18. Di Lapangan

2410 Kata
Bianca memutar kepalanya ke kanan-kiri depan-belakang mencari keberadaan teman-temannya. "Ca! Sini!" Bianca memfokuskan matanya pada satu objek begitu mendengar suara kencang memanggilnya. Setelah memastikan bahwa itu adalah Vanesha, Leon, dan Vernand, Bianca lantas berlari kecil menghampiri mereka. "Kenapa disini sih?" Tanyanya setelah berdiri sempurna di samping Vanesha. Mereka tidak duduk di tribun kaya biasanya, kali ini mereka duduk di pinggir lapangan tempat anak-anak basket biasa istirahat. "Ya gapapa, lebih enak aja ada mejanya." Jawab Vanesha enteng. Tapi memang benar kok, ini tempat anak basket istirahat, otomatis sudah lengkap ada meja dan bangku. Sebenarnya ini khusus anak basket yang habis latihan aja, tapi berhubung Nathan adalah wakil ketua basket jadi mereka diperbolehkan, ditambah ada Bianca, yang sudah terkenal dekat dengan Jonathan, si ketua basket. Bisa seenaknya lah mereka disini. "Lho, Nathan ko menjauh?" Bianca bertanya heran. Melihat Nathan yang duduk tidak semeja dengan mereka. Cowok itu sibuk dengan ponselnya. "Tadi dia ditelpon pelatih, mungkin ada latihan dadakan atau apa, pokoknya ngga bisa diganggu." "Biasalah, orang sibuk." Ucap Leon menimpali penjelasan Vanesha. Bianca mengangguk mengerti, kemudian ia berdiri mendadak membuat ketiga orang disitu menatapnya heran. "Gua bareng Nathan ya, biar dia ngga sendiri." Ucapnya mengangkat batagornya yang dicampur sosis sebelum berpindah tempat dan duduk di depan cowok itu. Nathan menegakkan kepala begitu merasa bangku di depannya telah diisi oleh seseorang. "Oh Lo, Ca. Kirain siapa." Nathan kembali fokus pada layar handphone nya sebentar lalu memasukan benda pipih itu ke dalam saku celananya. "Sibuk banget kayanya, mas. Siapa sih?" Nathan menggeleng pelan, memasukan mie pesanannya ke dalam mulut lalu tersenyum menatap lawan bicaranya. "Franky. Gua suruh jaga anak-anak biar tetap di kelas nanti, ngga mencar. Mau ngasih tau info penting katanya." Alis Bianca mengernyit dalam, membuat kerutan dahinya nampak sangat jelas. "Info? Info apaan dah?" Nathan kembali memakan mie-nya dan menggeleng beberapa kali. "Ngga tau juga, dia ngga bilang, cuman suruh biar ngga mencar aja." Bianca mengangguk mengerti lalu setelahnya menggeleng pelan. "Katanya Venesh Lo ditelpon pelatih. Boong itu anak ya." Merenggut pelan menjeda ucapannya, Bianca memakan batagornya perlahan. "Begitu aja sampe menjauh gini, ayo lah duduk bareng mereka aja." "Oh? Tadi emang ditelpon pelatih, mau latihan gabungan." Nathan memperhatikan Bianca yang lagi meminum s**u pisang kesukaannya. Sebelum hendak berdiri, Nathan lebih dulu menghentikan Bianca. "Ngga usah lah, disini aja. Kalo bareng mereka berisik banget, liat." Bianca kembali duduk setelah mendengar ucapan Nathan yang benar adanya. Vanesha, Leon, dan Vernand tengah cekikikan sambil memasukan makanan mereka ke dalam mulut dengan acak. Makanan Vernand bahkan sudah berceceran karena asik memukul meja, Leon ngakak ngga berhenti, makanannya tertahan di mulut sampai ia keselek, sedangkan Vanesha, makanan gadis itu masih sangat banyak karena ia sibuk ketawa. Bianca menggeleng maklum. Ketiga temannya memang tidak pernah bisa makan dengan tenang kalau sudah kumpul. Ini yang akan terjadi, gosip hangat yang sedang tenar dan suara ketawa yang sangat berisik. "Latihan gabungan apa? Mau ada lomba kah? Siapa aja yang ikut?" Nathan mengangguk lalu menggeleng setelahnya. "Iya, tapi bukan di sekolah. Kenapa mau nanyain Jonathan ya?" Tebak Nathan asal yang sayangnya tepat sasaran. Bianca menelan batagor dan sosisnya kasar lalu batuk karena terlalu terkejut. Mengambil s**u pisangnya, kemudian meminumnya hingga tersisa setengah. "Ahh." Lega gadis itu saat dirasa tenggorokannya tidak sesakit tadi. "Ekhm." Bianca menggerakkan badannya mencari posisi ternyaman. "Engga, ngapain juga nanyain dia, ngga penting banget, gila." Nathan terkekeh melihat tingkah Bianca yang justru semakin terlihat jelas di matanya bahwa gadis itu memang bermaksud menanyakan Jonathan. "Santai aja kali, ampe keselek gitu." Ledeknya. "Apaan sih, Lo!" Kesal Bianca. Dia memang tidak berniat menanyakan pria itu kok, hanya tiba-tiba nama cowok itu terlintas dalam benaknya. Bianca ngga suka nih diledek-ledek begini. "Dih, apaan? Lo kenapa, buset?" Nathan tertawa melihat Bianca yang mulai bergerak kesana-kemari. Padahal Nathan cuman mengucapkan nama Jonathan dan Bianca sudah seperti ini. "Jonathan ikut ko, ngga usah khawatir. Tapi gua ngga tau dia bakal dateng latihan apa ngga, ya Lo tau sendiri dia anaknya gimana. Tapi kalo soal lomba dia pasti ikut sih, secara dia ketuanya, skill dia juga yang paling mantep kan." Bianca mengangguk mengerti, ia berusaha menetralkan dirinya sendiri. Kenapa dia malah penasaran soal cowok itu sih? Dia pengen dengar lebih jauh soal Jonathan. Dia puas dengan jawaban Nathan, tapi dia mau lebih. "Oh." Jawabnya pendek. Bianca tidak tau harus bereaksi seperti apa. Tidak mungkin ia bertanya lebih kan, malu-maluin. Tapi Bianca masih ingin mendengarnya lagi. "Oh iya, ngomongin soal Jonathan. Lo lagi deket ya sama dia? Atau...-" Nathan menggantung kalimatnya, mengamati Bianca dengan seksama lalu kembali berucap, "ada hubungan lain?" Bianca diam, tak beraksi apa-apa. Namun beberapa detik setelahnya, gadis itu batuk lebih keras dari yang tadi. "Air... Air..." Pintanya. Bianca bisa aja meminum s**u pisangnya lagi, tapi sayang banget kalo diminum gitu aja, dia ngga bisa merasakan dan menikmati rasanya yang unik dulu, harus langsung ditelan. Melihat Bianca yang tersedak semakin parah, Nathan segera memberi air putih miliknya, memajukan badannya hingga berada cukup dekat dengan Bianca, lalu menepuk-nepuk punggung gadis itu lembut. "Pelan-pelan, Ca. Keselek mulu Lo." Masih dengan tangan yang sibuk menepuk punggung Bianca, Nathan membantu gadis itu untuk kembali tenang. Meja yang membatasi keduanya memang tidak terlalu lebar, dan Nathan sangat tinggi untuk ukuran anak SMA di Indonesia. Jadi ia bisa dengan mudah menaruh tangannya di punggung belakang gadis itu. "Aduuh..." Masih dengan jarak sedekat itu, Nathan menatap Bianca khawatir. Apa lagi saat mendengar gadis itu mengaduh, terdengar seperti sangat kesakitan. "Kenapa, Ca? Apa yang sakit?" Bianca balik menatap Nathan dengan mata yang hampir berkaca-kaca, seperti mata anak anjing. "Tenggorokan, tenggorakannya yang sakit." Nathan menatap Bianca datar, ia mendorong kening Bianca dengan telunjuknya lalu menjauhkan badan. "Kirain apa." "Aah! Sakit, Nathan!" Adu gadis itu. Nathan ngedorongnya ngga tanggung-tanggunh, Bianca sampai hampir mendongak dibuatnya. Menghela napas malas, Nathan kembali memberi tatapan malasnya pada gadis dihadapannya ini. "Lebay." Bianca mendengus malas, Nathan tuh sama aja kaya Jonathan, kekuatannya tidak main-main, bahkan jika kepalanya terkena lemparan batupun rasanya akan seperti digigit semut, pelan bagi mereka itu luar biasa bagi lawannya. Makanya Nathanie dan Jonathan selalu jadi tameng di kelasnya masing-masing. Udah sama-sama orang penting di sekolah, sama-sama wakil dan ketua basket, sama-sama tampan luar biasa, sama-sama dengan tinggi yang menjulang, dan sama-sama mempunyai kata 'Nathan' dalam namanya. Mereka berdua hampir semuanya sama, seperti anak kembar aja. "Eh kemarin gua liat snap Vernand, Lo bertempat lagi nonton drakor ya?" Tanya Bianca mengalihkan pembicaraan, ia sudah tidak nyaman membicarakan orang lain dalam percakapan mereka. Ngga baik gosip sama Nathan. Nathan mengernyitkan dahi heran. "Snap? Snap yang mana dah? Emang Vernand ada bikin snap kemaren?" Tanya Nathan sambil memutar-mutar bola matanya mencoba mengingat. Bianca mengangguk sedikit heboh, "iya, masa Lo ngga tau sih? Perasaan Lo di tag sama dia?" "Masa sih?" "Iya, Nathannn! Itu lho, yang di rumah Vernand, ada Lele sama Franky juga. Inget ga?" "Yang malem-malem itu?" Bianca kembali mengangguk, kali ini lebih heboh, ia sudah tidak sabar menanyakan hal-hal berbau Korea bersama cowok ini. Bianca ngga begitu suka sama Korea sih, dia cuman suka drakor dan beberapa aktornya aja. Selebihnya ya dia memang ngga tertarik. Setelah berpikir beberapa saat, Nathan mengangguk mengiyakan pertanyaan Bianca. Ia sudah menemukan maksud gadis itu. "Iya, gara-gara Vernand tuh, dia punya banyak banget drakor di flashdisk sama laptopnya. Jadi ya dari pada gabut mending nonton kan. Kenapa dah?" "Eh? Vernand drakoran juga? Masa sih? Dia aja suka ngatain bencong." "He? Dia ngatain gitu? Bukannya dia ngga pedulian ya sama begituan?" Bianca mengangguk malas, diliriknya Vernand yang masih sibuk menghabiskan makanannya yang hampir setengahnya berhamburan ke tanah. "Apaan Lo liat-liat? Mao?" Teriak cowok itu karena merasa diperhatikan. Bianca menatapnya jijik lalu menyumpah sarapahi cowok itu dalam hati, masih kesal mengingat bagaimana cowo itu dengan gampang menghina-hina idolanya yang sudah dianggap pacar. "Najis banget." Bianca mengalihkan perhatiannya dan kembali pada Nathan. "Iya, emang anak babi." Nathan tertawa cukup keras mendengar Bianca mengumpat sampai mengeluarkan bahasa suci-nya. Tidak biasanya Bianca sampai begini. "Heh, omongannya." Bianca menunduk menatap mangkok batagornya yang sudah habis, tersisa bumbu-bumbunya aja. "Dia tuh anak anjing," Bianca mendongak menatap Nathan terkejut, "hah?" Sambil mengerjab-ngerjabkan mata. Nathan lantas tertawa pelan, "iya kan? Kelakuannya aja kaya anjing, suka ngemut-ngemutin tulang lagi, liat noh." Serunya sambil menunjuk Vernand menggunakan isyarat mata. Cowok itu sedang menjilati tulang ayam dengan lahap. Dan untungnya Bianca paham, jadi setelah itu ia langsung tertawa bersama Nathan. Tiga orang di sebrang hanya menatap mereka heran, lalu kembali fokus pada makanan masing-masing. "Gua kira tadi Lo mau marah." Bianca tertawa ringan, ia pukul pelan tangan Nathan yang ada di atas meja. "Oh iya, nonton apa Lo kemaren? Ko ada sugar uncle gua disana?" Selesai dengan tawa recehnya, Bianca bertanya berusaha kembali pada topik mereka tadi. Dia suka aja ngomongin drakor, terutama Nathan kan ngga pernah nunjukin kalo dia suka drakor, jadi ya penasaran aja. "Sugar uncle? Siapa? Gila kali Lo punya begituan? Diliatin preman dikit langsung nangis aja sok-sokan punya sugar-sugaran." Bianca kembali mengumpat dalam hati mendengar ledekan Nathan. Kan, dia jadi teringat Jonathan lagi, saat dimana cowok itu menolongnya dari dua preman jahat. Dan fakta bahwa Christian adalah pemimpin mereka, Bianca masih belum mengerti bagian situ, ia ragu untuk bertanya. Oh iya, sebelumnya Bianca juga pernah diganggu preman saat mereka berenam nongkrong di cafe. Pas itu belum ada yang datang, baru Bianca, tapi dia ngga berani masuk duluan. Dan sialnya ada preman disekitar situ. Untunglah Nathan datang, jadi dia bisa menemani Bianca. Namun saat Bianca izin mengangkat telepon keluar cafe supaya dapat sinyal, dia kembali diliatin sama preman itu. Bahkan preman itu berani mendekati dan bersiul menggoda. Bukannya masuk atau teriak marah, Bianca justru nangis seperti anak TK yang kehilangan permennya. Nathan yang merasa Bianca terlalu lama pun menyusulnya, dan kaget setengah mati mendapati Bianca yang menangis sambil berdiri dan mengucek matanya. Dengan segera cowok itu memukul preman kurang aja tersebut dan menenangkan Bianca di dalam. Namun karena itu mereka harus pindah tempat berkumpul karena Bianca masih ketakutan. "Heh, kurang ajar. Ngga lagi ya, ngga nangis lagi dong gua." Bianca memamerkan senyum polosnya. "Udah ada kemajuan nih gua, paling teriak doang, ngga nangis." Ucapnya membuat Nathan tersenyum menahan gemas. "Ah udah, lupain aja masalah itu. Gimana? Drakor apaan yang Lo tonton?" "Ah itu, gua lupa sih lengkapnya apa tapi kata Vernand namanya Goblin." Ucap Nathan santai, ia meminum cola sambil berucap. Mendengar judul drakor yang diucap Nathan, Bianca berteriak heboh. "TUH KAN!!! ADA SUGAR UNCLE GUA DISITU!" Pekiknya membuat beberapa siswa yang lewat langsung memerhatikan mereka. "Berisik bodat! Malu-maluin aja Lo." Marah Leon. Ia sedang asik menikmati makanannya sebelum makanan itu tersembur keluar karena teriakan Bianca. "Sugar uncle, sugar uncle. Uncle Lo udah pada beranak semua ya, sadar!" Vanesha ikut menimpali, Bianca yang teriak dia yang malu. Apa lagi Bianca ini kemana-mana sama dia. "Udah ada yang menduda juga btw, duda anak empat." Serobot Vernand. Ia menyerobot sebelum Bianca sempat membuka suara. "HEH! AIB! Kurang ajar Lo ya!!" Bangkit dari duduknya, Bianca mendekati Vernand dan menjambak rambut cowok itu kuat. Membuatnya mengaduh sakit dan dua orang lain menatapnya kaget. "Udah, Ca, anjir! Diliatin woy!" Leon berusaha melerai keduanya, ia menarik tangan Bianca dan menjauhkan gadis itu, memaksanya duduk kembali. Bukan apa-apa nih ya, Leon malah senang ngeliat Vernand tersiksa gitu, begitupun Nathan dan Vanesha, buktinya dua orang itu sibuk menonton sambil tertawa tanpa berniat membantu. Tapi dia malu, salah satu cewek yang lewat dan ngeliat kejadian ini adalah gebetannya. Malu dong, lagi, dia berusaha bersikap keren supaya menarik perhatian cewek itu. Bianca melepas jambakannya dan duduk dengan napas tidak stabil. Entah kenapa Bianca bawaannya kesel aja sama Vernand ini. Padahal Vanesha juga ngatain kan, tapi mana bisa sih dia marah ke cewek itu. Jadilah dia lampiaskan ke adiknya, masih sedarah juga. "Sakit banget anjing." Ujar Vernand hampir menangis. Vanesha tertawa pelan melihatnya, begitupun Leon. "Awas ya Lo, gua botakin pala Lo nyampe kelas." Ancam Bianca mampu membuat Vernand merinding. Ia mendelik lalu kembali sibuk dengan makanan dan rambutnya. Bodo amat ngga peduli. "Haha, kenapa sih Lo?" Nathan tertawa melihat bagaimana cewek ini menjambak Vernand sekuat tenaganya. Pipinya bahkan sampai merah. "Ngga tau, males aja gua sama dia. Memang anak dajjal." Nathan tersenyum simpul, sebenarnya dia juga ngga tahu sih kenapa Bianca sensi banget, tapi mengingat yang diledek Vernand adalah om dan keponakan kesayangannya, ya jadi mungkin itu alasannya. "Halah, biasa juga Lo yang nistain uncle Lo sendiri, sekarang sok-sokan ngebela." "Iya sih... Eh iya bener juga." Bianca menatap Nathan terkejut, membuat cowok itu mengernyit heran, ini Bianca kenapa sih? "Eh iya lho, kan yang sering nistain dia gua ya?" Nahloh, sedeng beneran. "Udah dih, ngapain jadi bahas uncle Lo sih. Yang lain ah, males gua." Bianca mengangguk, kemudian membenarkan posisi duduknya dan merapikan rambutnya acak. "Lanjut lah, ngomongin Goblin tadi ya? Gimana? Seru ngga?" Nathan menggeleng, ia menghela napasnya lalu menyeruput cola sedikit. "Seru sih, tapi lebay banget buset. Udah kita dipaksa begadang sama itu anak ampe jam lima." Bianca tersenyum lebar, tuh kan, walau Nathan ngga suka dia tetap enak diajak ngobrol beginian. "Lebay apaan dih? Itu namanya menghayati peran, keren lah bisa sampe nangis-nangis gitu." Belanya. "Oh iya, ngapain sampe jam lima? Ngabisin episodnya Lo?" Nathan mengangguk, "hm, gila aja kita ngga dibolehin tidur sebelum selesai." Jawabnya lesu. Akibat tingkah Vernand sekarang ia jadi ngantuk gini di sekolah. Ngga sempat tidur cuy, pulang dari rumah cowok itu Nathan langsung mandi dan gas ke sekolah. Biasa juga dia begadang, tapi ya ngga sampe ngga tidur juga. Setidaknya adalah dia tidur dua jam gitu. Kemarin benar-benar dua puluh empat jam Nathan ngga tidur. Dipaksa melek matanya. Kalo Vernand dan Leon mah jangan ditanya, mereka udah pakarnya dalam begadang begini. Liat aja tuh, masih bisa bercanda ngakak, bahkan ngga menunjukan tanda-tanda ngantuk. Hebat kan? Jelas. "Hahaha, mampus. Pantesan Lo lemes banget hari ini. Tidur dah tuh di UKS, lumayan kan." Nathan menggeleng lemah. "Ngga bisa, gua kan harus ngumpulin anak-anak. Reyhan mana mau bantu, diakan sibuk molor." Melotot, Bianca menatap Nathan tak percaya. Bisa-bisanya cowok itu mikirin tanggung jawab disaat begini. Emang Vernand anak dajjal, kan Nathan jadi begini. "Udah Lo ngga usah mikirin itu, biar gua aja yang ngumpulin anak-anak ntar. Paling yang kabur berapa sih? Biasa juga tujuh orang doang. Itu mah bisa disebar di grup aja." "Iya sih, terserah Lo lah, beneran bisa?" Bianca menatap Nathan yakin, berusaha meyakinkan cowok ini agar percaya sepenuhnya pada dirinya. "Iya, percaya sama gua."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN