D U A

1073 Kata
Lea membuka matanya dengan pening yang dahsyat menghinggapi kepalanya. "Sshh." Lea meringis ketika dia menggerakan kakinya yang terbungkus selimut itu, hingga akhirnya Lea memutuskan untuk memejamkan kembali matanya. Hawa dingin menusuk kulit Lea, namun sesuatu yang bergerak di perut mulusnya malah membuat Lea mengabaikan rasa dingin itu. Tiba-tiba saja tangan yang melingkar di perut gadis itu semakin mengeratkan pelukannya, seolah takut jika Lea akan pergi meninggalkannya. Perbuatan Sean yang berada di balik tubuh Lea membuat gadis cantik itu terlonjak kaget. Kesadarannya yang baru setengah di dapatkan itu kini sudah sepenuhnya kembali. Lea pun membuka lebar-lebar matanya dan menyadari jika dia sedang tidak berada di kamarnya. Manik mata gadis itu tak sengaja mendapati pakaian yang berceceran di lantai berbalut beludru tebal itu. Kini tubuh Lea menegang. Lea menundukan kepalanya untuk melihat keadaan tubuhnya yang sekarang terasa dua kali lipat lebih dingin dari sebelumnya. Jantung gadis itu mencelos saat melihat tubuhnya sudah tak berbalut hoodie kesayangannya yang seingatnya dia pakai saat datang ke klab. Dengan gerakan pelan, Lea menyibak selimut yang membalut setengah bagian tubuhnya, mulai dari perut sampai ke ujung kakinya. Sebuah lengan yang melingkar di perutnya membuat tubuh gadis yang semulanya menegang itu kini melemas selemas-lemasnya. Dengan perlahan, Lea menyingkirkan lengan itu dari tubuhnya, takut membangunkan orang yang tertidur di belakangnya. Kini gadis itu tengah duduk di tepi kasur empuk yang seharusnya terasa nyaman. Lea menangis sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Lea tahu, sesuatu yang buruk pasti telah terjadi pada dirinya. Mengingat bagaimana dia bangun dengan pangkal paha yang sakit dan bagaimana tubuhnya tanpa sehelai benang yang melekat. Lea bangkit dari duduknya dan segera mengambil pakaiannya dengan gerakan cepat, meski sekujur tubuhnya itu terasa ingin remuk, Lea pun mengenakan pakaiannya. Sebelum memutuskan untuk meninggalkan kamar itu, Lea membalikan tubuhnya. Setidaknya dia harus tahu siapa yang akan bertanggung jawab pada dirinya nanti jika terjadi sesuatu yang besar. Entah nasib baik atau nasib buruk yang tengah menimpa dirinya, Lea menemukan Sean, mantan kekasihnya yang selama tiga bulan belakangan ini sudah menjalin hubungan dengannya, sedang tertidur di kasur yang tadi dia tiduri. Lea merutuki nasibnya. mengapa dia harus berurusan lagi dengan Sean setelah pemuda itu memutuskannya tanpa alasan satu minggu yang lalu? Lea pun segera pergi dari kamar itu. dia tak mau jika Sean bangun dan melihatnya ada di sana. Lea belum siap berhadapan dengan Sean dan mulut pedasnya. ***** Sean membuka matanya. Cahaya yang menerangi kamar yang ditempatinya itu cukup mengganggu penglihatannya. Tangan Sean bergerak untuk mencari ponsel di saku celananya. Namun alangkah terkejutnya Sean karena bukan celananya yang dia pegang, melainkan pahanya yang tak terbalut busana. Sean pun langsung bangkit dari tidurnya dan menyibak selimutnya. Matanya hampir melompat keluar saat Sean menemukan dirinya tengah bertelanjang bulat. Namun pemuda itu segera menghela napas lega saat tak menemukan seorang pun di dalam kamarnya. Sean yakin dia tak melakukan kesalahan apa pun semalam. Sean pun segera mengambil pakaiannya dan langsung memakainya. Setelah itu Sean berlalu pergi meninggalkan kamar yang disewanya itu tanpa menyadari bercak darah di atas seprai akibat perbuatannya. ***** Satu bulan telah berlalu sejak kejadian di mana Lea menemukan dirinya tidur bersama Sean. Selama itu, Lea terus saja mengurung dirinya dirumah. Berutung mereka baru saja lulus sekolah. Apa jadinya jika terjadi sesuatu dengan Lea saat wanita itu masih duduk di bangku sekolah? Lea ingat betul jika malam itu adalah hari kelulusannya. Seharusnya dia datang bersama Sean ke malam perpisahan sekolah mereka sesuai dengan janji yang sudah mereka buat jauh-jauh hari. Namun, sialnya Sean malah memutuskannya waktu itu. Lea masih bingung dengan apa yang menjadi alasan Sean untuk memutuskan hubungan dengannya. Padahal, selama tiga bulan bersama, Sean kerap berlaku manis padanya meski tidak terlalu banyak berbicara. Ah, sekarang sepertinya Lea sudah mengerti jalan pikiran Sean. Seperti pendekatan mereka yang singkat dan tiba-tiba saja, seperti itu pula Sean bersamanya lalu meninggalkannya. Lea mulai berpikir, sepertinya Sean sedang menjadikannya bahan taruhan. Dilihat dari bagaimana pemuda itu mendekati Lea, memacarinya, kemudian memutuskannya, dan yang terbaru, pemuda itu sudah merenggut hal yang paling berharga untuk Lea. Sekarang Lea hanya berharap, jika malam itu setidaknya Sean menggunakan pengaman. Lea masih sangat muda untuk menjadi seorang ibu. Apa lagi dia tak tahu harus berkata apa nanti tentang ayah dari anaknya. "Leandra, cepat turun dan makan makanan kamu!" Suara Miranda, ibunda Lea, terdengar dari balik pintu kamarnya yang terkunci itu. "Ck! Iya, elah!" jawab Lea yang terlonjak kaget karena sedang duduk termenung di tepi kasur. Lea pun segera membuka pintunya dan mendapati Miranda yang tengah bersedekap dengan tatapan sinis kepadanya. "Punya anak perempuan satu kerjanya ngereeeem terus. Mami tuh heran ya, Le, sama kamu! Pergi ke mana, kek. Temenin Mami belanja, kek. Ini kerjanya dirumaaah terus. Kamu itu ditanya mau kuliah di mana, jawabnya enggak tau. Ditanya mau kerja di perusahaannya Papi apa enggak, kamu jawabnya juga enggak tau! Jadi batang pohon pisang aja sana kamu, biar bisa tiduran terus!" keluh Miranda panjang lebar memarahi putri satu-satunya itu. "Mami, ih! Kalo ngomong jangan sembarangan, dong! Emang Mami mau anaknya jadi batang pohon pisang?! Lagian udah Lea bilangin juga, jangan manggil Lea Le, Le, aja. Gara-gara Mami, di sekolah Nata manggil Lea Lele tau, enggak?!" jawab Lea yang sebal karena ibunya sudah marah-marah saja pada dirinya sepagi ini. "Emang nama kamu Leandra. Terus kamu maunya Mami panggil apa? Nona?" Miranda bertanya lagi tak kalah sengitnya. "Boleh," jawab Lea sambil menjulurkan lidahnya. Sontak saja perbuatan Lea itu memancing amarah Miranda yang langsung memukuli tangan Lea. "Ngomong apa tadi? Hah? Ngomong apa? Minta maaf, enggak! Mami enggak bakalan berenti sampe kamu minta maaf!" ujar Miranda yang terus saja memukuli putrinya itu. Lea hendak meminta maaf, namun tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Perutnya pun terasa bergejolak. Mengabaikan Miranda yang masih saja menggerakan tangannya dengan gerakan memukul itu, Lea berlari masuk kedalam kamarnya. Wanita itu segera membuka pintu kamar mandinya dan memuntahkan isi perutnya yang bahkan masih kosong itu ke atas wash basin. Melihat anaknya muntah-muntah seperti itu, Miranda langsung berjalan menghampiri Lea. Diusapnya perlahan punggung anak perempuannya itu sementara tangannya yang satu lagi Miranda gunakan untuk menahan rambut panjang anaknya agar tidak terkena kotoran. "Aduh, kamu sih, Le, kalo makan terlambat terus. Sampe Mami yang udah tua ini harus selalu samperin kamu dulu ke kamar buat nyuruh kamu makan. Makan yang bener, dong. Kalo kamu mengapa-mengapa kan Mami juga yang sedih," ujar Miranda dengan tangan yang terus mengusap punggung Lea. Mendengar penuturan ibunya, air mata Lea tiba-tiba saja terjatuh. Bagaimana jika dia bukan sekadar masuk angin seperti yang ibunya katakan? Dia pasti akan menghancurkan hati ibunya itu nanti. "Eh, kamu malah nangis. Mami enggak manggil kamu Le, Le, lagi deh. Apa jangan-jangan kamu nangis gara-gara tadi Mami kekencengan, ya, mukulnya? Maafin Mami, ya, Leandra," ujar Miranda malah semakin membuat putrinya itu terisak. Setelah perutnya terasa lebih baik, Lea pun segera mencuci mulutnya. Tubuh gadis itu lalu berbalik dan memeluk erat Miranda. Lea tahu, dirinya sudah menjadi anak yang gagal untuk orang tuanya. Terutama untuk Miranda yang begitu menyayanginya. "Maaf, Mi," ujar Lea di sela-sela tangisannya. ******  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN