bc

Jalan Kita Berbeda

book_age12+
761
IKUTI
4.9K
BACA
family
fated
goodgirl
inspirational
band
student
drama
highschool
first love
like
intro-logo
Uraian

Dhira Maulidina Saputra sangat tahu jika perasaannya pada Rangga Verald Atmaja adalah sesuatu yang sangat salah dan tidak boleh terjadi. Sebab, perasaannya hanya akan berakhir sia-sia. Karena itu, ia berusaha keras menghapus perasaannya. Namun, fakta jika pria itu pun menyukainya membuat ia semakin tersiksa.

Cinta memang tak pernah bisa dipahami oleh logika. Semakin ia mencoba menghilangkan perasaannya, semakin tumbuh perasaannya. Lantas, bagaimana dengan perbedaan yang mereka miliki?

chap-preview
Pratinjau gratis
Prinsip dan Keyakinan
Seorang gadis berkerudung lebar berdiri termenung di koridor lantai dua depan kelas, melihat seluruh anak-anak SMA Bekasi beraktivitas. Lapangan sekolah dipenuhi anak-anak pria kelas sebelas yang sedang bermain basket. Walaupun matahari siang itu sepertinya cukup membuat es batu mencair dalam sekejap, mereka nampak tak terganggu dan tetap menikmati permainan. Gadis itu mengedarkan pandangan ke arah taman, banyak orang yang berada di sana, mulai dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas. Memang, taman sekolah selalu menjadi tempat favorit bagi anak-anak SMA Bekasi saat jam istirahat. Banyak hal yang mereka lakukan, ada yang sibuk selfie, menggosip, pacaran, ada juga yang belajar. Helaan napas keluar dari gadis itu, ia bahkan tak tertarik berbaur dengan mereka. Saat ini, ada banyak hal yang ia pikirkan termasuk mengapa di sekolahnya sedikit sekali yang memakai jilbab seperti dirinya, mungkin hanya satu atau dua setiap kelasnya─atau bahkan tidak ada. Menggetirkan memang, jika mengingat muslim adalah mayoritas namun yang berpakaian sesuai syariat ternyata minoritas. Jika bukan karena Abi-nya, ia sama sekali tak menginginkan bersekolah di SMA Bekasi ini. “Woy! Ngelamun aja!” Seseorang membuyarkan lamunan gadis itu. Ia menoleh, mendapati gadis dengan rambut lurus sebahu dan bando warna pink yang terlihat cocok di kepalanya. Ia adalah Karen─sahabatnya. “Lagi mikirin apa sih, Dhira Maulidina Saputra?” Karen bertanya dengan gaya centilnya. “Nggak lagi mikirin apa-apa, kok. Cuma lagi ....” “Lagi apa hayo? Pasti lagi mikirin Rangga! Duh, dia kenapa sih ganteng banget? Kenapa suaranya cool banget, kenapa ada makhluk sesempurna dia, Ya Tuhan?” potong Karen cepat disusul rentetan cerocosan yang sangat tidak bermanfaat. Dhira memutar bola mata, jengah. “Itu sih, kamu! Jangan samain aku sama kamu, ya. Ngapain aku mikirin makhluk jadi-jadian itu? Nggak penting banget.” “Whaat?!” seru Karen hiperbolis. “Iih ... apaan, sih, kamu. Cowok ganteng gitu, dibilang makhluk jadi-jadian!” protes Karen tidak setuju dengan apa yang Dhira katakan. “Dia itu ya, makhluk ciptaan Tuhan yang paling sek—eh, paling tampan dan cool, tahu!” Dhira menatap sahabatnya risih. “Ya, ya, ya, terserah kamu saja.” Lalu menghela napas panjang. “Ganteng sih, aku akui. Tapi kelakuannya itu ngeselin banget. Nggak tahu sopan santun, begajulan, badung. Apalagi musik band-nya yang super berisik itu. Euhh ... nggak banget!” tutur Dhira risi. “Ya ampun Ra ... hampir semua cewek di sekolah ini tuh nge-fans loh sama dia. Dia adalah most-wanted-guy di sekolah ini. Lah, kamu?” Karen menatap Dhira tak percaya sambil menggelengkan kepala. “Terus, kamu sukanya siapa, dong?” “Nggak ada.” “Masa, sih? Pasti ada, lah ... ya kan, ya kan? Atau jangan-jangan kamu udah punya gebetan, ya?” Lagi-lagi Dhira menghela napas lelah. “Dengar ya, Karen Wijaya. Aku nggak lagi suka sama siapa-siapa. Aku juga nggak punya gebetan, pacar, atau apa pun itu sebutanmu. Lagian, pacaran itu nggak baik. Aku selalu diajarkan untuk tidak berhubungan dengan laki-laki yang bukan mahromku.” Karen menatap Dhira dengan kening berkerut. “Jadi, agama kamu ngelarang kamu buat pacaran, yah? Kenapa, sih? Gak ada yang salah juga, kan? Nggak baik apanya deh. Pacaran itu justru enak, ada yang merhatiin, peduliin, ngasih semangat, ngasih ap—hmpt.” Dhira membekap mulut Karen agar gadis itu berhenti bicara. “Berisik, kamu.” “Ihh! Dhira!” Karen memberenggut sebal setelah Dhira melepaskan tangannya. Namun, yang namanya Karen memang tidak pernah kapok. Ia masih melanjutkan celotehannya. “Lagian nih ya, menurutku, si Rangga itu suka deh sama kamu.” Karen mulai berspekulasi. “Nggak usah ngaco!” “Ih, dibilangin gak percaya. Gini-gini, aku tuh peka kalau masalah kayak gini, tahu.” “Udah, ah! Nggak penting banget sih ocehanmu, Ren!” “Terus nih ya, Ra, emang kamu nggak gerah apa pake jilbab segede gini? Aku yang ngelihat aja ngerasa panas gitu lho.” Karen berbicara panjang lebar yang notabene-nya berbeda keyakinan dengan Dhira. Ya, mereka memang berbeda agama. Tapi mereka masih bisa berteman, akrab. Bahkan, bagi Dhira, Karen adalah teman terdekatnya di sekolah ini. Dan Karen, ia sudah sering menanyakan hal itu pada Dhira. Dhira menghela napas panjang lalu menatap sahabat dekatnya. “Memakai jilbab adalah kewajiban bagi seorang muslimah. Hal itu adalah perintah mutlak dari Tuhanku. Aku hanya menta’ati apa yang Ia perintahkan,” jelas Dhira dengan sabar. “Dan soal pacaran atau apa pun itu, mungkin kamu nggak akan ngerti Ren ... terlebih lagi, setiap orang itu memiliki prinsipnya masing-masing, dan aku tidak mungkin melanggar prinsipku sendiri,” paparnya. Karen ikut menatapnya─terlihat penasaran. “Hah. Sudahlah. Percuma saja aku menjelaskannya padamu, kamu juga gak akan ngerti. Aku juga gak mungkin menyukai seseorang yang berbeda agama denganku. Ingat itu. Dan jilbab ini, ini adalah sebagai bukti bahwa aku adalah seorang muslimah,” jelas Dhira kembali. Karen hanya terdiam mendengar penjelasan dari sahabatnya. Dan aku berharap kamu juga bisa memeluk agama Islam sepertiku, Ren. “Tapi kok, yang lainnya nggak pake jilbab kayak kamu, Ra? Padahal mereka kan sama kayak kamu? Mereka juga suka pacaran,” ucap Karen tak bisa menahan rasa penasarannya. Dhira terdiam mendapat pertanyaan itu. Ia, tak tahu harus menjawab apa. Memang Karen tidak tahu apa-apa tentang keyakinannya. Gadis itu juga terlalu polos untuk mengerti perasaan Dhira jika ia bertanya seperti itu. Jika saja, ia tahu kalau Dhira juga tengah mempertanyakan hal yang sama. Atau mungkin jawabannya mudah saja, karena setiap orang itu berbeda. Mungkin, mereka belum paham betul tentang kewajiban sebagai muslimah. Atau mungkin juga, mereka tahu namun bertindak seolah tak tahu. Mereka, orang-orang yang mengerti namun tidak mengerti kalau mereka mengerti. “Duh! Kok lupa, sih?”─Karen menepuk jidat─”aku kan nyamperin kamu disuruh sama Latifah buat ke perpus. Dasar begooo!” rutuknya pada diri sendiri. “Aku kan udah sering bilang, jangan merutuki diri sendiri seperti itu. Gak baik tahu.” “Eh iya, lupa,” cengirnya. “Ya udah, yuk ke perpus sekarang. Kasihan Latifah udah nungguin dari tadi.” Dhira mengangguk dan mengikuti Karen yang sudah berjalan mendahuluinya. Ia merasa bersyukur karena Karen melupakan pertanyaannya. Latifah, salah satu murid yang memiliki keyakinan yang sama seperti Dhira dan menjadi minoritas karena seragamnya yang serba panjang seperti yang dikenakan Dhira. Saat pertama Dhira masuk sekolah ini dan menjadi bahan olok-olokan, Latifah adalah orang pertama yang mengulurkan tangan padanya. Karena dia, sama seperti dirinya. “Hey, Fah! Sorry ya lama,” sapa Karen nyengir lebar saat sampai di perpus. “Emang ada apa, Fah, nyariin aku? Udah dapet bahan buat karya ilmiah, ya?” tanya Dhira. Tebakannya benar. Latifah mengeluarkan setumpuk buku ke atas meja. Membuat mata Dhira dan Karen terbelalak. “Kamu serius, Fah?” tanya Dhira sangsi. “Ya iyalah. Semakin banyak referensi, semakin bagus, kan? Kalau dikerjain sama-sama pasti cepet beres, kok. Tenang aja ....” “Hahh ... males ahh! Ngelihatnya aja udah bikin mau muntah,” keluh Karen. “Dhira!” teriak seseorang membuat Dhira tersentak kaget. Ia pun menoleh ke sumber suara. “Akhirnyaa ketemu juga!” Randy berseru, terlihat begitu lega. Serempak semua orang di perpus menyimpan telunjuknya di bibir, mengisyaratkannya supaya tidak berisik. Randy nyengir lebar dan menangkupkan kedua telapak tangan sebagai permohonan maaf. “Ada apa?” tanya Dhira heran. “Kamu di cariin sama Pak Adi tuh, dia nyuruh kamu ke ruang guru. Cepetan gih! Nanti dia keburu ngamuk. Mukanya asem banget tadi.” Mendengar itu, Dhira pun bergegas menuju ruang guru untuk menemui Pak Adi. Ia pun merasa penasaran, biasanya orang-orang yang dipanggil Pak Adi adalah orang-orang yang bermasalah. Tapi, ia merasa tak melakukan kesalahan apa pun. Hingga berbagai pertanyaan pun berkecamuk di kepalanya. Ah, mungkin Pak Adi hanya ada perlu saja denganku.  

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Oh, My Boss

read
386.9K
bc

Over Protective Doctor

read
484.2K
bc

Maaf, Aku Memilih Dia!

read
230.5K
bc

Nafsu Sang CEO [BAHASA INDONESIA/ON GOING]

read
892.9K
bc

Skylove

read
115.1K
bc

Love Match

read
180.2K
bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
80.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook