Berat Berpisah

1045 Kata
Sepanjang apapun malam yang dilewati dengan penuh kemesraan, tetap akan berakhir seiring dengan fajar yang menjelang. Ilona dan Ye Jun berusaha bertahan satu malam suntuk, menghabiskan waktu mereka untuk saling mengenal. Berharap detik bergulir lebih lambat dari biasanya, agar mereka tidak segera dipisahkan karena waktu. Dua minggu kebersamaan dan tinggal sekamar di manapun mereka pergi, akhirnya harus disudahi sementara. Ilona menghela napas panjang, ketika mematut diri di hadapan cermin yang menampakkan dirinya hingga di ujung kaki. Wajah cemberutnya tak bisa dinetralisir, sekalipun ia memaksakan diri untuk tersenyum, tetap saja rasanya sangat menyesakkan. “Lagian cewek mana sih yang bisa ketawa senang kalau mau ditinggal pergi pacarnya? Huft... Ayolah Ilona, jangan cengeng begini!” Gerutu Ilona pada dirinya sendiri. Suara pintu kamar mandi yang terbuka, langsung mengalihkan perhatian Ilona. Wanita itu langsung menoleh ke arah pintu dan mendapati senyuman manis dari pujaan hatinya. “Kamu sangat cantik.” Celetuk Ye Jun dengan bahasa Indonesia. Tidak sia-sia ia menghapalkan kata pujian yang didapatnya dari blog. Ilona tercengang, bibirnya sedikit terbuka saking shocknya. Ye Jun mulai gede rasa, mengira Ilona menyukai apa yang ia lontarkan. Reflek ia menyibak rambutnya yang masih setengah basah, untung saja basah hingga tidak berefek seperti rambut yang dikibaskan dan diterpa efek angin. “Ha ha ha....” Tawa Ilona pecah, saking terpingkal-pingkalnya sampai ia memegangi perutnya. Sikap Ye Jun barusan sungguh mengocok perutnya, membuat ia tak sanggup menahan geli. Logat bahasa Indonesia yang terucap dari Ye Jun begitu lucu, kaku dan mengaburkan makna sesungguhnya. Ilona bukannya terpana, ia justru merasa Ye Jun barusan membuat lelucon yang berhasil membuatnya melupakan sejenak kegundahannya. Ye Jun manyun, tidak terima niat baiknya memuji Ilona justru dibalas dengan suara cekikikan yang belum juga berhenti. Pria itu berjalan melewati Ilona dengan bibir yang dimonyongkan, tak terima jadi bahan tertawaan. Ia memilih segera mengenakan pakaian, mempersiapkan diri untuk segera pulang ke tempat asalnya. Tawa wanita itu tak terdengar lagi, Ye Jun pun tidak penasaran dan tetap fokus mengenakan kemejanya. Hingga ia terkesiap saat merasakan ada sepasang tangan melingkar di pinggangnya dari belakang. Ilona memeluk pria itu dengan sepasang mata yang tertutup, ingin sejenak menikmati hangatnya tubuh itu sebelum tidak bisa ia sentuh lagi. Keduanya hening, Ye Jun bahkan menjeda sejenak aktivitasnya, membiarkan celana panjangnya masih tergeletak di ranjang, belum menutupi tubuh bawahnya. Perlahan ia membalikkan tubuhnya, tidak tega membiarkan Ilona berhadapan dengan punggung kekarnya. Saat tubuh keduanya saling berhadapan, Ye Jun menatap dalam manik mata Ilona. Dari pancaran sinar mata wanita itu, ia bisa merasakan kesedihan yang kentara. Membuat Ye Jun sadar, ia lebih senang ditertawakan seperti tadi ketimbang harus melihat kerapuhan hati wanita itu sekarang. Ia benci membuat wanita itu sedih, namun apa daya? Mereka sungguh terbatas oleh kondisi. Ye Jun menghela napas panjang, ia pun melonggarkan jarak dari tubuh Ilona dan meraih ponselnya. Ye Jun mengucapkan kata-kata dalam bahasanya dengan tatapan yang terus tertuju pada Ilona. Mereka saling bertukar pandang tanpa sekalipun berkedip, seakan berat kehilangan bayang mereka walau sekejap. “Apa kamu ikut saja denganku?” Ilona terkesiap mendengar ajakan mendadak yang terkesan konyol itu. Jelas mustahil bisa mengajaknya berangkat bersama tanpa persiapan apapun. “Kamu mengejekku? Bagaimana bisa kamu mengajak orang yang tidak punya Visa?” Jawab Ilona tampak sebal. Ye Jun nyengir, sungguh repot bicara dengan makhluk bernama wanita. Serba salah! Ini salah, itu salah. Bahkan bentuk perhatian pun bisa disalah artikan ketika makhluk bernama wanita itu tengah badmood. Ia pun kembali mendekatkan ponsel di bibirnya, mengucapkan kata-kata yang lumayan panjang lalu menyodorkan benda pipih itu hingga terjangkau oleh lawan bicaranya. “Kalau kamu mau, aku bisa membawamu dengan pesawat pribadi. Kamu bersedia ikut denganku atau tidak?” Ujar mesin penerjemah itu, diimbangi dengan tatapan lekat dan serius dari Ye Jun. Ilona malah ternganga, nyaris tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Bukannya menjawab, ia malah menempelkan tangannya ke jidat Ye Jun, memeriksa suhu tubuhnya yang mungkin bermasalah hingga menjalar ke otaknya. “Tidak panas, malah lebih panas jidatku.” Gumam Ilona membandingkan dengan dahinya yang kini ia raba dengan tangannya. Ia kembali melirik Ye Jun, seperti hendak menyelidikinya habis-habisan. “Fix, kamu pasti sedang bercanda. Tapi aku tidak bisa tertawa, ini tidak lucu. Kamu bicara seakan kamu sangat berkuasa. Oh, apa kamu beneran orang kaya di sana? Hmm... Apa ada yang kamu tutupi dariku?” Ilona memincingkan sepasang matanya, menatap heran pada si Oppa yang malah diam, terkesan mencurigakan. Tak bisa dipungkiri, waktu dua minggu dengan kendala bahasa dan budaya, tentu saja tidak bisa membuat mereka terbuka lebih dalam satu sama lain. Namun di sisi Ilona, ia merasa pria itu sudah mengetahui banyak tentang dirinya. Bukan hanya masalah pribadi, namun mereka sudah merambah pada kedekatan yang cukup intim. Sepertinya Ilona baru menyadari bahwa ia terlalu naif, setelah jiwa dan raganya telah ia serahkan pada seorang pria yang bahkan belum ia kenali betul, sekarang apalagi yang tersisa dari dirinya setelah pria itu pergi? Ye Jun pun ikut terdiam, raut wajahnya tampak serius dan sekilas Ilona bisa melihat tatapan sendu dari pancaran sinar mata pria itu. Seolah membenarkan tudingan Ilona barusan, bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Ye Jun. Pria itu menghela napas panjang kemudian mencoba tersenyum lagi kepada wanitanya. “Aku tidak sehebat yang kamu pikirkan, aku hanya orang biasa di sana. Pekerja keras yang masih harus berjuang keras untuk kaya.” Gumam Ye Jun lewat ponsel pintarnya. Ilona tetap melirik Ye Jun dengan sorot tak percaya, mencoba menelisik lebih dalam untuk menemukan kejujuran dari pengakuan pria itu. Entah mengapa ada keraguan yang menyelinap dalam hatinya, ia tak sepenuhnya bisa mempercayai omongan pria itu. “Lalu kenapa tadi sok-sokan mau membawaku dengan pesawat pribadi? Kamu mengejekku!” Geram Ilona, setelah ponselnya menyampaikan terjemahan, ia langsung menjewer daun telinga Ye Jun dengan gemas. Pria itu meringis, bukan kesakitan namun geli. Dengan sigap ia menangkap tangan Ilona yang nakal menjewernya. Cengkeraman tangan itupun mengudara, terdiam di sana beberapa detik dan mereka saling berpandangan. Namun Ye Jun kembali mendekatkan ponselnya, ia harus menyatakan sesuatu untuk meyakinkan kekasihnya. Tak bisa ia bayangkan jika harus berpisah dalam kondisi hati yang masih mengganjal. “Ilona, aku tahu ini berat untuk kita. Tapi jika kamu mau, aku bisa mempercepat pertemuan kita selanjutnya. Kamu hanya perlu menjawab ya atau tidak, apakah kamu mau ke tempatku? Jika ‘ya’, aku akan segera mengurus keberangkatanmu sesampainya aku ke sana. Jika ‘tidak’, maka kita harus sedikit bersabar sampai aku sempat untuk datang kembali.” Ujar Ye Jun, kali ini ia sungguh-sungguh meminta. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN