Pergi

1328 Kata
        “An, ada yang nyariin kamu.” Salah satu teman satu kosnya yang Anna tidak tahu namanya datang memberi tahu ketika ia sedang mengambil air minum di dapur. Sebuah fasilitas umum yang disediakan di kos-kosannya karena Anna adalah tipe orang yang tidak ingin kamarnya menjadi tempat serba guna.         Anna menatapnya bingung, tapi enggan bersuara. Dan sepertinya si penghuni kos ini juga mengerti dengan tabiat Anna yang lebih sering membisu.         “Katanya adik kamu, aku menyuruhnya menunggu di ruang tamu.” Karena yakin kalau Anna tidak akan menyahuti perkataannya, si pembawa berita langsung pergi begitu saja dari hadapan Anna.         Anna berpikir sejenak, rasanya ia tidak pernah memberi tahu siapapun mengenai tempat tinggalnya. Hal ini terbukti sejak tiga tahun yang lalu, ia menjadi satu-satunya orang yang tidak pernah kedatangan tamu di kos ini. Lelah menduga-duga, akhirnya Anna beranjak ke ruang tamu, lalu mengangkat alisnya tidak suka ketika menemukan Natasha dalam balutan seragam putih biru yang masih melekat di tubuh mungilnya.         “Sekolah kamu dan rumah bukan berada di daerah ini.” Anna langsung berkata dengan suara dingin, membuat senyum Natasha yang tadinya cerah langsung pudar. Bahkan ia menjadi canggung untuk duduk lagi atau melanjutkan bicara.         “Kenapa kamu di sini?”         “Ng ….” Natasha menggaruk kepalanya, gugup sekaligus mati kutu.         “Dari mana kamu tau tempat ini?” Anna masih mencecar adiknya dengan pertanyaan. Ia tidak peduli jika sang adik yang masih duduk di bangku sekolah pertama itu gugup menghadapinya, seolah ia sedang berhadapan dengan guru BK setelah kedapatan membuat kesalahan.         “Ng …..” Natasha masih ragu untuk berbicara. Matanya menatap Anna takut-takut.         “Natasha.”         “Teman.” Natasha menjawab cepat, “Aku sama teman, diantar sama sopirnya. Mereka lagi menunggu di luar, di mobilnya.”         Anna kembali menaikkan sebelah alisnya. Seolah mengerti maksud ekspresi kakaknya, Natasha langsung menjelaskan, “Kemarin temanku ada acara di sekitaran sini, di rumah tantenya. Dia tidak sengaja melihat kakak masuk ke sini.”         Anna masih diam, menatap Natasha yang kembali melanjutkan, “Dia teman dekat aku, aku beberapa kali bercerita tentang kakak kepadanya.”         Helaan napas Anna membuat Natasha menghentikan kalimatnya. Situasi yang terasa lebih mencengkam daripada saat ia berada di ruang kepala sekolah, membuat Natasha meremas tangannya yang sudah mengeluarkan berkeringat dingin sejak tadi.         “A-ku,” kata Natasha terbata melanjutkan, “Hanya mencoba peruntungan dan dia mau membantu.”         “Pulanglah.”         “Kakak juga pulang?”         “Kalau kamu lupa, aku tinggal di sini.”         Natasha mengedarkan pandangannya, matanya bergerak liar mengamati, setelah puas, ia kembali menatap Anna. “Tapi ini kos, bukan rumah.”         “Apa bedanya?”         “Rumah itu ….”         “Selagi aku berbicara baik-baik, Natasha, sebaiknya kamu pulang,” ujar Anna memotong kalimat apapun yang akan disampaikan oleh adiknya. “Ini yang pertama sekaligus menjadi yang terakhir, jangan kembali lagi ke sini.”         “Tapi, Kak.”         “Enggak ada tapi, Nat.”         “Kakak kenapa kabur?”         “Aku mengantongi izin, seharusnya di pelajaran Bahasa Indonesia kamu tahu perbedaan kabur dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan.”         Natasha menggaruk pelipisnya, “Melarikan diri?” tanyanya tak yakin.         “Natasha.”         “Kakak enggak pernah pulang sejak ngekos, udah tiga tahun, menelpon ke rumah pun jarang, enggak ada malahan, kakak melarikan diri, kan? Kata guru BK aku ….”         “Nat, dengar.” Suara Anna terdengar tidak suka ketika mengatakan ini, “Mulai hari ini dan seterusnya jangan bicarakan tentang aku kepada siapa pun, baik ke teman kamu atau pun guru BK kamu,” perintah Anna tahu dengan kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut Natasha. “Paham?”         Natasha mengangguk, “Iya, paham.”         “Bagus.” Anna berkata puas, “Sekarang, pulang.”         “Tapi, kapan kakak pulang?” tanya Natasha, “Mama kangen tau, Kak. Kadang mama ngeliatin foto kakak.”         “Jangan kasih tau siapa-siapa kalau kamu ke sini.”         “Tapi, Kak.”         “Kalau kamu memberi tahu mama, ini kali terakhir kita ketemu.”         Natasha mengangguk pasrah, kakaknya jelas bukan orang yang main-main dengan Ucapannya. Anna adalah tipe orang yang akan melakukan apapun yang sudah dikatakannya.         Setelah memastikan kalau adiknya menuruti perkataannya, Anna membiarkan Natasha pulang tanpa repot-repot mengantarkan sang adik ke luar kosan.   *           Anna pikir, seharusnya kemarin ia bisa menekankan  kepada Natasha bahwa ia tidak ingin dikunjungi lagi. Namun, rasanya sudah terlambat karena sekarang, remaja yang dalam proses pembuhan dan perkembangan itu sudah di ruang tamu di kosannya lengkap dengan senyum manis yang menghiasi bibir Natasha.         “Kakak,” sapanya begitu melihat Anna. “Aku bawain ini.” Natasha mengangkat Tupperware yang terletak di atas meja. “Makanan kesukaan kakak, dendeng balado, mama menyuruhku untuk membawakannya ke kakak. Tadinya aku mengajak mama, tapi mama enggak mau ke sini, dia nunggu kakak pulang aja katanya.”         Mata Anna menyipit tajam, “Aku udah mengatakannya, Natasha,” desis Anna terdengar lebih berbahaya daripada biasanya, “Jangan. Kasih. Tau. Siapapun. Tentang. Aku,” ucap Anna penuh penekanan di setiap suku katanya.         Natasha gelagapan, matanya bergerak liar ke mana saja asal jangan bertemu dengan iris kakaknya yang menggelap, terlalu pekat hingga rasanya mampu menelan setiap apa yang ada pada dirinya.         “Apa peringatanku kurang jelas?” desis Anna masih terdengar berbahaya.         “Eng-ngak.” Natasha menggeleng, “Ma-ma sa-kit,” ucap Natasha terputus-putus. “Pernah kemarin mama panas tinggi, terus dia menggigau memanggil kakak. Aku enggak tega,” jelas Natasha.”         Anna menghela napasnya keras-keras, segala emosi rasanya sudah berkumpul di ubun-ubunnya. Kepalanya bahkan berdenyut hingga ia memilih duduk di sofa di hadapan Natasha. Matanya berkunang-kunang, kesibukannya dalam mengejar beasiswa belakangan ini membuat Anna nyaris tidak memiliki waktu untuk memperhatikan kesehatan dirinya sendri. Akibatnya ia sering merasa pusing dan sekit kepala. Berbicara dengan Natasha berhasil semakin membuatnya merasa dihantam oleh palu godam.         “Kapan kakak pulang?” Natasha bertanya hati-hati.         “Bisa kamu pulang aja?” Meskipun masih dingin dan datar, suara Anna terdengar sedikit lemah. “Aku sedang enggak ingin diganggu siapapun, termasuk kamu.”         Natasha tertegun, tetapi ketika melihat kakaknya memjamkan mata sambil mememijit pangkal hidungnya, ia tidak punya pilihan lain kecuali pulang tanpa mengantongi kepastian akan kepulangan sang kakak.   *           “Ini apa, Kak?” Pertanyaan itu menyambut kedatangan Anna di kamarnya sendiri.         “Gimana kamu bisa masuk?” tanya Anna tidak suka. Tangannya langsung merebut amplop yang sedang dipegang Natasha.         “Kakak mau ke luar negeri?”         “Gimana caranya kamu bisa masuk?”         “Ke Jerman?”         “Natasha, aku bertanya kepadamu.”         “Aku juga lagi bertanya, bahkan aku duluan yang bertanya. Seharusnya kakak ….” Natasha menghentikan kalimatnya ketika mendapati Anna sedang menatap tajam ke arahnya.         “Aku tadinya hanya ingin tau kamar kakak yang mana, jadi aku menanyakan kepada salah satu yang tinggal di sini, dia menunjukkan kamar ini.”         “Aku bertanya kenapa kamu bisa masuk.”         “Kamar kakak enggak terkunci, aku tidak sengajak menyentuh handle pintu, lalu pintunya terbuka.”            Anna hampir menghela napasnya panjang-panjang, tapi urung ketika Natasha menuntutnya untuk memberikan jawaban.         “Sekarang, giliran kakak, jawab pertanyaanku.”         “Apa?”         “Kakak mau ke Jerman?”         “Apa kamu enggak bisa mendapatkan jawaban setelah membaca surat ini?”         “Kakak melarikan diri lagi?”         “Aku kuliah, Natasha.”         “Tapi kenapa harus ke luar negeri?” Natasha bertanya, “Di sini saja kakak enggak pernah pulang, gimana kalau di luar negeri? Atau kakak emang enggak ada niat untuk pulang sama sekali?”         “Dan apa yang akan kamu lakukan kalau aku memberikan jawaban?”         Natasha terdiam, ia juga tidak tahu tentang apa yang akan ia lakukan setelah mendengar jawabannya. Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap keputusan Anna.         “Pulanglah.” Anna bersuara pelan. “Ini alamat email aku.” Anna memberikan secarik kertas kepada Natasha yang masih mematung tanpa suara. “Kamu tahu harus bersikap seperti apa, Natasha.” Anna memandangi adiknya sebelum menutup kalimatnya dengan ini, “Email ini bisa aku ganti kapan pun aku mau. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN