Pria hid*ng bel*ng itu datang kepada Mami Inne dan Wawan. Dia benar-benar menginginkan Tania. Berapapun yang mereka minta dia tak segan untuk menjanjikan dua kali lipat. Bahkan, dia membawa dua tas uang dan memperlihatkannya pada Mami Inne dan Wawan sebagai bukti bahwa dia serius dengan keinginannya.
“Delon itu anak Mami Inne?” tanyanya. Aksi Delon membela Tania memang sangat keren.
Asap kelabu membumbung mengeluarkan bau khas tembakau. “Dia anak angkat saya,” ucap Mami Inne seraya membenamkan ujung puntung ke atas permukaan asbak.
“Oh … Berarti bisa dong membawa Tania untuk saya?”
“Tentu saja.” Wanita tua itu mengibas-ngibaskan kipas mengusir bau tembakau yang bisa saja menempel di bajunya.
“Begitu Anda bawa Tania pada saya, Anda akan langsung mendapatkan uangnya.”
Mami Inne mengangkat sebelah alisnya, dia pikir pria hid*ng bel*ng itu akan langsung memeberikan uangnya. Setidaknya untuk uang muka, meski hanya setengahnya saja. Namun nyatanya tidak. “Kalau begitu saya permisi. Satu minggu Tania sudah harus diantar pada saya,” ucap pria itu sembari menutup kembali tas yang berisi uang itu, sedetik kemudian dia berlalu sembari membawa kembali uangnya.
Wawan menoleh pada tuannya. Mereka menyepakati perjanjian itu.
***
Delon memicingkan mata, mengintip dari lubang kecil pintu. Sudah dia duga Mami Inne datang bersama Wawan.
Delon membuka pintu. “Pagi, Mi.”
Wanita tua itu masuk dan langsung duduk di sofa, sementara Wawan berdiri di depan pintu.
Angin yang dihasilkan dari kibasan kipas yang selalu dibawa Mami Inne, menerbangkan anak rambut coklat terangnya. Gayanya yang terbilang nyentrik selalu menjadi pusat perhatian. “Ini permohonan terakhir Mami sama kamu.”
Delon menghela napas. “Jawabannya masih sama, Mi. Kasihan Mi, anak orang.”
Dia menatap Delon iba. “Cuma satu malam, Delon.”
“Nggak Mi. Meski hanya satu jam, jawabannya tetap sama. Izinkan aku bahagia.” Delon memang keras kepala. Dia tidak tergiur dengan uang yang berjumlah besar.
“Empat miliar Delon,” ucapnya sembari mengacungkan tangan dan melipat ibu jarinya.
Delon menggeleng pelan. Mami Inne mencebik seraya bangkit dan pergi diikuti Wawan. Mereka melewati apartemen Tania sempat berhenti di depan pintu. Namun, kemudian melanjutkan langkahnya karena Mami Inne melihat Delon sedang memperhatikannya.
Jarak apartemen Delon dengan Tania hanya sepuluh langkah. Delon segera menekan bell, berharap Tania tidak membiarkannya terlalu lama.
Dua kali bell di tekan pintu terbuka.
Gadis yang hanya memakai kimono handuk berdiri di depan pintu. Tatapannya membuat Delon hilang fokus, dia bahkan lupa akan kedatangannya ke apartemen Tania. Tetesan air jatuh dari rambutnya, membuat Delon berpikir liar. Pantas banyak orang yang rela menawar Tania dengan harga tinggi. Delon pun tak kuasa.
Alis hitam alami dan bulu mata yang lentik membingkai mata hazelnya. Bibir merah itu tampak segar, basah tersentuh air.
Tania tersenyum miring dan mengibaskan tangan di depan Delon. Namun, pria berkuncir itu masih belum sadar. Akhirnya Tania pergi meninggalkannya sendiri. Dia masuk ke kamar dan mengunci pintu. Sibuk mengganti baju. Tak di pedulikan pria aneh itu. Entah mau apa dia datang tiba-tiba.
Dua puluh menit Tania keluar dari kamar, Delon sudah duduk di sofa, Tania pikir Delon pergi.
“Kamu kenapa?” Suara lembut Tania mengejutkan Delon.
“Aku mau kamu segera pergi dari sini.”
“Heh ….” Tania menghempas b****g di sebelah Delon membuat busa sofa sedikit terkoyak.
Delon memutar posisi, dia meraih kedua tangannya yang dingin akibat terlalu lama berendam di air. “Iya. Pulanglah ke Semarang. Saat ini kamu benar-benar tidak aman.”
“Tapi, kamu? Bisnis kita?”
Delon menarik napas. “Nggak usah dipikirin, aku bisa mengurus semuanya sendiri.”
Tania menatapnya dalam diam, memperhatikan bagaimana Delon menatapnya saat ini, ada rasa khawatir tersirat dari raut wajahnya. Tania menarik napas. “Delon, kamu serius?”
“Iya, Honey. Kamu boleh ke sini lagi, itupun kalau semua sudah aman.”
Tania melepaskan genggaman tangan Delon. “Tapi aku takut, Delon. Di Semarang aku sendiri.” Dia mengempas punggung ke sandaran sofa.
Delon yang melipat sebelah kakinya mencoba beringsut, sedikit mendekat ke arah Tania. “Aku pastikan tak ada satupun yang tahu.”
Tania menghela napas menurunkan bahu. “Delon,” lirihnya. Tania memang selalu mencari perlindungan, dia mudah menggantungkan diri pada orang lain. Beruntung Tuhan mempertemukannya dengan Delon.
Tania terperangah saat Delon memberinya tiket pesawat. “Pulanglah, Honey.”
Jantung Tania mencelus. Delon benar-benar ingin dia pergi. Dia menatap Delon dengan mata yang berembun, kemudian menghambur memeluk Delon. “Aku pengen tetep sama kamu.” Kontak fisik yang sering dilakukannya dengan Delon membuat Tania tak ragu untuk memeluknya.
Tangan Delon merengkuh punggungnya. “Iya, Honey. Tapi--”
“Apapun Delon. Asal jangan biarkan aku pergi jauh dari kamu.” Sedikit terperangah dengan ucapannya sendiri. Apa yang baru saja Tania katakan? Apa dia benar-benar sudah jatuh hati?
Delon tak begitu memperhatikan rengekan Tania. Saat ini dia tak punya cara lain. Tangan besarnya memegang kedua pipi Tania. Kepalanya menggeleng pelan. Ibu jarinya mengusap air mata yang jatuh dari sudut mata Tania. “Pulanglah!” lirihnya.
Jantung Tania serasa berhenti. Napasnya sesak, apalagi saat Delon mengulangi ucapannya, “Pulanglah. Nanti aku akan jemput kamu.”
Tania menggelengkan kepala. Dia bersikukuh. “Aku takut, Delon.”
Tania memang penakut. Betapa dia bergantung pada Reza karena takut dari Vanessa. Sekarang dia benar-benar telah bergantung pada Delon. Baginya Delon lebih bisa melindunginya dibanding Reza.
Delon kembali memeluk Tania. “Honey. Please.”
Tania merasakan debaran jantung Delon di balik d**a kekarnya. Air mata tak berhenti jatuh. Dia hanya takut jika Mami Inne dan anak buahnya lebih mudah mendapatkan Tania di Semarang.
“Kalau gitu, kamu pulang ke rumah tante kamu, ya.”
Tania mendongak. Dia tak percaya Delon benar-benar menginginkannya pergi.
“Jika kita ditakdirkan untuk bertemu kembali. Yakinlah, kita akan bertemu, Honey.”
“Delon.” Tania merasakan hatinya menjadi dingin, sedingin es.
Belaian lembut kembali Tania rasakan, di kepala hingga jatuh ke punggung. Membuatnya ingin tetap seperti ini. Dia benar-benar bingung, apa harus dia pergi ke Semarang, atau ke rumah Mia.
Saat Tania berada di dekat Delon dan dalam dekapan hangatnya, dia lupa tentang dia yang ingin menjadi kuat dan tidak ingin dipandang lemah. Nyatanya dia kalah dengan perasaannya sendiri.
“Delon, antar aku ke rumah tante Mia.”
“Kamu yakin?”
Tania mengangguk.
“Oke.” Apapun akan Delon lakukan, seandainya itu bisa membuat Tania tetap aman. Namun, untuk saat ini Tania harus mendapat perlindungan selain darinya.
***
Tania memberi aba-aba pada Delon untuk berhenti. Dia menatap rumah bercat putih itu, sudah berapa lama rumah itu di ganti cat. Tania tak tahu, pasalnya sudah hampir dua tahun dia tidak pernah berkunjung.
Pekarangan rumah yang asri itu, membuat Tania teringat semuanya. Setetes air jatuh dari sudut matanya. Bayangan Rega terlintas saat dia selalu menjemput dan mengantarnya pulang. Kenangannya bersama Rega begitu melekat. Pandangan Tania beralih ke jendela kamarnya yang ada di atas, kemudian turun ke bawah, di sana Rega melamarnya, sebelum kejadian kecelakaan itu. Salah satu penyesalan terbesar Tania karena membuang sisa umur Rega dengan sia-sia.
“Kamu sudah siap?”
Tania terkesiap. Suara lembut Delon membelai telinganya. Dia menoleh dan mengangguk, meski ragu. Namun, dia harus bisa mengalahkan keraguannya itu. Mau sampai kapan dia melupakan masa lalu, sementara semua masa lalu berkaitan erat dengan masa depannya. Bahkan, semakin Tania menghindar, semakin Tania tak bisa melupakan.
“Turun dulu yuk, kita ketemu tante Mia?” Tania menggenggam tangan Delon yang sedang mencengkram roda kemudi.
“Mungkin lain kali, Honey. Aku harus ke kafe.”
Tania tersenyum kaku, kemudian mengangguk. “Makasih untuk semuanya ya, Delon.”
“Maaf ya.”
Tania mengernyit. “Tidak usah minta maaf, ini memang salahku, Delon. Harusnya dari dulu aku pulang ke sini. Bukannya malah menyusahkanmu.”
“Nggak. Kalau dari dulu kamu pulang, mungkin kita akan bertemu. Tapi tak akan akan sedekat ini.”
Delon benar. Tania mengangguk setuju. Dia memang mudah menyesali keadaan, tapi tidak dengan Delon, apapun yang Delon lalui itu adalah sesuatu yang harus dikenang.
Tania turun dan melambaikan tangan pada Delon yang mulai menjauh bersama mobilnya.
Dia meyakinkan diri. Menyeret koper lalu berdiri di depan pintu. Bell rumah berbunyi begitu ditekan. Setelah menunggu beberapa saat. Seorang pria jangkung berdiri di depannya. Menatapnya tak percaya.
“Kak Tania?”
Tania mengangguk cepat. Dia menghambur memeluk adik sepupunya itu.
“Masuk, Kak.” Antara percaya dan tidak, penampilan Tania membuat Dimas pangling. Dimas berteriak bahagia memanggil ibunya.
Seorang wanita paruh baya keluar dari dapur. Dia mematung menatap Tania. Air mata mulai menetes membasahi pipinya. Dia tak percaya, setelah hampir empat bulan kehilangan kontak, kehilangan kabar, bahkan dikabarkan hilang. Kini Tania berada dalam pelukannya, memohon maaf.
“Kamu kemana saja sih, Sayang? Tante khawatir.”
“Maaf tante.” Tania tak bisa membendung air matanya.
***