"Alan ingin segera melamar Finisa secara resmi."
Suara Alan terdengar serius dan mantap ke arah Randra.
"Huum?!" Moti terlihat kaget, namun dia cepat tersenyum senang, sedangkan Randra hanya diam, dia melirik ke arah raut wajah senang sang istri. Jika sang istri senang, kenapa dia harus tidak senang?
"Alan, kamu serius kan mau melamar Nisa? Bunda suka Nisa, dia gadis yang manis. Ran, Nisa itu gadis ala-ala Momok dulu. Hahaha! Momok suka deh tegas-tegas gimana gitu sama Ran, eh? bukannya Ran yang tegas, yah? kebalik dong, Momok kan penakut, hahahaha-uhuk! uhuk!" Moti terbahak hingga dia terbatuk.
"Jangan tertawa lagi, nanti batuk." Randra buka suara, dia mengambil tisu lalu melap air liur yang muncrat akibat batuk sang istri di sekitar bibir Moti.
Moti tetap terlihat senang meskipun dia terbatuk-batuk.
"Moti, Febrian bilang tekanan jantung kamu belum bisa terlalu sering batuk," ujar Randra.
"Iya iya, Momok tahu, kok," balas Moti sambil tersenyum lebar. Dia malah cengengesan ke arah wajah suaminya.
"Ran."
"Ya?" sahut Randra.
"Alan mau lamar Nisa. Menurut Ran gimana?" tanya Moti terhadap pendapat Randra.
Alan yang posisinya sebagai anak hanya diam sambil menunggu konfirmasi dan jawaban dari orangtuanya. Sebenarnya, Alan sudah punya firasat bahwa lamaran nya ini pasti akan diterima oleh sang ayah, sebab ibunya telah menunjukan kesenangan yang berarti bahwa sang ibu telah setuju Alan melamar Nisa. Kunci kesuksesan lamaran Alan ada pada sang ibu, sebab, sang ibulah yang bisa memerintah ayahnya. Di dalam rumah Basri, tidak ada yang dapat memerintah ayahnya selain ibunya dan satu orang, yaitu keponakan kecil mereka–Chana. Bahkan, kakek dan neneknya tidak berani memerintah sang ayah.
Randra diam untuk beberapa detik di depan sang istri, Moti mencubit perut kotak-kotak sang suami sambil berkata, "Jangan terlalu banyak berpikir, nanti cepat tua."
"Pft!" Randra menahan tawa geli.
"Itu, untung selalu ada Momok, jadi wajah marah-marah Ran tidak keriput," ujar Moti sambil mencubit dua pipi Randra.
Randra membiarkan saja sang istri mencubit puas pipinya, dia tidak peduli apakah itu sakit atau tidak yang penting sang istri senang.
"Moti," panggil Randra.
"Hum?" Moti menyahut sang suami.
"Kamu ingin menambah menantu lagi?" tanya Randra.
"Jelas sekali. Makin banyak orang di rumah ini maka makin ramai, Momok senang banyak orang," jawab Moti girang.
Randra tersenyum, dia menggenggam tangan istrinya, "Jika Alan menikah, dia harus tinggal di rumah tua Barsi di Bandung, bukan di sini."
"Um …."
Moti bergumam kikuk setelah mendengar ucapan suaminya.
Moti melirik ke arah Alan, wajah sang anak terlihat sangat berharap untuk mendapatkan jawaban restu dari sang suami. Sementara itu, setelah Alan mendengar ucapan ayahnya, dia baru ingat bahwa ibunya itu sangat menyayangi semua anak-anaknya, bahkan tidak ingin pisah. Jantung Alan berdegup tak rata. Di satu sisi dia ingin menikah dengan kekasihnya, di sini lain melihat sang ibu yang sudah lama menderita cacat permanen dan tak ingin pisah dari anak-anaknya, Alan merasa tidak enak hati.
Moti tersenyum, dia berganti arah lirikan ke arah suaminya.
"Ran … semua orang berhak menentukan nasib mereka. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada orang lain termasuk Momok. Momok tidak bisa memaksa kehendak Momok pada Alan. Jika itu demi kebahagiaan anak-anak kita, kenapa kita harus menghalangi? Momok akan merasa lebih senang jika anak-anak Momok juga senang."
Randra memeluk Moti.
°°°
"Ayah tidak keberatan dengan lamaran kamu pada Nisa, Ayah Ran juga tidak meminta menantu yang sempurna, sebab, kesempurnaan bukan milik manusia tetapi milik Tuhan. Kamu dan calon istrimu kelak bisa saling melengkapi dan menutupi masing-masing kelebihan dan kekurangan, seperti Ayah Ran dan Bunda Momok. Ayah Ran hanya ingin satu dari kamu dan Nisa, yaitu tidak ada paksaan dalam hubungan kalian," ujar Randra. Suaranya terdengar sangat berwibawa. Mereka sedang berbicara di dalam ruang kerja Randra.
Alan tersenyum senang, "Terima kasih, Ayah."
Randra mengangguk.
"Bunda kalian senang, kenapa Ayah Ran harus mengacaukan kesenangannya?"
Alan tahu, sang ayah mengikuti mau ibunya. Bagi ayahnya, sang ibu adalah nomor satu.
"Atur waktu untuk lamarannya, mungkin Bunda kalian ingin pergi melihat langsung," ujar Randra.
Alan mengangguk, lalu dia tersenyum, "Alan akan bicarakan dengan Nisa. Dalam waktu dekat ini pasti lamaran itu akan dilakukan, nanti Alan bicarakan lagi pada Ayah."
Randra mengangguk mengerti, " Baik."
°°°
Randra keluar dari ruang kerjanya.
Terlihat Moti cengengesan.
"Tidak tidur?" Randra menaikkan sebelah keningnya.
"Hehe, Momok pura-pura tidur," balas Moti.
Alan muncul dari belakang sang suami, Moti tersenyum lebar.
"Bunda, Alan masuk ke kamar," ujar Alan, dia sempat bingung karena sang ibu ternyata belum tidur. Bukankah tadi ayahnya telah menidurkan ibunya?
"Um, pergi tidur. Kamu harus istirahat biar besok bisa lamaran hahahahahah! Bunda kok nggak sabar yah pengen ikut Alan lamaran ke rumah Nisa." Moti tak bisa menghilangkan senyum senang. Dia mengibaskan tangannya agar Alan ke kamar dan segera tidur.
Alan tersenyum, "Tentu saja Bunda akan pergi ikut Alan ke rumah Nisa, tapi sekarang sudah jam sepuluh, jam tidur Bunda sudah lewat."
"Ah, iya, benar juga. Kalau gitu Bunda mau tidur aja deh, nggak sabar besok."
"Hahaha." Randra tertawa geli.
Sedangkan Alan keluar dari kamar orangtuanya dengan perasaan senang.
Melihat sang anak telah keluar kamar, Moti melambaikan tangannya ke arah Randra.
"Ran, sini! duduk di sini! cepetan! Momok mau bilang sesuatu." Moti berseru lalu di kalimat terakhirnya dia berbisik seakan hal yang ingin dia katakan pada suaminya adalah rahasia.
Randra tersenyum geli saat melihat tingkah lucu istrinya, dia mengikuti di mana sang istri ingin dia duduk. Itu adalah di samping kanan Moti.
Moti langsung menggapai tangan Randra lalu menggenggam tangan suaminya itu dengan penuh gemas.
"Ran, jadi kapan Momok dan Ran bisa ke rumah Nisa buat lamaran Alan? hiiiii Momok nggak sabar, eh, pengen kayak Kak Agil dan Kak Riandri yang ke Surabaya langsung untuk lamar Imah! Momok juga pengen lamar anak orang untuk anak kita nikah!"
"Ah, apakah nanti lamaran nya kayak waktu itu Ran lamar Momok di Bandung? eh, seharusnya kan laki-laki yang pergi ke rumah perempuan untuk lamar. Ah, tapi waktu Ran lamar Momok, Ran malah maksa lamar di Bandung, pake ngancem lagi mau buka rahasia kita." Moti mengoceh panjang lebar.
Randra hanya bisa tertawa geli. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan sang istri jika istrinya ini bercerita tiada henti.
"Heum, gayanya Ran, suka ngancem-ngancem Momok!"
Randra memperbaiki letak bantal tidur istrinya, "Moti, sudah mau jam sebelas."
"Aah, kenapa baru bilang sekarang!" Moti melotot ke arah Randra.
"Hahaha …." Randra hanya bisa tertawa geli.
°°°
"Ayah dan Bunda menerima niatku untuk melamarmu secara resmi. Bahkan Bunda Momok tidak sabar agar ingin segera pergi melamarmu." Alan tersenyum senang.
Wajah Finisa terlihat tak percaya. Semudah itu ayah dari kekasihnya menerima dia sebagai menantu Basri.
"Kenapa? wajahmu seperti tidak percaya."
Alan menaikkan sebelah alisnya.
"I-itu … aku … Ayahmu tidak ada rencana untuk menguji aku apakah aku pantas ataukah tidak menjadi menantu Basri?" tanya Finisa.
Alan mengerutkan keningnya, "Maksudnya? kenapa Ayahku harus menguji kamu?"
"Begini, itu … dulu kan kakak kamu menikah dengan Ben … dan Ayah kamu bahkan … membuat pilihan sulit bagi Ben, yah kamu tahu pilihannya, tinggalkan kakakmu atau masuk kewarganegaraan indonesia …."
"Ahahahahaha!" Alan terbahak.
"Hei! aku sedang serius, kenapa tertawa?!" Finisa menjadi dongkol terhadap Alan yang terbahak.
"Hahahahahaha! Aaahahahahah!" Alan tak bisa menghentikan tawanya.
"Aalaaaan!" Finisa geram.
°°°
Finisa duduk berhadapan dengan ayah dan ibunya.
"Ma, Pa, itu, besok siang sekitar jam dua belas, ada tamu penting yang mau datang ke rumah kita. Jadi tamu ini ada perlu sama Mama dan Papa, besok Papa dan Mama tidak boleh ke mana-mana."
Derian mengangguk, "Baik. Tapi apa kamu nggak mau kasih tahu siapa tamunya?"
Finisa diam untuk beberapa detik, lalu dia menjawab, "Tuan Randra Basri dan istri beliau yang akan ke sini."
"Hah?!" Derian dan Rina melotot.
"Aduh! kenapa baru bilang sekarang?! harus persiapkan semuanya dari sekarang! mana besok siang lagi, ini udah jam sembilan malam!" Rina bagaikan kebakaran jenggot ketika mendengar bahwa Tuan dan Nyonya Basri akan datang ke rumah mereka.
°°°
Randra sedang memperbaiki hijab istrinya.
"Ran, sudah atau belum?" tanya Moti, dia sudah tidak sabar.
"Sudah selesai."
"Ok, ayo berangkat!" Moti berseru senang.
°°°°
"Di mana?" tanya Finisa lewat ponsel seluler.
"Sudah ada di depan rumahmu," jawab Alan.
"Oh ya ampun! kenapa cepat sekali!" kini giliran Finisa yang bagaikan kebakaran jenggot.
"Ma, Pa, itu, Tuan Basri udah ada di depan rumah!"
"Papa, buruan keluar kamar!" Rina berseru ke arah kamar.
Sementara di dalam kamar, Derian melihat penampilannya di depan cermin.
"Sudah ok. Sekarang ayo keluar."
°°°
Derian duduk tak tenang di kursi sofa miliknya. Sedari tadi dia melihat anak perempuannya berpegangan tangan dengan Nyonya Basri. Derian tak tahu bahwa anak perempuannya ini telah menjalin kasih selama dua tahun dengan Alan.
"Bapak dan Ibu Basri, terima kasih sudah datang ke rumah saya. Begini, saya diberitahu oleh anak saya bahwa ada tamu. Ini ...kalau boleh tahu, kedatangan Bapak dan Ibu Basri dalam rangka apa?" tanya Derian sopan.
Wajah Randra berubah serius.
"Saya dan istri datang sebagai tanda bahwa kami ingin melamar adinda Finisa Lisa Jovian untuk menjadi menantu kami."
"...."
Sunyi.
°°°