Pria Berbaju Hitam

1841 Kata
Hilton Molino Venice menyambut kami, hotel berbintang lima dikota yang indah akan kanal, dengan restoran yang sangat mewah, bar berkelas internasional dan juga kolam renang diatap. "Hotel yang sangat mewah, sayang” kataku menoleh ke Alvaro sambil tersenyum. “Satu-satunya hal yang penting adalah tempat tidur yang bagus, lemari es yang diisi dengan vodka, dan cuaca cerah” kata Roy. "Aku tidak peduli tentang hal lain." “Benar, dan aku lupa ini akan menjadi perjalanan dengan pesta minum-minum. Sekarang aku merasa kesal karena tidak menjadi pecandu alkohol seperti kalian semua” jawabku dengan seringai pura-pura kesal. "Aku lapar. Apa kalian tidak ingin makan? ayo makan di luar hari ini, aku ingin bisa mencicipi polenta dan anggur" “Kamu mengatakan seperti pecinta anggur dan sejenisnya sayang" kata Alvaro sambil menyeringai, melingkarkan lengannya yang besar di bahuku. Semua sama-sama lapar, kami membongkar barang-barang kami dengan cepat, dan setelah lima belas menit bertemu di koridor antara kamar kami. Dengan sedikit waktu yang aku miliki, sayangnya tidak cukup waktu untuk mempersiapkan diri secara memadai untuk pergi keluar, akhirnya memilih gaun hitam panjang tanpa lengan, sepasang sandal jepit hitam, tas pinggiran kulit hitam, jam tangan emas, dan anting bulat kecil. Aku buru-buru mengoleskan lipstick dan maskara, yang sudah memudar setelah penerbangan, dan kemudian membedaki wajahku. Anya dan Roy menatapku dengan terkejut saat aku keluar kamar. Mereka masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang mereka kenakan selama penerbangan. “Bagaimana kamu bisa berganti pakaian? Kamu sepertinya punya waktu berjam-jam untuk bersiap!” Anya bergumam saat kami berjalan ke lift. “Kamu punya bakat untuk minum berlebihan, tapi aku juga punya satu atau dua trik. Mempersiapkan semua di otakku, jadi sudah bisa mempersiapkan diri dalam beberapa menit”. “Baiklah, hentikan perdebatan kalian, saatnya kita minum” ucap Alvaro. Kami berempat menyeberangi lobi hotel menuju pintu keluar. Hilton Molino Venice di malam hari adalah tempat yang indah. Melewati jalanan kecil diatas kanal yang dihubungkan oleh jembatan kecil, dihadapkan keindahan bangunan kota Soduro yang berbatasan dengan laut. Untuk berpergian jauh harus menggunakan gondola, juga ada gondola yang khusus disewakan untuk para wisatawan berkeliling di kanal-kanal kota Venezia yang diantar oleh gondollers ke tempat-tempat yang menarik pada siang hari. Anya menunjuk ke sebuah restoran yang tidak jauh dari hotel, berjalan sepuluh menit menyebrangi dua kanal, menghadap kota Soduro di tepi laut bernama Ostaria. Itu adalah tempat yang berkelas dengan meja tertata kain layar putih merah melambai dan beriak tertiup angin, kursi kayu berpayung. Restoran itu dibagi menjadi dua tempat, sebagian diluar menghadap laut, sebagiannya didalam ruangan terang dan semilir yang sangat sempurna. Harganya agak curam, tetapi dipenuhi orang. Alvaro melambai pada seorang pelayan, dan dengan insentif cepat beberapa euro, kami duduk dengan nyaman dan membaca menu dalam waktu singkat. Pakaian yang ku kenakan tidakm dapat membuat berbaur dengan lingkungan direstoran. Aku merasa mata semua orang tertuju padaku. Dengan semua putih itu, pakaian hitamku membuatku menonjol seperti suar hitam. "Aku merasa diawasi, tapi siapa yang kenal dengan kita” bisikku kepada Alvaro dengan senyum bodoh. Dia melihat sekeliling dengan bingung, mencondongkan tubuh ke telingaku, dan berbisik, “Kamu paranoid, sayang. Selain itu, kamu terlihat menakjubkan. Biarkan mereka melihat.” Aku memindai tempat itu lagi. Pada pandangan pertama, tidak ada yang melihat ke arahku, tetapi saya memiliki perasaan aneh seperti sedang diawasi. Aku menyingkirkan pikiran yang mengganggu dan fokus pada menu, dan menemukan favoritku, gurita panggang dan memilih Aperol Spritz yang rendah alcohol dan menjadi favorit saat musim panas. "Aku harus pergi ke toilet" kataku dan mataku melirik ke sekeliling. Ada sebuah pintu kecil di dekat bar kayu yang indah di sudut restoran. Aku menuju ke arah itu, tapi itu hanya ruang cuci piring. Aku berbalik, tiba-tiba menabrak d**a sekeras batu seorang pria jangkung, sambil mengerutkan kening dan menggosok dahiku, aku mengangkat mataku. Pria di depanku itu tampan, bukankah aku pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya? Tatapan dinginnya membuatku terpaku. Aku tidak bisa bergerak saat dia menatapku dengan mata hitamnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku takut. Aku membeku. “Sepertinya kamu tersesat,” katanya dalam bahasa Inggris yang sempurna dan lancar. "Saya dapat membantu Anda jika Anda memberi tahu saya apa yang Anda cari." Dia tersenyum, memperlihatkan satu set gigi putih yang lurus sempurna, dan meletakkan tangannya di punggungku, di antara tulang belikatku, menyentuh kulit telanjangku. Dia mendorongku dengan lembut ke arah yang benar dan membawa ke pintu. Merasakan sentuhannya membuat merinding di punggungku. Itu membuat berjalan tidak lebih mudah. Aku pusing, bingung, dan aku tidak bisa berbicara. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah tersenyum, atau lebih tepatnya meringis. Aku kembali ke Alvaro, dengan semua emosi ini mengalir didalam diriku. Aku benar-benar lupa mengapa meninggalkan meja kami sejak awal. Ketika kukembali, teman-teman sudah minum-minum mereka sudah berhasil menghabiskan satu ronde dan baru memesan yang lain. Aku duduk di sofa, meraih gelas Aperol dan menghabiskannya dalam satu tegukan. Pada saat yang sama, gelas itu masih berada di bibirku, aku memberi isyarat kepada pelayan bahwa aku membutuhkan yang lain. Alvaro menatapku dengan pandangan geli. “Kamu pemabuk!” Dia tertawa. "Dan kamu memberi tahuku bahwa punya masalah dengan alkohol." “Aku hanya butuh minum,” jawabku. "Toilet itu harus menjadi tempat yang ajaib jika itu yang kau lakukan." Mendengar itu, aku melihat sekeliling dengan gugup mencari lelaki jangkung yang telah membuat kakiku gemetar. Dan dia akan mudah dikenali dalam interior putih sama seperti ku, dia mengenakan pakaian hitam. Celana linen hitam longgar, kemeja hitam dengan rosario kayu mencuat dari bawah kerah, dan sepatu pantofel hitam. Aku mungkin hanya melihat sekilas pria itu, tapi aku mengingatnya dengan baik. “Valerie!” Suara Alvaro menarikku keluar dari lamunanku. "Berhenti menatap orang dan minumlah!" Aku bahkan tidak memperhatikan gelas kedua Prosecco yang tiba di meja kami. Ku ambil gelas itu, meskipun merasakan dorongan untuk menuang semuanya ke dalam mulutku seperti yang pertama, tapi tidak kulakukan. Kakiku masih gemetar, makan malam disajikan dan kami melahapnya “Sialan!” seru Alvaro tiba-tiba, melompat berdiri. "Apakah kamu tahu jam berapa sekarang? Sudah lewat tengah malam, jadi Valerie… Happy birthday to you..Happy birthday to you… ” dia bernyanyi. Anya dan Roy juga berdiri, dan bergabung dalam lagu ulang tahun yang riang, nyaring, dan parau. Tamu-tamu lain melihat kami, tertarik, dan kemudian bergabung juga, bernyanyi. Restoran bergema dengan tepuk tangan meriah, dan yang ingin kulakukan hanyalah menghilang. Aku benci lagu bodoh itu. Aku tidak berpikir ada orang yang benar-benar menyukainya. Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana harus bersikap saat semua orang menyanyikannya bersama, bertepuk tangan, tersenyum seperti orang i***t. Dan sekarang aku hanya menjadi pusat perhatian, terlihat tidak pada tempatnya. Dengan senyum palsu terpampang di wajahku, aku bangkit dan melambai pada semua orang, membungkuk dan berterima kasih atas keinginan mereka. “Kau hanya harus melakukan ini padaku, bukan?” Aku menggeram pada Alvaro, senyum masih mengembang di bibirku. “Mengingatkan aku pada usia tidak terlalu sopan. Selain itu, apakah kau harus melibatkan semua orang? ” “Yah, sayang, sepertinya kebenaran adalah pil yang sulit untuk ditelan. Tapi, sebagai permintaan maaf, aku sudah memesan minuman favoritmu.” Pelayan muncul dengan empat gelas tinggi dan sebotol Moët & Chandon Rosé dalam ember berisi es. “Oh, aku menyukainya!” Aku memekik, melompat-lompat dan bertepuk tangan seperti gadis kecil. Kegembiraan saya tidak diperhatikan oleh pelayan, yang membuka botol dan mengisi gelas kami. Dia kemudian tersenyum lebar padaku dan meletakkan pendingin dan botol yang hampir kosong di atas meja saat dia pergi. Anya mengangkat gelasnya. “Untuk Valerie Quincy semoga menemukan apa yang dicari, selalu memiliki apa yang diinginkan, dan memenuhi semua impianmu. Bersulang!" Kami mendentingkan gelas dan minum sampanye. Setelah tengah malam, restoran berubah menjadi klub. Pencahayaan warna-warni secara drastis mengubah suasana tempat itu. Interior putih dan steril yang elegan, berkelas, tiba-tiba meledak dengan segala macam warna mencolok. Warna putih lebih bisa dimengerti sekarang. Dengan sedikit pencahayaan, dapat dengan mudah mengubah karakter ruangan. Aku benar-benar harus pergi ke kamar kecil sekarang. Namun kali ini, ku memutuskan untuk menemukannya dengan bantuan. Pelayan mengarahkanku ke arah yang benar. Aku menyikut kerumunan menuju toilet wanita, ketika aku merasakan perasaan aneh sedang diawasi lagi. Aku berhenti dan melihat sekeliling dengan cermat. Di atas alas, bersandar di salah satu balok kayu, berdiri pria berpakaian hitam, menjepitku dengan tatapan dinginnya lagi. Dia mengukur aku dengan matanya, wajahnya tidak menunjukkan emosi. Dia tampak seperti tipikal orang Italia, meskipun dia mungkin pria paling tidak biasa yang pernah kulihat. Rambut hitamnya tergerai di dahinya. Rahangnya ditutupi dengan janggut gelap yang dipangkas dengan cermat. Bibirnya penuh dan terdefinisi dengan baik. Sangat cocok untuk menyenangkan seorang wanita, pikirku. Tatapannya dingin dan menusuk. Itu adalah tatapan binatang buas yang menunggu untuk menerkam. Melihatnya dari jarak itu, aku menyadari betapa tingginya dia. Dia menjulang di atas para wanita yang berdiri di dekatnya. Aku tidak tahu berapa banyak waktu berlalu dengan kami hanya menatap mata satu sama lain. Itu mungkin telah berhenti untuk semua yang kupedulikan. Kebingunganku dipatahkan oleh seorang pria yang berjalan ke arahku, dengan tatapan itu, aku menjadi kaku dan mati rasa pada saat yang sama, jadi aku hanya berputar dengan satu kaki. "Anda baik-baik saja?" tanya pria berbaju hitam, tiba-tiba muncul di sisiku. "Jika bukan karena aku melihat anda tidak berjalan mendekatinya, dan aku akan berpikir menabrak orang adalah caramu untuk mencari perhatian." Dia mencengkeram sikuku dan mengangkatku dengan mudah. Dia begitu kuat. Kali ini aku mengumpulkan akalku, dan alkohol membuatku lebih berani. “Aku akan mengira masalahnya adalah kamu selalu menghalangi jalanku, berpura-pura menjadi tembok” balasku, menembaknya dengan tatapan terdingin yang bisa kukerahkan. Dia menarik diri, tapi matanya tetap fokus padaku, menatapku dari atas ke bawah, seolah dia tidak percaya aku nyata. "Kau sudah mengawasiku sepanjang malam, bukan?" aku bertanya dengan sengit. Aku mungkin kadang paranoid, tapi kalau sudah punya firasat, jarang salah. Pria itu menyeringai. "Saya datang ke klub" jawabnya. “Saya mengawasi staf, memeriksa para tamu, dan mencari wanita yang membutuhkan tembok.” “Kalau begitu, terima kasih telah menjadi tembok untukku. Tidur yang nyenyak." Aku mengiriminya tatapan provokatif dan menuju kamar kecil. Ketika dia tinggal di belakang, aku menghela nafas lega. Setidaknya kali ini aku tidak terlihat seperti orang bodoh dan bisa berbicara seperti orang normal. "Sampai jumpa, Valerie" aku mendengarnya berkata. Aku berputar, tapi pria berbaju hitam itu tidak terlihat lagi. Bagaimana dia tahu namaku? Apakah telah menguping kami? Tidak, itu tidak mungkin. Anya meraih tanganku tiba-tiba. "Ayo, atau kamu tidak akan pernah sampai ke kamar mandi wanita itu dan kita akan terjebak di sini selamanya." Ketika kami akhirnya kembali ke meja, ada sebotol Moët lain yang menunggu kami. “Yah, baiklah. Sepertinya kita tidak berhemat pada minuman hari ini, Sayang, ”kataku sambil tertawa. "kupikir kau yang memesannya" jawab Alvaro, tampak terkejut. "kusudah membayar, dan kami ingin pergi." Aku melihat sekeliling klub. Aku tahu itu bukan kesalahan. Botol tiba pada saat itu dengan sengaja. Dia masih memperhatikanku. “Mungkin setelah tau ini ulang tahunmu, mereka memberikankita secara gratis”kata Anya. "Tapi, karena sudah ada di sini, minumlah!" Aku gelisah di sofa sampai botol habis, bertanya-tanya tentang siapa pria berpakaian hitam itu. Kenapa dia menatapku seperti itu? Bagaimana dia tahu namaku? Kami menghabiskan sisa malam dengan berkeliaran di sekitar klub, hanya kembali ke hotel ketika matahari terbit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN