Pria Menyebalkan

1194 Kata
Sepanjang perjalanan menuju ruang guru, Dhira terus mencoba berpikir positif meski perasaannya tak menentu. Saat sampai di ruang guru, ia sedikit terkejut karena melihat Rangga di sana─berdiri menghadap Pak Adi. Pria itu melihat ke arah Dhira dan mengeluarkan smirk. Dhira mengerutkan kening penuh keheranan. Ia tak tahu apa yang di maksud senyumannya itu, yang jelas sekarang perasaannya semakin tidak enak. Setelah mengucap salam, ia pun masuk, berdiri di samping Rangga menghadap Pak Adi. “Bapak memanggil saya?” tanya Dhira memastikan. “Ya, benar,” jawab Pak Adi mengangguk. “Ada apa ya, Pak?” tanya Dhira kembali. “Dhira ...,”─Pak Adi menatap Dhira sambil melipat tangan di d**a─”Bapak tidak menyangka kamu melakukan hal ini, padahal selama ini kamu tidak pernah membuat masalah, bahkan termasuk siswa teladan meski kamu murid baru” “Maksudnya, Pak?” tanya Dhira yang jelas kebingungan apa maksud dari perkataan guru BK-nya itu. “Rangga dan kawan-kawannya telah mencoret-coret dinding sekolah dengan pilok. Dia bilang, kamu yang telah menyuruh mereka,” jelas Pak Adi. Dhira terperangah. Kaget tentu saja, ia sama sekali tidak tahu menahu tentang hal itu dan ia dituduh sebagai pelaku utama. Sedang Rangga, dia tersenyum puas. “Pak, saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Sungguh! Bisa saja kan, Rangga berbohong?” Dhira mendelik kesal pada Rangga. Apa sih, maksudnya!? Batinnya geram. “Teman-teman Rangga yang lainnya juga mengatakan hal yang sama,” ujar Pak Adi lagi. “Tapi Pak ....” “Sudah. Jangan mengelak. Sekarang ikut Bapak,” perintah Pak Adi tak terbantahkan. Dhira mendelik geram pada teman sekelasnya itu. Rangga Verald Atmaja! Apa yang kau mau, hah!? *** Kini Dhira dan Rangga tengah mengecat dinding sekolah yang dipenuhi coretan pilok dengan diawasi oleh Pak Adi. Sepanjang waktu, Dhira menunjukkan wajah sebal karena merasa ini tak adil. Tentu saja tidak adil, ia dihukum atas apa yang tidak ia lakukan. Berbeda dengan Rangga, dia malah terlihat santai dan menikmati hukumannya. Rasanya Dhira ingin sekali menyiramkan cat yang sedang ia gunakan pada pria di sebelahnya itu. “Pak ... saya ini perempuan, lho. Apa Bapak tega melihat saya seperti ini?” Dhira mencoba merajuk. Berharap gurunya itu mau bermurah hati padanya. “Jangan banyak mengeluh. Cepat selesaikan, kalian tidak Bapak izinkan mengikuti pelajaran. Dan kalian tidak boleh pulang sebelum ini selesai,” perintah Pak Adi tegas dan tak terbantah. Dhira hanya bisa menghela napas pasrah. Usahanya gagal total. Hah, sudahlah. Anggap saja ini sedekah. Ikhlas Ra ... biar dapat amal baik. Dhira membatin, mencoba menghibur diri sendiri. Pak Adi kemudian mendapat panggilan masuk dan meninggalkan kedua anak didiknya. Dhira melirik Rangga yang sedari tadi diam dan menikmati hukumannya. Apa sih, yang dia pikirkan? “Hey, kau! Kau ini ... kenapa melibatkanku dengan hal seperti ini? Kamu tahu kan aku nggak menyuruh kalian!” geram Dhira. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pria satu itu. Rangga menurunkan tangannya lalu menghadap Dhira. Mengedikkan bahu dengan wajah menyebalkannya, lalu kembali mengecat dinding. Dhira melongo. “Yaa!” teriaknya kesal. Rangga kembali menghadap Dhira dengan jengah. “Oke. Aku akui, kamu emang nggak nyuruh kita. Kita melakukannya atas kemauan sendiri. Puas?” ucapnya diakhiri senyum kemenangan yang terlihat menyebalkan bagi Dhira. Mendengar itu, dengan antusias Dhira mengajak Rangga untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Pak Adi, namun Rangga menolak. “Aku sengaja melakukannya. Lagi pula, aku tidak mau mengerjakan ini sendirian. Setidaknya, aku bisa melihatmu sedikit menderita,” ujar Rangga. Lagi-lagi Dhira dibuat terperangah. What did he say!? “Kenapa harus aku? Di mana teman-temanmu? Kamu tidak sendirian melakukan ini, kan?” “Aku meminta pak Adi untuk tidak melibatkan mereka. Karena aku kasihan pada mereka.” Dengan santainya, Rangga kembali mengecat dinding. Dhira kembali melongo tak habis pikir. “Kasihan kamu bilang? Lalu aku? Memangnya aku punya salah apa, sih padamu? Kamu benar-benar ....” Dhira menghentikan ucapannya dan mencoba untuk lebih sabar. Sudah Ra, ikhlas, batinnya. Ia melirik Rangga sebentar, jika ia tidak salah, pria itu sedang tersenyum. Memangnya apa yang lucu? Orang itu sudah gila sepertinya, batin Dhira lagi. Ia sudah malas berbicara dengan pria menyebalkan itu. Bel pulang telah berbunyi, anak-anak berhamburan keluar kelas. Dhira memutar-mutar tangannya yang terasa pegal dan lelah. Teman-teman Rangga sempat menyapa Rangga, namun langsung pergi begitu saja. Dhira hanya mendengkus melihat kelakuan teman-teman Rangga. Lalu terlihat Karen menghampirinya, sebelumnya ia mengirim pesan singkat pada Karen tentang hal ini dan menyuruh Karen membawakan tas miliknya. “Dhiraaa, kamu beruntung banget!” seru Karen heboh seperti biasa. “Ngeledek? Orang lagi dihukum, kok beruntung.” Dhira memutar bola mata jengah. “Bukan, maksud aku itu ... Rangga, kamu nggak lihat cewek-cewek di sini liatin kalian berdua?” Dhira dan Rangga sama-sama melihat ke sekeliling lalu saling tatap. Karen benar. Mereka telah menjadi pusat perhatian anak-anak SMA Bekasi dan Dhira terlihat tak menyukai hal itu. “Kalian berdua itu so sweet, tahu nggak!” ujar Karen lagi. Dhira menghela napas jengah. “Karen, udah deh. Kalau cuma mau ledekin aku, mending kamu pulang aja sana!” usirnya. “Ya ampun galak bener. Ini juga mau pulang, hari ini aku mau shopping. Bye!” ujarnya lalu melenggang pergi. Setelah Karen pergi, Dhira menaruh kuas roll dengan kasar kemudian melangkah pergi. “Hey! Kau mau ke mana? Pekerjaan kita masih banyak!” seru Rangga yang melihat Dhira tengah meninggalkannya. “Kita?” Dhira mengulang perkataannya lalu mendengkus sebal. “Aku sungguh tak percaya ini. Kau kerjakan saja sendiri!” Dhira hendak pergi namun Rangga berkata kalau ia akan melaporkannya pada Pak Adi. Dhira pun membalikkan badan dengan satu hentakkan. “Aku mau salat. Puas? Aku tidak akan kabur, tenang saja. Asal kamu tahu, aku itu tidak sepertimu. Aku dan kamu itu—” Dhira menghentikan kalimatnya, menatap Rangga sejenak. “Sudahlah,” tukasnya kemudian pergi menuju musala. Dhira benar-benar tak mengerti dengannya, pria itu selalu saja membuatnya kesal. Apa aku 'semenarik' itu untuk jadi bahan bully-annya? Menyebalkan sekali! rutuknya dalam hati. Dhira segera mengambil air wudu dan melaksanakan salat Zuhur. Setelahnya, ia bisa lebih rileks, amarahnya pun menguap secara perlahan. Ya, ia bisa tenang setelah mengambil wudu dan melaksanakan salat. Usai salat, Dhira kembali bergabung dengan Rangga untuk mengecat dinding. Sepertinya, Rangga tidak menyadari kehadiran Dhira. Pria itu tengah bergumam kalau dirinya lama sekali. Mendengar itu, Dhira hanya berdecak. “Kenapa ini sulit sekali, sih!” Rangga menggerutu, nampak kesal sendiri. “Kau baru menyadarinya?” Dhira mendengkus pelan lalu mengambil kuas dan kembali mengecat dinding. Rangga menatap Dhira sedikit terkejut. Sepertinya ia berpikir kalau Dhira benar-benar akan kabur. Ia lupa, kalau gadis itu memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Gadis itu selalu menuntaskan pekerjaannya, sesulit apa pun, seberat apa pun. Seperti kerja kelompok seni budaya waktu itu, Rangga berada satu kelompok dengan Dhira, lalu ia sengaja tidak mengerjakan bagiannya, dan ternyata Dhira yang mengerjakannya. “Aku tidak mengerjakan ini demi dirimu. Tapi demi kelompok.” Itulah yang Dhira ucapkan dengan wajah ketus saat Rangga berterima kasih dengan riangnya. “Pilok ini sangat tebal. Kau benar-benar tak punya pekerjaan,” ucap Dhira mengembalikan kesadaran Rangga. “Kau sangat cerewet. Aku heran, kenapa kamu sering sekali ibadah? Aku saja cuma seminggu sekali, itu pun kalau aku mau.” “Kamu tidak akan mengerti,” jawab Dhira malas tanpa menatapnya. Sebuah deringan ponsel menginterupsi kegiatan mereka, yang ternyata milik Rangga. Cowok itu mengambil ponsel dari saku celananya lalu menjawab panggilan tersebut. Setelah  mendapat panggilan itu, wajahnya berubah cemas dan pucat. Ia menjatuhkan kuasnya begitu saja dan langsung berlari meninggalkan Dhira tanpa mengatakan apa pun. “Hey! Rangga! Kamu mau ke mana? Pekerjaanmu belum selesai!” Dhira berteriak sekeras mungkin dan terus memanggilnya. Namun pria itu terus berlari seolah tak mendengar teriakan Dhira, kemudian pergi dengan motornya. Dhira bertanya-tanya apa yang terjadi pada teman sekelasnya itu, apa telah terjadi sesuatu atau itu hanya alibinya untuk kabur? Dhira menghela napas. Entahlah, ada apa dengan orang itu. Ia tidak tahu apa yang terjadi, yang ia tahu ia harus mengerjakan semuanya sendirian sekarang.          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN