Jangan Pergi!

1114 Kata
Potongan pakaian sepasang insan manusia berserakan di lantai kamar. Di dalam ruangan yang sangat privasi itu, mereka baru saja menyelesaikan penyatuan tubuh dengan mesra. Kini yang tersisa hanya separuh tenaga yang mulai pulih, dan sisa kemesraan itu masih terlihat nyata. Sepasang sejoli itu berpelukan erat di balik selimut, seakan enggan kehilangan momen barang sedetikpun. Wanita itu menjulurkan tangannya keluar dari balik kehangatan selimut, meraih benda pipih yang tergeletak di meja. Bukan hanya miliknya, namun juga ponsel kekasihnya ikut ia ambilkan. Satu-satunya alat komunikasi andalan yang tidak boleh lepas dari mereka. “Apa kamu sungguh akan pulang besok? Tidak bisakah diperpanjang lagi Visamu?” Ujar Ilona, terlihat jelas wajah kecewanya yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Setelah terbuai dengan kemesraan, perhatian serta cinta yang diberikan pria di sampingnya, kini ia harus rela ditinggal sementara karena masalah kewarganegaraan yang berbeda. Ye Jun mengaktifkan ponselnya, tak sabar lagi menyatakan balasan pada kekasihnya yang menanti responnya itu. Wajah sendu Ilona membuat ia tidak tega melihatnya, namun apa daya, kendala terbesar mereka saat ini memang belum bisa dihindari. Perpisahan ini harus terjadi. “Bersabarlah sebentar ya, ini memang cobaan buat hubungan kita. Aku juga sama, tidak rela jauh dari kamu. Tapi apa boleh buat, nantinya kita pasti bersama lagi.” Jawab Ye Jun, tentu saja dengan mengandalkan aplikasi penerjemah dari ponselnya. Sepasang kekasih yang terlampau nekad jatuh cinta, meskipun tahu terlalu banyak perbedaan yang mereka miliki. Cinta jarak jauh yang hanya lintas provinsi saja kadang menguras emosi dan kesabaran, bahkan tak jarang dipenuhi dengan drama. Apalagi cinta mereka yang terpaut jarak begitu jauh, antara Jakarta dan Seoul. Ilona dan Ye Jun sadar dengan kondisi itu, tapi apa daya jika cinta sudah terlanjur mengalahkan logika. Mereka hanya bisa pasrah dan berlomba sabar menjalaninya. Jawaban Ye Jun jelas kurang memuaskan, tidak ada ungkapan yang bisa membuatnya tenang. Terlebih tidak ada kepastian sebagai bukti bahwa pria itu bisa dipercaya. “Bagaimana kalau kamu tidak kembali? Kalau nantinya, setelah di sana kamu justru melupakanku....” Lirih Ilona, tak sanggup meneruskan kata-katanya. Sayangnya suara lirihnya yang menyedihkan itu tidak didukung penuh oleh perangkat komunikasi yang menjadi penghubung mereka. Suara yang diterjemahkan oleh mesin itu justru menyampaikan kata-katanya dengan suara datar. Tapi mereka sudah terbiasa, bahkan sejak awal berkenalan, mereka tidak jauh dari ponsel. Ye Jun meraih tangan Ilona, menggenggamnya erat namun lembut. Sepasang mata teduhnya menatap wanita itu, seolah ingin wanita itu percaya apa yang akan dikatakannya tanpa sedikitpun keraguan lagi. “Percayalah, aku pasti akan kembali padamu. Ketika nanti aku datang, maukah kamu ku jemput ke negaraku?” Sepasang alis Ilona mengerut hingga nyaris menyatu, ia perlu menatap ke dalam manik mata pria itu, mencari kesungguhan pria itu sebelum menyatakan jawabannya. Bisakah Ilona mempercayai ucapan pria itu? Ah, lebih tepatnya ajakannya untuk ikut ke Seoul? “Maksudmu menjemput? Mau mengajakku jalan-jalan ke sana?” Tanya Ilona, wajib baginya untuk memastikan sebelum terlanjur gede rasa. Ye Jun malah menampilkan senyum manisnya, satu dari sekian banyak keistimewaan yang Oppa itu miliki selain wajahnya yang tampan. Pria itu memiliki sepasang mata yang teduh, sedikit sipit namun tetap terlihat bagus, hidung bangir, sepasang alis hitam lebat, dan kulit putih merona. Ia terlihat begitu mencolok jika berada di kerumunan, saking tampan parasnya itu. Wajar bila Ilona akhirnya luluh dengan pengakuan cinta si Oppa, walaupun mereka baru kenal dua minggu. “Bukan hanya jalan-jalan, aku ingin membawamu tinggal di sana. Kita akan menetap di sana setelah menikah. Apa kamu bersedia ikut denganku?” Tanya Ye Jun, sebenarnya ia mengutarakan niatnya dengan sungguh-sungguh, hanya saja suara mesin penerjemah begitu merusak momen itu. Setiap kali mendengar suara datar mesin itu, Ye Jun selalu merutuki dalam hati, bahwa ia tidak bisa terus-terusan bergantung pada sebuah alat. Ia atau Ilona harus bisa menguasai salah satu bahasa di antara mereka. Masalahnya, siapa yang mau mengalah? Ye Jun yang harus belajar bahasa Indonesia dan menetap di Jakarta, ataukah Ilona yang mau tak mau harus menguasai bahasa Korea karena akan diboyong ke sana. Pipi Ilona bersemu, perlu beberapa detik baginya untuk mencerna kata-kata Ye Jun barusan. ‘Dia mau mengajakku tinggal di sana setelah menikah? Apa berarti dia mau melamarku?’ Ilona menggelengkan kepalanya berulang kali, berpikir bahwa dengan cara itu bisa menghilangkan rasa groginya saat ini. Ia terlalu bahagia sehingga belum siap jika dilamar secepat ini. “Aku... Aku....” Ilona menyatukan dua jemari telunjuknya, mengetuknya berulang kali setelah hanya menjawab kata ‘aku’. Ye Jun tampak tak sabaran menunggu responnya, ia tidak bisa menebak maksud Ilona yang hanya berupa isyarat saja. “Aku tidak mengerti.” Ungkap Ye Jun, polos. Ilona menyengir, baru sadar kalau pria itu kurang peka. Belum bisa membaca isi hatinya, padahal ia berpikir jika sepasang kekasih yang saling mencintai, tentu punya kontak batin dan kadang malah bisa tahu apa yang pasangannya mau tanpa perlu diungkapkan. Tampaknya itu tidak terjadi pada Ye Jun. Ilona pun mendekatkan bibirnya pada ponsel kemudian mengatakan jawabannya. “Aku masih muda, belum terpikir untuk menikah. Apa tidak terlalu cepat kita bahas ini? Tapi bukan berarti aku tidak mau....” Sedetik kemudian, Ilona menyadari kesalahannya. Tak seharusnya ia blak-blakan tentang kemauannya. Toh Ye Jun belum menyatakan akan melamarnya, hanya menyatakan rencana tentang masa depan yang entah kapan datang menyambut mereka. Justru sekarang Ilona lah yang terkesan tergesa-gesa. Si Oppa tertawa kecil seraya mengacak rambut Ilona dengan gemas. Wanita itu sungguh blak-blakan dan kurang bisa menutupi apa yang ia pikirkan. Itulah sebabnya, Ye Jun merasa Ilona cukup menarik, tak seperti wanita kebanyakan yang sudah menutupi diri seolah memakai topeng hanya untuk mencari perhatiannya. “Kalau menikah sekarang pun aku belum siap. Apa kamu bersedia di lamar dengan kondisi seperti ini?” Ye Jun sengaja menyibak selimut yang menutupi tubuh polos mereka. Sontak Ilona terkesiap lantaran suhu udara di dalam kamar itu terasa cukup dingin. Sayangnya saat hendak meraih selimut itu untuk berlindung dan mencari kehangatan, Ye Jun malah menahannya. Pandangan mereka kembali beradu saat Ilona tak berhasil merebut selimut yang telah dikuasa Ye Jun. Ponsel yang sedari tadi mereka genggam pun seakan tak berguna lagi, tergeletak begitu saja di atas ranjang. Kini keduanya tengah sibuk berebut kain tebal penutup tubuh. Ye Jun membuang selimut itu ke lantai, tangannya langsung menarik tubuh polos Ilona dalam pelukannya. Kulit dan kulit itu saling bertemu lagi, menciptakan gesekan yang mendebarkan. Ilona bisa merasakan degup jantung pria itu berdetak kencang, begitupula dengan dirinya. Jarak wajah mereka semakin dekat, Ye Jun langsung berinisiatip memagut bibir tipis Ilona dan langsung disambut oleh wanita itu dengan mata yang terpejam. Tangan pria itu mulai berselancar, menelusuri lekuk-lekuk yang sudah ia jelajahi sebelumnya. Desahan napas wanita itu mulai terdengar, kian menambah semangat sang pria untuk lebih gencar. Mereka kembali melakukan hubungan itu, menyatukan dua tubuh demi mencapai kenikmatan bersama. “Dont leave me!” Desis Ilona lirih tepat di daun telinga Ye Jun, detik berikutnya desis itu berganti erangan penuh kenikmatan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN