Fery selalu meraih peringkat terbaik di kelas. Ia kerap dipuji oleh para guru karena kegigihannya dalam belajar. Tak pernah sekalipun ia berhenti mengasah kemampuan akademiknya. Semua itu ia lakukan demi satu tujuan: membanggakan ibunya. Fery tidak ingin mengecewakan perempuan yang telah membesarkannya dengan penuh perjuangan.
"Aku harus sukses... demi Ibu dan Naila," gumam Fery dalam hati, penuh tekad.
Beberapa tahun pun berlalu. Fery akhirnya lulus dari sekolah dasar. Kini, ia bersiap melangkah ke jenjang baru—SMP. Namun, ia masih dilanda kebingungan. Nilainya memang tinggi, bahkan cukup untuk masuk ke sekolah mana pun yang ia mau. Tapi ada hal lain yang membebani pikirannya: biaya.
Di tengah kebimbangannya, ia tetap menjalin pertemanan dengan kawan-kawan SD-nya. Mereka mulai akrab, dan hubungan pertemanan pun tumbuh dengan hangat.
"Fer, kamu mau masuk sekolah mana?" tanya Wahyu, salah satu sahabatnya.
"Aku belum tahu, Yu. Belum nemu yang cocok... Lagian, aku kasihan sama Ibu. Daftar SMP sekarang mahal," jawab Fery lirih.
"Oalah, gitu toh. Ya sudah, aku pulang dulu, ya," ucap Wahyu.
"Oke, hati-hati di jalan," balas Fery sambil tersenyum.
Setelah Wahyu pergi, Fery pun pulang ke rumah. Namun, ia tidak menemukan ibunya di sana. Rupanya sang ibu, Rista, sedang berkeliling mencari sekolah SMP yang cocok untuk Fery. Ia berharap bisa menemukan sekolah gratis, karena kondisi ekonomi mereka sangat terbatas.
Dengan penuh harap, Rista mengayuh sepeda ontelnya menyusuri jalanan Surabaya yang panas. Meski lelah, semangatnya tak pernah padam demi masa depan anaknya.
"Huhh... aku harus cari ke mana lagi, ya? Ya Allah, permudahkan langkahku. Aku ingin anakku bisa sekolah, Ya Allah... Aku ingin dia punya pendidikan yang layak, sama seperti anak-anak lainnya," lirih Rista sambil menatap langit.
Beberapa menit kemudian, ia mencoba mendaftar ke salah satu SMP negeri. Sayangnya, meskipun sekolah itu bersedia menerima Fery, ternyata nama Fery tergeser karena kuota penuh. Ia berada di urutan paling akhir.
Padahal, nilai Fery jauh lebih tinggi dari beberapa anak yang lolos. Rista bingung dan kecewa.
"Kok bisa kegeser, ya... Ya Allah, aku harus ke mana lagi ini," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Tak putus asa, Rista kembali mengayuh sepedanya dan mencoba ke salah satu SMP negeri ternama yang menjadi favorit warga Surabaya. Ia berharap ada keajaiban.
Sesampainya di sana, ia mendekati meja pendaftaran. Tiba-tiba seorang guru menghampirinya.
"Ibu mau daftarkan anaknya sekolah, ya?" tanya guru itu ramah.
"Iya, Bu. Saya ingin daftarkan anak saya," jawab Rista dengan sopan.
"Ibu mau kalau sekolahnya gratis, tanpa biaya?" tanya guru itu lagi.
"Mau sekali, Bu! Saya benar-benar ingin anak saya sekolah, tapi saya nggak punya uang," jawab Rista dengan mata berbinar.
"Baik, ayo ikut saya. Nanti saya jelaskan lebih lanjut," ajak guru itu.
Guru tersebut bernama Bu Chandra. Ia bukan kepala sekolah, tapi salah satu guru yang dipercaya mengelola program khusus untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu. Program ini menawarkan sekolah gratis dengan durasi belajar tiga jam setiap hari.
Bu Chandra menjelaskan bahwa meski jam belajarnya lebih singkat, kurikulum dan materi pelajarannya tetap sama dengan kelas reguler. Program ini dimulai setelah pukul 2 siang, usai kelas reguler selesai—karena sekolah menerapkan sistem full day school.
Rista pun mengangguk paham. Ia merasa sangat bersyukur, apalagi pelajaran yang diterima Fery nanti tidak kalah dari kelas reguler.
"Alhamdulillah... Ini jalan dari-Mu, Ya Allah," bisik Rista dalam hati, haru bercampur lega.
Matahari mulai condong ke barat ketika Rista akhirnya memutuskan untuk pulang. Meski tubuhnya letih dan wajahnya kusam karena seharian berkeliling Surabaya dengan sepeda ontel tuanya, hatinya sedikit terasa lega. Esok hari, ia harus kembali ke sekolah tempat Bu Chandra mengajaknya bicara, membawa serta berkas-berkas penting milik Fery untuk melengkapi proses pendaftaran.
Meski belum ada kepastian penuh, setidaknya Rista kini punya harapan. Ia pulang dengan hati yang bersyukur, meskipun dompetnya kosong, benar-benar kosong—bahkan untuk membeli sebungkus nasi pun ia tak mampu. Tapi kali ini, ia membawa harapan, dan itu cukup untuk membuat langkah kakinya terasa ringan.
Setibanya di rumah kontrakan kecil yang mereka tempati, Rista mendapati pemandangan yang membuat dadanya hangat. Fery, anak sulungnya, sedang duduk bersila di sudut dapur sederhana, tekun mengupas plastik dari gelas-gelas bekas minuman. Tumpukan sampah yang sudah dibersihkan itu akan segera dijual ke pengepul plastik. Uang hasil penjualan itulah yang biasa mereka gunakan untuk membeli makanan.
Fery tahu, ibunya pasti sangat lelah hari ini. Ia tak ingin sang ibu repot lagi memikirkan sampah-sampah plastik itu. Sejak kecil, Fery memang anak yang peka. Ia tumbuh dalam kesulitan, tapi tidak pernah sekalipun mengeluh.
"Loh, Fer... kamu udah salat?" tanya Rista, pelan, sembari menaruh tas kain lusuhnya di kursi reyot di dekat pintu.
"Udah tadi, Bu. Gimana, Bu? Aku bisa sekolah?" tanya Fery, matanya berbinar penuh harap meski tubuhnya tampak kelelahan.
Rista tersenyum kecil, menyembunyikan rasa lelahnya.
"Iya, insyaAllah kamu bisa sekolah, Nak. Besok Ibu harus balik lagi ke sana, bawa berkas-berkas kamu. Kata Bu Chandra, sekolahnya gratis, tapi kamu harus sungguh-sungguh belajar."
Fery mengangguk cepat. "Pasti, Bu! Aku janji akan belajar sungguh-sungguh. Aku nggak akan sia-siakan kesempatan ini."
Rista menatap anaknya dengan mata berkaca. "Iya... Sekarang Ibu istirahat dulu, habis itu Ibu mau salat. Nanti kita makan bareng ya, setelah Ibu setorin plastik-plastik ini ke pengepul."
Fery buru-buru berdiri dan menghampiri ibunya.
"Udah, Bu. Biar aku aja yang setorin. Ibu istirahat dulu aja, pasti capek banget kan dari pagi muter-muter."
Sebelum Rista sempat menjawab, Fery sudah meraih karung berisi plastik yang telah ia siapkan, lalu mengangkatnya ke punggung. Ia tahu adiknya, Naila, di dalam sedang menunggu makanan. Perut mereka sama-sama kosong sejak pagi.
Fery melangkah cepat menuju pengepul di ujung gang. Ia menatap langit yang mulai berubah warna keemasan.
"Ya Allah, semoga plastik ini cukup buat beli nasi. Aku nggak mau lihat Ibu dan Naila kelaparan malam ini," doanya dalam hati.
Langkahnya mungkin kecil, tapi semangatnya jauh lebih besar dari anak-anak lain seusianya.
Setelah berjalan beberapa menit, Fery akhirnya tiba di tempat pengepul barang bekas. Ia menyerahkan tumpukan plastik gelas yang sudah dibersihkannya dengan telaten. Tak lama kemudian, si pengepul mengulurkan uang senilai tiga puluh lima ribu rupiah.
"Terima kasih, Dek Fery," ucap pengepul itu.
Fery tersenyum dan mengangguk. “Sama-sama, Pak.”
Meski jumlahnya tak banyak, Fery merasa sangat bersyukur. Setidaknya, uang itu cukup untuk membeli sebungkus nasi dan sedikit lauk untuk makan malam bersama ibu dan adiknya. Ia pun bersiap berjalan pulang.
Namun, saat baru saja melangkah keluar dari halaman pengepul, seorang laki-laki muda memanggilnya.
"Adik!" suara itu memecah lamunannya.
Fery menoleh. "Iya, Kak?"
Pria itu tampak ragu sejenak, lalu mendekat dengan wajah kikuk. “Kamu bisa bantuin Kakak nggak?”
Fery mengangguk pelan. “Bantu apa, Kak?”
Lelaki itu tersenyum canggung, lalu menunjukkan sebungkus kecil berisi cokelat dan setangkai bunga mawar.
“Gini… Kakak mau ngasih ini ke cewek itu, yang duduk di bangku sana. Tapi Kakak malu, jadi... bisa tolong kasihkan ini ke dia? Nanti Kakak kasih kamu imbalan.”
Fery menoleh ke arah yang ditunjuk. Seorang gadis muda sedang duduk sambil memainkan ponselnya. Wajahnya teduh, sepertinya sedang menunggu seseorang.
“Boleh, Kak! Serahin aja ke aku,” jawab Fery antusias.
Dengan langkah ringan, Fery menghampiri gadis itu dan menyerahkan bunga dan cokelat, lengkap dengan catatan kecil yang dituliskan pria tadi. Si gadis langsung tersenyum malu, pipinya merona. Fery tak tahu detailnya, tapi sepertinya pria tadi sedang menyatakan cinta—atau mungkin... melamar.
Saat Fery kembali, pria itu tampak senang luar biasa. Ia mengulurkan uang tunai sebesar tiga ratus ribu rupiah.
“Nih, buat kamu. Terima kasih, ya!”
Fery melongo. “Serius, Kak?”
“Serius. Kamu bantu Kakak banget hari ini,” ujarnya sambil menepuk bahu Fery.
Fery mengucapkan syukur berkali-kali. Dengan uang itu, ia segera menuju warung beras terdekat. Ia membeli 10 kg beras dan 1 kg telur. Uangnya masih tersisa cukup banyak.
Saking banyaknya belanjaan, Fery pun meminta bantuan seorang tukang becak untuk membantunya membawa barang-barang itu ke rumah. Sesampainya di depan kontrakan, Rista yang baru selesai salat terkejut melihat anaknya pulang membawa beras sekarung dan sebungkus telur besar.
"Astaghfirullah… Fery, ini dari mana semua ini? Kamu nggak nyuri, kan?" tanya Rista dengan nada panik.
Fery cepat-cepat menggeleng. "Enggak, Bu! Demi Allah, ini Fery beli sendiri. Tadi Fery dapat uang."
Rista menyipitkan mata, belum yakin. "Kamu bohong ya? Mana mungkin kamu bisa beli sebanyak ini. Uang dari mana?"
Fery menghela napas, lalu merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sisa uang dan hasil dari setoran plastik tadi, lalu menyodorkannya ke ibunya.
"Nih, Bu. Ini sisa uangnya, masih ada seratus sembilan puluh lima ribu. Tadi Fery bantuin orang, terus dia ngasih imbalan. Beneran, Bu."
Rista menatap uang di tangan anaknya, lalu menatap mata jernih Fery. Tak ada kebohongan di sana. Matanya berkaca, lalu pelan-pelan ia memeluk Fery erat.
"Ya Allah... terima kasih. Anak sekecil ini, tapi udah banyak bantuin Ibu...," gumamnya lirih.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, mereka makan bersama dengan hati lapang dan perut kenyang. Bukan karena jumlah makanan yang berlimpah, tapi karena rezeki yang datang dari ketulusan dan kejujuran.