentino benar-benar menyayangi adik satu-satunya itu. "Iya, Bang. Lea masih mau main-main dulu," jawab Lea asal. Lea kini tengah dilanda ketakutan. Takut bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk padanya. "Waktu itu, kamu bilang mau kuliah di kampus Abang? Kok enggak jadi?" tanya Alex lagi. "Emm ... itu ... biar nanti Lea pikirin lagi, deh, Bang." Lea melemparkan cengiran khasnya. Dalam hati Lea berpikir, apa sebaiknya dia berkuliah di luar negeri saja dan melahirkan anaknya diam-diam? Namun belum sempat kepalanya berpikir lebih jauh, Lea langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menepis bayangan buruk tentang masa depannya. Aku enggak hamil. Aku cuma masuk angin kayak yang Mami bilang. Lea terus mengulang kalimat itu di kepalanya tanpa memperdulikan Alex yang kini memperhatikannya. "Lea, kamu enggak apa-apa?" tanya Alex sambil memegang bahu adiknya itu. "Eh? I-iya, Bang. Enggak apa-apa," jawab Lea yang kaget. Gadis itu pun segera kembali diam dan bersikap senormal mungkin. "Kamu kok enggak mau di periksa sama Dokter Keluarga, sih? Kamu kalo sakit biasanya juga betah dirumah." tanya Alex yang sangat heran sejak dia diperintahkan oleh Miranda mengantar Lea kerumah sakit. "Cari suasana baru aja Bang. Bosen di rumah," jawab Lea meyakinkan. Setelah mendengar penjelasan adiknya dan kepala Alex mengangguk-angguk dengan mulut berkata oh, pemuda itu pun menghentikan laju mobilnya karena kini mereka sudah sampai di Rumah Sakit yang dituju. "Eh, udah sampe," ujar Lea berpura-pura tidak sadar kalau mobil Alex sudah selesai di parkirkan. "Ayo, turun," ajak Alex sambil menarik rem tangan mobilnya dan membuka seatbelt yang pemuda itu gunakan. Lea yang mengikuti gerakan Alex untuk membuka seatbeltnya itu pun tiba-tiba saja berteriak ketika Alex hendak membuka pintu mobilnya untuk turun. "Abang!" teriak Lea. "Kamu apa-apaan, sih, Lea? Abang sampe kaget," ujar Alex yang kini tengah mengusap-usap dadanya. "Itu...Abang mau ke mana?" tanya Lea hati-hati. "Mau turun, lah. Anterin kamu," jawab Alex bingung. "Itu ... Abang ... Abang di sini aja, ya? Lea mau turun sendiri aja. Abang kan tau nih, Abang ganteng. Kalo Lea turun sama Abang, nanti Lea dibanding-bandingin terus. Siapa sih, tuh cewek? Jelek banget jalan disamping orang ganteng. Gitu. Kan Lea jadi ...," ujar Lea beralasan meskipun apa yang gadis itu katakan memang sering terjadi tiap kali mereka bersisian. "Yaudah, Abang tunggu di sini." Alex tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Lea sebelum gadis itu keluar dari mobilnya. "Oke, deh. Lea turun dulu, ya." Lea pun bergegas turun dan berlarian masuk ke Rumah Sakit. Sesampainya di dalam Rumah Sakit, Lea pun melangkahkan kakinya menuju meja informasi. "Mbak, maaf. Kalo mau ke Dokter Spesialis Kandungan di mana, ya?" tanya Lea malu-malu. "Mbak naik ke lantai dua. Nanti di sebelah kiri lift ada pintu kaca. Mbak nanti masuk aja kesana. Didalemnya ada tempat buat daftar. Nanti kalo udah daftar, tinggal tunggu aja dipanggil," jawab seorang wanita yang berdiri dibalik meja informasi itu. Setelah mendapatkan jawaban dan mengucapkan terima kasih, Lea pun pergi sesuai arahan wanita itu. Kini Lea sudah duduk mengantri panggilan setelah sebelumnya mendaftarkan diri dan membayar sejumlah uang untuk biaya pendaftaran. Beruntung antrean untuk memeriksa kandungan tidak terlalu ramai. Meski begitu, Lea tetap saja merasa risih dengan tatapan pasien lain yang seakan menelanjanginya. "Leandra Fallentina." Seorang wanita cantik mengenakan pakaian perawat itu memanggil nama Lea. Lea yang merasa namanya di sebut itu pun segera menghampiri petugas yang menyebutkan namanya tadi dan diantar masuk kedalam ruangan periksa. "Selamat siang," sapa seorang wanita paruh baya yang mengenakan jas putih—Dokter. "Selamat siang, Dok," sapa Lea sembari menarik kursi dan duduk di hadapan Dokter Rita yang namanya tertulis di sebuah papan kecil yang berada di atas mejanya. "Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Dokter Rita ramah. "Em ... gini, Dok. Saya baru sadar tadi, sih. Saya udah telat haid delapan hari. Terus tadi pagi juga badan saya enggak enak. Masuk angin, sih. Tapi, rasanya beda aja." Lea menjelaskan. "Baik, mari kita periksa dulu, ya." Dokter Rita pun mempersilahkan Lea untuk berbaring di atas ranjang periksanya. Setelah melewati serangkaian proses pemeriksaan, Lea pun kembali duduk berhadapan dengan Dokter Kandungan itu untuk mendengarkan apa yang terjadi padanya. ***** Alex tengah duduk di dalam mobilnya yang kini sebelah jendelanya terbuka. Dia sedang memainkan ponselnya ketika sebuah mobil berjalan masuk ke parkiran kosong yang ada di sebelahnya. Tak lama, Si Pengemudi mobil itu turun dan berlari untuk membuka pintu mobil yang ada di sebelah Alex. Alex yang tengah memainkan ponselnya itu menangkap sosok pemuda tinggi nan tampan dari sudut matanya. Seorang wanita paruh baya, mungkin seusia Miranda, turun dari pintu mobil yang dibuka oleh pemuda tampan itu. "Bun, jangan lama-lama, ya. Sean mau main futsal," ujar pemuda itu yang terdengar di telinga Alex. "Ck. Kamu baru anterin Bunda sekali aja, udah bawel banget, sih," ujar Maharani. "Yaelah, Bun. Kan—" "Lho? Kamu bukannya anaknya Miranda, ya?" tanya Maharani yang tak sengaja melihat jendela mobil yang berada di sebelahnya, memotong kalimat Sean. "Eh? Tante kenal sama Mama saya?" jawab Alex sopan. "Iya. Ngapain di sini?" tanya Maharani lagi. "Ini, Tante, nganterin Lea," jawab Alex lagi. Mendengar nama Lea disebut, tanpa sadar Sean memutar matanya jengah dan itu tidak terlepas dari perhatian Alex yang heran. "Sean kamu kok udah enggak per—" "Ayo, cepet, Bun. Malah ngobrol," ujar Sean dingin memotong kalimat ibunya yang hendak bertanya mengapa Leandra tidak pernah datang lagi ke rumah mereka. "Nih, anak. Yaudah, Tante duluan, ya." Maharani pamit, pergi meninggalkan Alex yang kini tengah bertanya-tanya dengan sikap Sean yang sepertinya tak suka mendengar nama adiknya disebut. Ketika menolehkan kepalanya, Alex tak sengaja melihat ponsel Lea yang tertinggal di kursinya. "Kebiasaan dari dulu, sama hp pasti aja lupa." Alex sedikit tersenyum mengingat tingkah adiknya itu sebelum menyambar ponsel Lea dan pergi keluar meninggalkan mobilnya yang sudah dia kunci. Alex berjalan masuk menuju meja informasi, berniat untuk bertanya tentang letak Poliklinik Umum. "Mbak, Poli Umum di mana ya?" tanya Alex langsung tanpa berniat berbasa-basi. "Di lantai dua, Mas. Di sebelah kanan lift ada pintu kaca. Langsung masuk aja. Ada meja pendaftarannya kok di sana," jawab petugas itu gelagapan karena ketampanan Alex. Setelah berterima kasih, Alex pun melangkahkan kakinya sedikit cepat agar dia bisa memberikan ponsel adiknya itu, takut jika ada hal penting namun Lea tidak menyadarinya. Alex yang tak fokus itu malah melangkahkan kakinya ke arah kiri. Pemuda itu melewati pintu kaca tanpa membaca jika tempat yang dia kunjungi adalah Poliklinik Kesehatan Ibu dan Anak. Alex terkejut ketika mendapati ibu-ibu hamil dan beberapa balita ada di tempat itu. Namun pikirannya yang selalu positif itu segera menepis bayangan jika dia salah masuk Poliklinik. "Mbak, Adik saya hpnya ketinggalan. Coba tolong di cek, nama Leandra Fallentina udah masuk atau belum?" tanya Alex langsung pada petugas yang berjaga di balik meja pendaftaran. "Oh, orang yang anda cari ada diruangan itu, Mas. Udah masuk dari tadi. Masnya kalo emang Kakaknya, masuk aja enggak apa-apa," jawab petugas itu. Mendapat penjelasan seperti itu, Alex pun segera mendatangi ruangan yang ditunjuk petugas itu lalu membuka pintu ruangannya. *****  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN