"Innalilahiwainnalilahi raji'un."
Berita yang baru beredar di kelas X-1 ini menyebabkan gosip-gosip ria dari siswa maupun siswi kelas X-1. Putri pak Santo yang beberapa hari lalu diceritakan oleh Naya sedang menderita lupus. Telah dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.
Sebenarnya hal ini bisa disebut hal duka atau juga hal yang menguntungkan. Dukanya, anak Pak Santo meninggal. Bahagianya, mereka bisa pulang pagi dan tidak perlu mendengarkan ceramah dari guru sejarah. Tidak ada lagi guru yang tersisa menyebabkan hari ini pulang pagi karena semua guru ta'ziyah ke sana.
Sebenarnya Edel juga ingin ke sana. Mengingat Pak Santo adalah wali kelasnya sekaligus guru fisika, mata pelajaran kesukaan Naya.
Setidaknya kelas X-1 sempat membuat Pak Santo bahagia karena anak didiknya sudah perhatian dengan kehidupan pribadinya. Sayangnya, mereka dipulangkan dan tidak ada satupun yang mengetahui rumah Pak Santo. Katanya rumah yang pernah dikunjungi kelas X-1 itu bukan rumah asli tempat tinggal keluarga Pak Santo. Rumah yang sebenarnya ada di Bandung. Pak Santo hanya orang rantauan ke Jakarta.
Mendegar penuturan yang baru saja di sampaikan Daffa, ketua kelas membuat hati Edel terenyuh. Pasti sekarang ini gurunya itu sedang mengalami duka yang tidak bisa dirasakan orang lain. Kehilangan seorang anak satu-satunya bukan merupakan hal yang mudah diterima.
Edel membayangkan bagaimana jika hal itu terjadi padanya, seandainya bukan anak pak Santo yang terkena lupus, tapi Edel. Apakah mama dan papanya akan meninggalkan dia? Atau malah semakin menyanyanginya?
Untung kemarin setelah Elang membawanya pulang ke rumah, sakit dipinggangnya berangsur reda. Bahkan Elang menunggu Edel sampai sadar kemudian menyuapinya beberapa sendok makanan.
Edel meragukan semua persepsi yang ada di otaknya. Selama ini kedua orang tuanya sibuk bekerja. Waktu luang untuk berkumpul dengan keluarga hanya hari minggu. Terkadang juga papanya tidak ikut karena dinas di luar kota. Selalu saja ada halangan dan alasan untuk kumpul keluarga.
Sepengetahuan Edel, lupus bukanlah sekadar penyakit fisik. Tapi juga bisa menjadi penyakit psikologis. Lupus bisa melemahkan mental penderitanya karena menyebabkan bercak merah besar yang menyerupai sayap kupu-kupu di wajah.
Garis melintang dari pipi kanan sampai kiri, berbentuk kupu-kupu itu permanen. Edel tidak bisa membayangkan lebih lanjut. Revan pasti akan sedih jika hal itu terjadi pada Edel. Air mata jatuh membasahi pipi mulusnya. Edel tiba-tiba terisak dan hal itu membuat Naya bingung. Tidak biasanya, bahkan selama dia berteman dengan Edel belum pernah Naya melihatnya menangis.
Yang ada, Edel selalu menghibur Naya ketika dia sedang ditimpa masalah dengan keluarga atau masalah hubungan asmaranya dengan Darrel. Edel adalah tempat curhat Naya. Semua diceritakan kepadanya. Begitupun Edel. Naya adalah sahabat nya yang paling berbeda. Hanya dengan Naya dia bisa leluasa bercerita tentang seluk beluk keluarga dan masalah-masalahnya.
Tapi, sampai saat ini belum pernah Edel bercerita tentang kisah asmaranya. Edel memang tidak pernah berpacaran sama sekali. Selain papanya melarang karena akan mengganggu sekolahnya, dia juga tidak punya niatan untuk berpacaran.
"Kenapa lo nangis Del, apa ada yang lo sembunyiin?" Naya terus menatap Edel cemas.
"Gue kepikiran aja Nay. Seandainya aja gue ada diposisi anaknya Pak Santo. Apakah ada orang yang masih sayang sama gue?" Isakan Edel semakin bertambah, Naya memeluknya erat.
"Hustt Del. Sejak kapan lo jadi melankolis begini? Semua yang lo katakan itu tidak akan pernah terjadi. Lo nggak akan menderita lupus. Secara selama ini juga nggak ada riwayat penyakit itu kan di keluarga lo? Berhenti ngomong gitu. Semua orang sayang kok sama lo. Nggak usah jauh-jauh. Orang di samping lo ini bakal setia menemani lo apapun keadaannya."
Naya mencoba mencairkan suasana dengan terus memeluk Edel. Memberikan keyakinan kepada Edel tentang persepsi tidak beralasan itu.
Naya juga tidak akan membiarkan penyakit itu mengganggu Edel. Tidak akan pernah! Semua yang dikatakan Edel tadi, Naya berharap agar tidak terjadi.
"Del jadi gladi bersih kan? Gue yang akan ngawasin." Fino menyadarkan Edel ke realita.
"Jadi kok, gue kumpulin yang lain ya."
"Nggak usah Del, gue udah kumpulin mereka kok," jawab Fino halus.
"Elang juga?"
Cowok itu mengangguk lagi.
"Duluan Nay." Naya mengangguk.
Setelah mengambil tasnya, Edel pergi ke ruang drama bersama Fino. Ternyata di dalam sana sudah banyak yang menunggu, termasuk Elang.
"Lo ke mana aja sih? Untung lo datang sekarang, kalau nggak udah gue susul lo ke kelas," adu Elang tertuju ke Edel.
"Bawel, cepetan mulai." Edel memberi aba-aba.
Proses gladi bersih berjalan lancar, bahkan Elang yang sebelumnya tidak hafal naskah dan seenaknya sendiri jika berdialog, sekarang sudah cukup baik meskipun masih sedikit melenceng dari naskah.
"Sekarang kita tim, kita keluarga, dan drama besok nggak akan berjalan lancar kalau kita nggak kompak. Jadi ... semangat ya buat semuanya," kata Edel.
"Semangat!" sahut semuanya dan tentu Elang yang paling keras.
*****
Hari yang ditunggu oleh Edel dan anggota kelas drama lainnya tiba, sekarang waktunya pertunjukan drama di sekolah. Sesuai persetujuan dari OSIS bidang kesenian, mereka memberi tempat di aula.
Jam tujuh malam nanti tepatnya pentas akan dimulai. Bukan hanya drama sebenarnya, tetapi berbagai pertunjukan tari dan dance akan digelar, Naya juga ikut. Tapi yang utama di sini tetap pertunjukan drama, maka dari itu drama ditampilkan di akhir.
Lima belas menit lagi, Edel masih punya waktu menghafalkan naskah. Dia benar-benar gugup, ini kali pertamanya tampil lagi di semester baru, semester 2.
"Permen?" Fino menyerahkan satu bungkus permen berasa green tea untuk Edel.
Gadis itu mendongak karena dia sedang duduk di depan meja rias sedangkan Fino berdiri.
"Buat gue aja," tiba-tiba Elang menyahut permen yang seharusnya menjadi hak Edel.
Fino menghela napas lagi, dia mengambil satu permen lagi tetapi beraroma mint. "Kasih itu permen ke Edel, lo makan yang ini."
"Kenapa?" tanya Elang bingung.
"Dia suka permen green tea," jawab Fino lagi.
"Makasih Fin." Edel menerima permen itu dan memakannya. Setidaknya pikirannya bisa rileks sebentar.
Panggilan dari pemandu acara membuat seluruh orang yang akan tampil menjadi deg-deg an.
Penampilan pertama dibuka dengan dance dari big kru, komunitas dance Naya. Begitu memukau, disinari lampu berkelap-kelip seakan panggung itu bisa mereka kuasai.
Edel menelan ludah, bisakah ia dan anak drama begitu? Dia jadi minder.
"Tenang, ada gue." Elang menepuk bahunya.
Tanpa Elang ketahui Edel tersenyum tipis.
"Oke, mari kita sambut penampilan berikutnya, bagian utama dari pentas malam ini, drama musikal 'Bawang Merah dan Bawang Putih'." Sang pembawa acara sudah memanggil para pemain untuk bersiap.
"Yakin kita bisa!" sorak semua anggota drama.
Adegan pertama dimulai ketika Edel sedang bercanda tawa dengan keluarganya di rumah. Berlanjut ketika ibunya meninggal karena diracun.
Sejauh ini semuanya tetap lancar. Sampai akhirnya ayah Bawang Putih menikah lagi dan dia memiliki saudara bernama Bawang Merah.
Penderitaan dan p********n mulai dialami Bawang Putih. Tidak salah ternyata mereka menunjuk Edel sebagai Bawang Putih, karena aktingnya memang luar biasa. Dia tampil memukau walau banyak air mata harus dikeluarkan ketika adegan yang menyedihkan.
Cerita berlanjut di sebuah sungai ketika Bawang Putih bertemu pangeran. Entah karena pemerannya atau karena suasana yang mendukung, penonton terbawa dengan penampilan mereka. Kebaya putih yang dipakai Edel, juga pakaian kerajaan yang dikenakan Elang sangat serasi, mereka seperti pasangan.
Puncaknya, penonton menjerit baper ketika Elang mencium dahi Edel tanda drama selesai. Muka Edel merah padam, tapi emosinya masih bisa ia tahan. Mereka membungkukkan badan ke penonton dan kembali ke tirai besar di belakang panggung.
PLAK.
"Lo sengaja ya cium gue?" Edel menampar Elang begitu mereka tidak tersorot penonton lagi.
"Jangan cari masalah lo sama Edel atau ..." Fino mencengkram kerah Elang.
"Atau lo apa? Lo akan pukul gue?" ujar Elang menantang.
"Arggh," Fino melepaskan Elang dan mengajak Edel keluar dari aula.
"Ini yang kedua kalinya, tapi lo anggap ini yang pertama!"teriak Elang.
Edel menahan dalam hati semua perkataan kasar yang ingin ia lontarkan kepada Elang.
"Berarti orang yang bisikin gue waktu gue sakit di UKS itu Elang?" tanya Edel dalam hati.