Run Away

1212 Kata
        Meskipun terlihat tenang tanpa ekspresi yang berarti, tetapi ketika Anna keluar dari pintu rumah sakit, ia merasa lega.Tugasnya selesai, artinya ia bisa pulang dan berdiam.         Tubuhnya sudah lelah, langkahnya lunglai ketika berjalan sendirian ke gerbang rumah sakit. Namun begitu ia melihat Natasha tersenyum karena melihat dirinya, Anna tahu kalau ia akan menghadapi malam yang berat.         “Kak,” sapa Natasha hormat.         Anna sebenarnya ingin pergi, tetapi hari sudah malam. Bulan sudah menggantikan tugas matahari. Dia masih memiliki hati untuk tidak membiarkan adiknya berkeliaran sendirian.         “Dari jam berapa kamu di sini?”         “Aku baru datang.”         Anna menatap  Natasha tajam, matanya memindai dari kepala hingga kaki. Membuat Natasha memegang tali tasnya salah tingkah.         “Aku ada rapat BEM tadi.”         Anna tidak berkomentar lagi, ia hanya mengaktifkan ponselnya kemudian tidak lama kemudian sebuah mobil Avanza hitam berhenti di depan mereka. Anna menjawab dengan anggukan ketika seseorang yang duduk di belakang kemudi mengidentifikasi identitasnya. Setelah dipersilahkan masuk, Anna langsung masuk tanpa menoleh kepada Natasha.         Natasha yang mengenal watak Anna meskipun sudah lama tidak bersama, langsung masuk begitu mobil masih belum beranjak. Dia diam saja ketika Anna sekali lagi mengiyakan pernyataan sopir grab yang memastikan tempat tujuan mereka.         Mereka sampai di sebuah restoran yang terkenal karena menu seafood-nya. Meskipun hampir larut, tapi restoran ini masih sangat ramai pengunjung. Mereka beruntung mendapatkan sebuah meja dengan kursi kosong untuk ditempati.         “Pesan saja apa yang kamu mau.”         Natasha mengangguk, sebenarnya ia juga sudah kelaparan, mengingat makanan terakhir yang mengisi perutnya adalah roti bakar tadi pagi. Dia memilih makanannya sendiri setelah Anna baru pulang dari salah satu stand  makanan. Karena restoran ini memakai sistem mengambil makanan sendiri.         “Kuharap kamu membicarakan hal lain kali ini,” kata Anna setelah ia menghabiskan chilli crab-nya.         Natasha meminum sugar cane juice-nya, mengakhiri proses makan malamnya yang sekaligus merapel makan siang. Dia mengaduk-aduk minumannya, terlihat ragu sebelum akhirnya berhasil mengucapkan ini, “Aku masih menanyakan kapan kakak pulang?”         “Nat.”         “Kakak udah pergi terlalu lama, apa kakak nggak kangen sama mama?”         Anna semakin menatap dingin Natasha, “Kamu sudah tahu jawabannya sejak sepuluh tahun yang lalu.”         “Sampaikan salamku sama mama, kirim tagihan uang kuliah kamu dan sekolah adik-adik ke emailku. Sekarang, pulanglah. Sudah malam.”         “Kak.”         “Jangan membuatku mengusirmu dengan kejam, Natasha.”         Setelah meninggalkan beberapa lembar uang seratusan untuk Natasha, Anna melenggang meninggalkan adiknya itu tanpa berpikir lagi untuk memastikan jemputan yang akan dipilih oleh Natasha.   *           Malam sudah larut ketika Anna tiba di apartemennya. Keinginan terbesarnya saat ini adalah langsung tidur. Tetapi mengingat kekacauan yang ia lakukan masih belum dibereskan, Anna yakin ia tidak akan bisa memejamkan mata. Jadi, meskipun tidak nyaman, Anna merebahkan tubuhnya di sofa di ruang tamu di apartemennya.         Setelah sekian menit mencoba untuk terlelap, Anna menyerah karena gagal terbuai mimpi. Sebenarnya tubuhnya sudah berteriak minta diistirahatkan, tapi matanya enggan menuruti. Masuk ke kamar juga pilihan yang bagus. Dia ingat sekali bagaimana keadaan ruangan yang menjadi teman baiknya beberapa bulan ini.         Setelah menghela napas berulang kali, pikiran Anna kembali melayang ke beberapa tahun yang lalu.         “Ma, kakak ngekos aja, ya.”         Nia yang sedang memotong wortel menghentikan kegiatannya. Matanya memandang Anna bingung, dahi wanita itu bahkan sedikit berkerut ketika bertanya, “Ngekos?”         “Iya.” Jawaban Anna sangat singkat dan ia tidak terlihat tidak ingin menambahkan keterangannya lagi.         “Ngekos itu kamu tinggal sendirian, jauh dari mama papa, kamu tau itu, kan?” Nia memastikan, pasalnya Anna baru saja masuk ke sekolah menengah pertama, lalu tiba-tiba putrinya yang baru berusia tiga belas tahun itu berbicara tentang hidup sendiri.         “Iya.” Sekali lagi Anna menjawab dengan singkat dan terdengar tegas.         Nia semakin mengernyitkan dahi, ia yakin jawaban Anna bukan sebuah kebohongan. Putri sulungnya ini sangat cerdas, kemampuan berpikirnya jauh di atas anak-anak seusianya. Tanpa menyelesaikan pekerjaannya, Nia berjalan mendekat ke meja makan tempat Anna duduk memperhatikan ibunya sejak tadi.         Nia menarik kursi di depan Anna, matanya memandang sang putri dengan lekat. Dan ketika matanya tenggelam dalam jendela hati si sulung, Nia bertanya dengan suara hampir bergetar.         “Kenapa kamu ingin tinggal di kos?”         “Supaya lebih dekat dengan sekolah.”         “Kakak, Sayang.”         “Kakak mengikuti beberapa kegiatan ekstrakulikuler, sepertinya itu akan sangat menyita waktu. Enggak akan efisien kalau kakak banyak menghabiskan waktu di jalan.”         “Kenapa enggak efisien?” tanya Nia.         “Kegiatan ekstrakulikuler itu selalu setelah jam pembelajaran aktif, Ma. Kakak akan selalu pulang sore, bus sekolah enggak beroperasi lagi jam segitu.”         “Lalu?”         “Kakak malas naik angkutan umum, rentan.”         “Papa bisa menjemput kamu, sebenarnya papa juga bisa mengantar kamu setiap pagi.”         “Kan kerja.”         “Mengantarkan kamu ke sekolah tidak akan membuat papa terlambat, arah sekolah kamu sama kantor papa itu sama.”         “Jadi, kakak diizinkan atau enggak?” Seperti biasa, jika sudah membicarakan tentang papanya, Anna enggan dan selalu terburu-buru ingin mengakhiri pembicaraan.         “Enggak.”         Tiga tahun berikutnya, Anna duduk dengan tenang di kursi yang sama, di ruang makan yang sama sambil memperhatikan Nia yang saat ini sedang menghidangkan ayam kecap untuk menu makan malam mereka.         “Kakak mau ngekos.” Itu bukan sebuah kalimat meminta izin, Anna hanya ingin menyampaikan niatnya.         “Ngekos?” tanya Nia memastikan.         “Siapa yang ngekos?” Sebuah suara berat menimpali percakapan mereka. Dana bertanya sambil menatap isteri dan putrinya. “Ngekos, tinggal di kos maksudnya?”         “Iya,” jawab Nia sambil kembali menata makan malam untuk mereka, “Coba tanya anaknya, katanya mau ngekos.”         Anna mendengus, sangat pelan sehingga tidak ada yang menyadari kalau ia baru saja bersikap tidak sopan terhadap orang tua sendiri.         “Kenapa kamu mau ngekos?”         “Aku ingin fokus ke sekolah dan belajar.”         “Memangnya kalau kamu tinggal di rumah, kamu tidak bisa fokus belajar?”         “Aku mendapatkan beasiswa penuh, jadi uang sekolah yang seharusnya papa sediakan untuk aku bisa dibayarkan untuk kos. Enggak lama, aku hanya minta hidupi aku tiga tahun lagi.”         “Anna.” Suara Dana terdengar tidak suka, “Kamu berbicara seolah papa orang asing, tanpa kamu minta pun, sudah menjadi kewajiban papa untuk menghidupi kamu dan adik-adik kamu.”         “Kak, mama enggak suka kamu kurang ajar begitu.” Kali ini Nia yang berkomentar, “Jangan keterlaluan, sama orang tua sendiri, kamu itu selalu dididik untuk menghormati orang tua.”         “Aku sudah menemukan tempatnya, untuk dua bulan pertama ini sudah aku bayar dengan uang tabungan selama SMP kemarin, besok atau lusa aku mungkin udah pindahan. Minggu depan udah mulai MOS, aku akan sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk sekolah baru.”         Nia dibuat terkejut oleh ucapan sang putri, berbeda dengan sang isteri, Dana terlihat sudah menyangka hal ini akan terjadi. Gelagat Anna selalu menunjukkan kalau ia tidak betah di rumah, sulungnya ini sengaja terlibat dalam berbagai kegiatan ekstrakuliler sekolah yang membuatnya selalu punya acara bahkan jika hari libur.         “Di mana kosnya?” tanya Dana pada akhirnya.         “Pa.”         “Anna sudah besar, Ma. Dia sudah cukup matang untuk mengambil keputusan.”         “Tapi, ….”         “Dekat dengan sekolahku,” ucap Anna menyela suara mamanya. “Lusa aku pindahan, papa tidak perlu mengantar aku.” Itu kalimat terkahir Anna malam itu sebelum adik-adiknya datang bergabung untuk menyantap makan malam.   *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN