Ibu Wahyu menghentakkan tangannya ke meja, matanya menatap Bu Jannah dengan sorot tajam yang menyala karena emosi.
"Saya nggak mau tahu! Saya minta orang tua anak ini datang besok juga ke sekolah! Saya mau bertemu langsung dan bicara baik-baik!" serunya lantang, menunjuk ke arah Fery yang masih berdiri dengan kepala tertunduk.
Bu Jannah berusaha tetap tenang, meski suasana mulai memanas. Ia tahu ibu Wahyu masih dibutakan oleh kemarahan dan belum mendengar cerita secara utuh.
"Iya, Bu. Mohon tenang dulu... nanti saya akan buatkan surat resmi panggilan untuk wali murid Fery. Besok akan kami usahakan agar ibunya hadir," ucap Bu Jannah dengan sabar, mencoba meredakan tensi.
Fery hanya berdiri membisu. Kata-kata tadi menancap di hatinya seperti duri. Ia merasa bersalah, bukan karena memukul, tapi karena tahu—ibunya yang selama ini sudah lelah bekerja, kini harus kembali direpotkan oleh ulahnya. Padahal ibunya selalu menasihati agar ia sabar, agar ia tidak membalas keburukan dengan keburukan.
Dalam hati kecilnya, Fery bergumam, "Maaf ya, Bu... aku nggak bisa jaga sikap seperti yang Ibu ajarkan. Aku gagal jadi anak sabar yang Ibu harapkan."
Rasa sesal menyelimuti hatinya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tahan. Ia tak ingin menangis di hadapan orang-orang yang menganggapnya hanya anak dari keluarga kecil yang tak punya apa-apa. Ia hanya menggenggam ujung bajunya erat, menahan emosi yang bergolak di dalam d**a.
Ruangan itu terasa begitu sempit baginya. Penuh dengan tuduhan, kemarahan, dan diam yang menyesakkan.
Tapi jauh di dalam hatinya, Fery tahu... besok adalah hari yang berat. Ia hanya berharap ibunya tidak terlalu kecewa, dan semoga—entah bagaimana caranya—kebenaran bisa benar-benar berdiri di pihaknya.
Sepulang sekolah, langkah Fery terasa lebih berat dari biasanya. Di tangannya, ia menggenggam surat panggilan dari sekolah—kertas yang terasa lebih berat dari sekadar lembaran biasa. Berat karena beban bersalah yang terus menggelayut di hatinya. Ia pulang dengan kepala tertunduk, dan ketika tiba di rumah, ibunya sudah duduk di depan rumah, sedang menambal baju dengan tangan penuh sabar.
Dengan ragu, Fery menyerahkan surat itu ke ibunya.
"Eh... Bu, ini ada surat dari guru di sekolah..." ucap Fery pelan.
Rista menghentikan jahitannya dan mengambil surat itu. Alisnya langsung mengernyit saat melihat tulisan "Panggilan Orang Tua" di bagian atas.
"Surat panggilan? Memangnya ada apa di sekolah, Nak?" tanyanya dengan nada tenang, tapi penuh rasa ingin tahu.
Fery menelan ludah. Ia tidak berani menatap wajah ibunya.
"Aku... aku enggak tahu, Bu. Cuma disuruh ngasih ke Ibu, katanya penting…" jawabnya cepat, sedikit berbohong demi menutupi kejadian yang sebenarnya.
Rista hanya diam, matanya masih tertuju pada surat yang belum ia buka. Ia tak ingin memaksakan jawaban dari Fery saat ini, meski hatinya mulai merasakan ada sesuatu yang disembunyikan anaknya.
"Baiklah... besok Ibu akan datang ke sekolah," ucapnya lirih.
Fery hanya mengangguk pelan, lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Di dalam, ia melihat adiknya, Kaila, sedang duduk di lantai, dikelilingi buku pelajaran dan sekotak makanan yang mengeluarkan aroma sedap. Fery berhenti melangkah, matanya terpaku pada sosis bakar yang sedang dikunyah oleh adiknya.
"Eh, Kakak udah pulang!" seru Kaila ceria. Ia menyodorkan sepotong sosis dengan senyum manis. "Nih Kak, kamu mau? Masih hangat!"
Fery duduk perlahan di samping adiknya, tatapannya bingung.
"Kamu... dapat sosis ini dari mana, Kaila?" tanyanya lembut.
"Tadi aku dikasih sama ibunya temenku, Bu Yanti. Soalnya aku diem-diem aja di sekolah pas jam istirahat, enggak jajan. Katanya kasihan liat aku cuma minum air putih doang," jawab Kaila polos, sambil mengunyah lagi.
Fery terdiam. Ada rasa hangat sekaligus nyeri di hatinya. Ia bahagia karena masih ada orang yang peduli pada adiknya. Tapi juga merasa terpukul—karena itu mengingatkannya betapa berat beban hidup mereka sekarang.
Ia membelai rambut adiknya pelan, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.
"Makasih ya, Kaila... kamu baik banget," gumamnya, lalu mengambil sepotong kecil sosis dari tangan adiknya, meski hatinya masih didera rasa bersalah.
Di luar kamar, Rista duduk termenung, surat di tangan belum juga dibuka. Angin sore mengelus pelan wajahnya yang lelah. Ia memandang langit dengan hati yang penuh tanya—dan doa.
Keesokan harinya, langit masih diselimuti awan kelabu ketika Rista menggandeng tangan Fery menuju sekolah. Langkah mereka pelan, penuh rasa canggung. Rista mengenakan kerudung polos dan baju sederhana, sementara Fery menunduk terus, sesekali mencuri pandang ke arah ibunya dengan rasa bersalah yang belum reda.
Sesampainya di sekolah, suasana tampak tegang. Di ruang guru, sudah duduk empat orang tua siswa: ibu Wahyu, ibu Adi, ibu Yunus, dan ibu Irul. Wajah mereka tampak tidak bersahabat. Suara percakapan pelan namun bernada tinggi sesekali terdengar, membuat suasana semakin tidak nyaman.
Pintu ruang guru terbuka perlahan.
"Permisi… assalamualaikum," ucap Rista lirih namun sopan, berdiri tegak di ambang pintu bersama Fery.
Bu Jannah segera berdiri dari kursinya dan menyambut mereka.
"Wa’alaikumsalam… silakan masuk, Bu Rista. Terima kasih sudah datang."
Rista mengangguk pelan dan duduk di kursi yang telah disiapkan. Fery berdiri di sampingnya, masih menunduk dalam diam.
Baru saja duduk, ibu Wahyu langsung bersuara dengan nada tajam.
"Bu, saya harap hari ini jelas ya. Anak Ibu ini sudah membuat anak saya babak belur. Kami orang tua ingin keadilan, jangan sampai kejadian ini dianggap sepele!"
Ibu-ibu lain mengangguk setuju, menimpali dengan keluhan yang tak jauh berbeda. Wajah-wajah mereka memancarkan emosi dan penilaian.
Namun Rista tidak terpancing. Ia menarik napas dalam, lalu menatap Bu Jannah dengan tenang.
"Mohon maaf sebelumnya, Bu Guru. Saya belum tahu jelas apa yang terjadi. Kalau memang anak saya salah, saya siap mendengar dan bertanggung jawab… Tapi, izinkan saya juga mendengar dari semua pihak."
Bu Jannah mengangguk, lalu mulai menceritakan kembali kronologi yang sebenarnya—termasuk kesaksian dari Luluk dan pengakuan diam-diam para pelaku kemarin. Ia menjelaskan bahwa Fery memang memukul lebih dulu, namun hanya setelah berkali-kali dihina, dibully, dan barang-barangnya dirusak.
"Fery bukan anak yang suka membuat keributan. Dia tertutup, rajin, dan pintar. Tapi hari itu... dia cuma anak kecil yang sudah terlalu lama diam," ucap Bu Jannah dengan nada empati.
Rista menoleh pada Fery. Anak itu masih berdiri menunduk, wajahnya penuh luka dan kantung mata yang tak biasa. Hati seorang ibu mana yang tak remuk?
Ia berdiri, lalu mengusap kepala Fery.
"Nak, Ibu enggak marah. Ibu tahu kamu bukan anak yang suka menyakiti orang. Tapi mulai sekarang, apapun yang kamu hadapi, ceritakan ke Ibu ya. Jangan simpan sendiri."
Fery mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu, matanya berkaca-kaca.
Para guru yang hadir pun mulai menunjukkan simpati, beberapa dari mereka bahkan menegur orang tua Wahyu dan teman-temannya.
"Anak-anak perlu didengar dan dibimbing, bukan hanya dibela. Kesalahan mereka juga harus diakui, bukan disembunyikan di balik amarah orang tua," ujar salah satu guru.
Ibu Wahyu mulai terdiam. Ibu Adi dan ibu Yunus saling pandang, sedikit tertegun.
Suasana menjadi hening beberapa saat, sampai akhirnya Bu Jannah berkata, "Saya rasa kita semua bisa belajar sesuatu dari kejadian ini. Anak-anak kita bukan hanya butuh pendidikan, tapi juga teladan. Mari kita bimbing mereka bersama."
Pertemuan ditutup dengan kesepakatan bahwa semua anak akan diberikan bimbingan dan pembinaan, bukan sekadar hukuman. Dan semua pihak diminta untuk saling menghormati.
Saat keluar dari ruang guru, Fery menggandeng tangan ibunya erat. Tak banyak kata, tapi genggaman itu cukup untuk meyakinkan Rista bahwa anaknya sedang belajar tumbuh—meski dalam banyak luka.
Setelah mendengarkan semua penjelasan dari Bu Jannah dan para guru, suasana ruang guru mulai mereda. Para orang tua kini tampak lebih tenang—terutama ibu Wahyu, yang sejak awal begitu keras membela anaknya.
Namun, setelah mendengar kenyataan bahwa Wahyu dan teman-temannya selama ini sering membully Fery tanpa alasan yang jelas, wajah wanita itu perlahan berubah. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah Wahyu yang duduk menunduk, tak berani menatap balik.
"Kamu selama ini bohong sama mama, ya?" suaranya mulai meninggi.
Wahyu masih terdiam, tak mampu berkata sepatah kata pun.
"Kamu bukan korban… kamu pelaku. Mama malu sekali hari ini. Gara-gara kamu, mama datang ke sekolah bawa amarah yang salah!" bentaknya.
Beberapa guru menenangkan, namun ibu Wahyu sudah terlanjur kecewa.
"Mulai sekarang kamu dilarang main, kamu belajar saja di rumah. Kalau kamu masih berani macam-macam, mama kirim kamu ke asrama. Kamu dengar, Wahyu?"
Wahyu mengangguk pelan, nyaris tak bersuara.
Rasa malu dan bersalah makin terasa menggelayuti wanita itu. Ia bangkit dari kursinya, lalu menatap Rista yang duduk tenang di ujung ruangan. Ada keraguan sejenak, tapi kemudian ia melangkah mendekat.
Wajahnya tak lagi garang. Kini berganti dengan ketulusan dan penyesalan.
"Bu Rista…" ucapnya lirih.
Rista menoleh, sedikit terkejut.
"Saya… saya minta maaf. Tadi saya datang dengan marah, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya kira anak saya korban, tapi ternyata… dia sendiri yang sudah lama bersikap buruk. Saya malu. Dan… saya benar-benar kagum sama Ibu."
Rista mengernyit, bingung.
"Ibu membesarkan Fery dengan baik, mendidiknya dengan budi pekerti… meskipun dalam kondisi yang begitu berat. Ibu pemulung, tapi bisa mendidik anak jadi lebih manusiawi daripada kami yang hidup berkecukupan."
Rista tersenyum tipis. Matanya berkaca-kaca, bukan karena kesombongan—tapi karena pengakuan itu berarti besar baginya. Ia mengangguk pelan.
"Saya bukan ibu yang sempurna, Bu. Saya hanya ingin anak-anak saya tumbuh jadi orang yang baik… walaupun hidup kami tidak mudah."
Mereka saling menatap sejenak, dan tanpa banyak kata, saling memahami. Permintaan maaf diterima, bukan dengan gengsi, tapi dengan hati yang lapang.
Hari itu, bukan hanya anak-anak yang belajar tentang keberanian dan kejujuran. Tapi para orang tua pun belajar tentang rendah hati dan rasa hormat yang sesungguhnya.
Ibu Wahyu menatap anaknya dengan sorot tajam penuh penekanan. Suaranya pelan, namun tegas dan tak bisa dibantah.
"Ayo, kamu minta maaf sekarang juga sama Fery. Mama nggak mau lihat kamu seperti ini lagi. Belajarlah menghargai orang lain."
Wahyu masih terdiam, tapi tatapan ibunya membuatnya tak punya pilihan. Dengan langkah ragu dan wajah yang masih menahan malu, ia berjalan mendekati Fery.
"Fery… maaf ya. Aku… aku udah keterlaluan. Aku nyesel." ucap Wahyu pelan, sambil mengulurkan tangannya.
Fery memandangi tangan Wahyu sesaat. Ada perasaan campur aduk di hatinya—amarah yang perlahan berubah jadi lega. Ia menghela napas dalam, lalu tersenyum kecil dan menyambut uluran tangan itu.
"Iya… aku maafin." jawab Fery, tulus.
Para guru yang menyaksikan momen itu hanya bisa tersenyum, lega. Satu masalah besar di kelas itu akhirnya berakhir dengan damai dan pelajaran berharga.
Tak lama, ibu Wahyu membuka dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang—enam lembar merah yang terlipat rapi. Ia menyodorkannya kepada Rista.
"Bu, tolong… terimalah ini. Anggap saja sebagai permintaan maaf dari saya dan keluarga. Saya tahu ini nggak bisa mengganti luka yang anak Ibu alami, tapi setidaknya biar bisa sedikit membantu."
Rista buru-buru menggeleng.
"Maaf, Bu… saya enggak minta ganti rugi. Biar anak-anak saja yang belajar dari semua ini."
Namun ibu Wahyu tetap menyodorkan uang itu, bahkan menggenggam tangan Rista agar tak bisa menolak.
"Saya mohon, Bu. Anggap saja ini rezeki. Saya tahu perjuangan Ibu berat. Ini bukan soal ganti rugi… ini bentuk penghormatan saya sebagai sesama ibu."
Rista terdiam sejenak. Hatinya masih bimbang, tapi sorot tulus di wajah wanita itu membuatnya luluh. Ia akhirnya mengangguk perlahan dan menerima uang itu dengan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih, Bu… semoga ini jadi jalan kebaikan buat kita semua."
"Amin," balas ibu Wahyu sambil tersenyum. Mereka berdua saling menatap dalam diam, dengan penghormatan yang tumbuh bukan karena status—melainkan karena hati.
Hari itu ditutup dengan pelajaran penting: bahwa maaf, hormat, dan kebaikan masih bisa tumbuh di antara luka—asal semua orang mau belajar untuk lebih rendah hati.